Tampilkan postingan dengan label Filsafat dan Teologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat dan Teologi. Tampilkan semua postingan

Ciri Pemikiran Filsafat Abad Pertengahan

Ciri Pemikiran Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat yunani telah mencapai kejayaannya sehingga melahirkan peradaban yunani
dan menjadikan titik tolak peradaban manusia di dunia. Filsafat yunani telah
menyebar dan mempengaruhi di berbagai bangsa dianataranya adalah bangsa Romawi,
karena Romawi merupakan kerajaan terbesar di daratan Eropa pada waktu itu. Bangsa
Romawi yang semula beragama kristen dan kemudian kemasukan filsafat merupakan
suatu formulasi baru yaitu agama berintegrasi dengan filsafat, sehingga munculah
filsafat Eropa yang tak lain penjelmaan dari filsafat Yunani.
Filsafat barat abad pertengahan (476-1492 M) bisa dikatakan abad kegelapan, karena
pihak gereja membatasi para filosof dalam berfikir, sehingga ilmu pengetahuan
terhambat dan tidak bisa berkembang, karena semuanya diatur oleh doktirn-doktrin
gereja yang berdasarkan kenyakinan. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang
bertentangan dari keyakinan para gerejawan, maka filosof tersebut dianggap murtad
dan akan dihukum berat samapai pada hukuman mati.
Secara garis besar filsafat abad pertengahan dapat dibagi menjadi dua periode
yaitu: periode Scholastic Islam dan periode Scholastik Kristen. Para Scholastic
Islamlah yang pertama mengenalkan filsafatnya Aristoteles diantaranya adalah Ibnu
Rusyd, ia mengenalkan kepada orang-orang barat yang belum mengenal filsafat
Aristoteles.
Para ahli fikir Islam (Scholastik Islam) yaitu Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-
Gazali, Ibnu Rusyd dll. Mereka itulah yang memberi sumbagan sangat besar bagi para
filosof eropa yang menganggap bahwa filsafat Aristoteles, Plato, dan Al-Quran
adalah benar. Namun dalam kenyataannya bangsa eropa tidak mengakui atas peranan
ahli fikir Islam yang mengantarkam kemoderenan bangsa barat.
Kemudian yang kedua periode Scholastic Kristen dalam sejarah perkembangannya dapat
dibagi menjadi tiga, Yaitu: Masa Scholastik Awal, Masa Scholastik Keemasan, Masa
Scholastik Terakhir.
Masa Scholastik Awal (Abad 9 - 12 M)
Masa ini merupakan kembagkitan pemikiran dari kungkungan gerejawan yang telah
membatasi berfilsafat, karena berfilsafat sangat membahayakan bagi agama Kristen
khususnya pihak gerejawan. Dan yang ditonjolkan dalam masa ini adalah hubungan
antara agama dengan filsafat karena keduanya tidak dapat dipisahkan, dan dengan
keduanya manusia akan memporoleh pengetahuan yang lebih jelas. Tetapi masa ini
filsafat masih bertumpu pada alam pikiran dan karya-karya kristiani.
Masa ini juga berdiri sekolah-sekolah yang menerapkan study duniawi meliputi: tata
bahasa, retorikaa, dialektika, ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu perbintangan dan
musik. Sekolah yang mula-mula ada di biara Italia selatan ini akhirnya berpengaruh
ke daerah-daerah yang lain.
Masa Scholatik Keemasan (1200 – 1300 M)
Pada masa ini Scholastik mengalami kejayaan yang berlangsung dari tahun 1200-1300
M, disebut juga dengan masa yang berbunga dan bertumbuh kembang, karena muncul
banyak Universitas dan ordo-ordo yang menyelenggarkan pendidikan ilmu pengetahuan.
Ada beberapa faktor kenapa pada masa ini Scholastic mencapai keemasan. Pertama,
pengaruh dari Aristoteles dan ahli fikir Islam sejak abad ke 12 sehingga pada abad
ke 13 telah tumbuh ilmu pengetahuan yang luas. Kedua, berdirinya beberapa
Universitas. Dan yang ketiga munculnya ordo-ordo yang membawa dorongan kuat untuk
memberikan suasana yang semarak pada abad ke 13.
Pada masa ini juga ada sorang filofos Agustinus yang menolak ajaran Aristoteles
karena sudah dicemari oleh ahli fikir Islam, dan hal ini sangat membahayakan
ajaran Kristen, maka Abertus Magnus dan Thomas, sengaja menghilangkan unsure-unsur
atau selipan-selipan dari Ibnu Rusyd. Upaya Thomas Aquinas yang berhasil ini
sehingga menerbitkan buku yang berjudul Summa Theologie, yang merupakan bukti
kemenangan ajaran Aris Toteles deselaraskan dengan ajaran Kristen.
Masa Scholastik Akhir (1300 – 1450 M)
Masa ini ditandai denga kemalasan berfikir filsafat, sehingga menjadi stagnasi
pemikiran filsafat Scholasti Kristen, Nicolous Cusanus (1401-1404 M) adalah tokoh
yang terkenal pada masa ini, dan sebagai tokoh pemikir yang terakhir pada masa
Scholastik. Menurut pendaptnya terdapat tiga cara untuk mengenal, yaitu lewat
indera, dan kedua lewat akal, dan ketiga lewat intuisi. Dengan indera manusia
mendapatkan pengetahuan tentang benda-benda yang berjasad (sifatnya tidak
sempurna). Dengan akal manusia bisa mendapatkan bentuk yang abstrak yang telah
ditangkap oleh indera. Dan yang ketiga intuisi, dalam intuisi manusia akan
mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi, karena dengan intuisi manusia dapat
mempersatukan apa yang oleh akal tidak dapat dipersatukan. Karena keterbatasan
akal itu sendiri maka dengan intuisiah diharapkan sampai pada kenyataan, yaitu
Tuhan.

Filsafat Islam

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Ruang Lingkup Filsafat Islam
Dari segi bahasa, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari kata Philo yang artinya Cinta, dan Sofia yang artinya kebijaksanaan, atau pengetahuan yang mendalam. Jadi dilihat dari akar katanya, Filsafat mengandung arti ingin tahu dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan.
Adapun pengertian filsafat dari segi istilah para ahli, adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal, untuk mengetahui tentang hakikat segala sesuatu yang ada, seperti hakikat alam, hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat ilmu, hakikat pendidikan dan seterusnya. Dengan demikian muncullah apa yang disebut dengan filsafat alam, filsafat manusia, filsafat ilmu dan lain sebagainya…
Dalam hal ini perlu juga dijelaskan tentang ciri-ciri berpikir yang philosophis. Yaitu :
Pertama harus bersifat sistematis. Maksudnya bahwa pemikiran tersebut harus lurus, tidak melompat-lompat sehingga kesimpulan yang dihasilkan oleh pemikiran tersebut benar-benar dapat dimengerti.
Kedua harus bersifat radikal , maksudnya harus sampai ke akar-akarnya, sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk dipikirkan.
Ketiga harus bersifat universal, yaitu menyeluruh, melihat hakikat sesuatu dari hubungannya dengan yang lain, dan tidak dibatasi untuk kurun waktu tertentu.
Adapun pengertian Islam, dari segi bahasa dapat diartikan selamat sentosa, berserah diri, patuh, tunduk dan taat. Seseorang yang bersikap demikian disebut muslim, yaitu orang yang telah menyatakan dirinya ta’at, menyerahkan diri, patuh, dan tunduk kepada Allah SWT.
Selanjutnya pengertian Islam dari segi istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Ajaran-ajaran Islam tersebut selanjutnya terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Dari pengertian filsafat dan Islam sebagaimana diuraikan diatas, kita dapat berkata bahwa filsafat Islam, adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hakikat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya Filsafat Islam itu dalah Filsafat yang berorientasi pada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah.
Jadi ciri utama kegiatan Filsafat Islam adalah berpikir tentang segala sesuatu sejalan dengan semangat Islam. Dengan berfilsafat, seseorang akan memiliki wawasan yang luas tentang segala sesuatu, dapat berpikir teratur, tidak cepat puas dalam penemuan sesuatu, selalu bertanya dan bertanya, saling menghargai pendapat orang lain.
Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Sedangkan menurut Ahmad Fu¡¦ad al-Ahwani filsafat Islam ialah pembahasan tentang alam dan manusia yang disanari ajaran Islam.
Sejarah singkat timbulnya Filsafat Islam. Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al ¡Vrasyid, dimulailah penterjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat.
Penterjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca alim ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filofof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalam umat Islam.
Tujuan dan manfaat mempelajarinya. Tujuan mempelajari filsafat Islam ialah mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Sedangkan manfaat mempelajarinya ialah :
1. Dapat menolong dan menididk, menbangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia mahluk Tuhan
2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan
3. Pengaruh Filsafat Islam terhadap berbagai studi keislaman, khususnya dalam bidang tasawuf, teologi, dan fiqih
Tasawuf sebagai suatu ilmu yang mempelajari cara dan bagaimana seorang muslim berada dekat, sedekat mungkin dengan Allah. Tasawuf terbagi dua, yaitu Tasawuf Amali dan Tasawuf Falsafi. Dari pengelompokan tersebut tergambar adanya unsur-unsur kefilsafatan dalam ajaran tasawuf, seperti penggunaan logika dalam menjelaskan maqamat (al-fana, al-baqa, ittihad, hulul, wahdat al- wujud).
Setelah abad ke-6 Hijriah terjadi percampuran anatara filsafat dengan ilmu kalam, sehingga ilmu kalam menelan filsafat secara mentah-mentah dan dituangkan dalam berbagai bukti dengan mana Ilmu Tauhid. Yaitu pembmahasan problema ilmu kalam dengan menekankan penggunanaan semantic (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh para filosof. Kendatipun Ilmu Kalam tetap menjadikan nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil naqli yang tampak pada perbincangan mutakalimin. Atas dasar itulah sejumlah pakar memasukkan Ilmu Kalam dalam lingkup Filsafat Islam.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur¡¦an yang berkenaan dengan hokum diperlukan ijtihad, yaitu suatu usaha dengan mempergunakan akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumbernya. Syaikh Mustafa ¡¥Abdurrazaq dalam bukunya yang berjudul Tauhid Li Tarikhul Falsafatil Islamiyah (pengantar sejarah Islam) menyatakan, bahwa Ilmu Ushul Fiqh sepenuhnya diciptakan dan diletakkan dasar-dasar oleh Asy-Syafi¡¦ie, tentu akan melihat dengan jelas adanya berbagai gejala pemikiran filsafat.
B. Pasang Surut Perkembangan Filsafat Islam
1. Perkembangan Awal Filsafat Islam pada Abad Kesembilan
Theologi skolastik Kristen awal yang banyak menyerap doktrin-doktrin filsafat dan sains Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada abad ke-2 H/8 M, bercabang dan berkembang menjadi suatu gerakan pemikiran filosofis, ilmiah, cemerlang serta kuat, yang menghasilkan karya-karya orisinal dan bernilai tinggi pada abad ke-3 H/9 M sampai ke-6 H/12 M . Secara intelektual, gerakan falsafah merupakan hasil gerakan penerjemahan yang dilakukan secara massif pada masa Khalifah al-Makmun dengan Baitul Hikmahnya. Ketika itu al-Makmun mempercayakan orang-orang Kristen Nestorian untuk menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Dalam hal ini jasa Hunain binIshak dan putranya tidak dapat dilupakan.
Fazlur Rahman, mengatakan bahwa bahan-bahan yang dipakai untuk menyusun sistem filsafat Islam berasal dari Yunani atau yang disimpulkan dari ide-ide Yunani. Karena itu dalam materi ataupun isinya, sifatnya adalah sama sekali Hellenistik. Tetapi konstruksi aktualnya, yakni sistemnya itu sendiri, jelas mengapresiasi doktrin teologis agama Islam .
Upaya para filsuf Muslim untuk menciptakan jalinan yang harmonis antara metafisika religius Islam dan metafisika Yunani dengan pendekatan watak Yunani yang rasional menimbulkan respon keras para ulama dan fukaha. Karena dianggap gagal memenuhi tuntutan ortodoksi, filsafat Islam diberangus secara tragis dan tidak diizinkan untuk berkembang.
Secara umum diterima dengan suara bulat bahwa Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi sebagai penggagas pertama penulisan kreatif dalam filsafat Islam, dan dianggap sebagai filsuf Arab pertama, baik dalam arti etnik maupun kultural . Ketika Al-Kindi dilahirkan, kota Basrah dan Kufah merupakan pusat kegiatan pendidikan Islam. Ketika itu diskursus filsafat sudah mulai dikaji oleh kaum rasionalis Muslim (Muktazilah). Al-Kindi berperan aktif dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan filosofis Yunani, baik sebagai pelindung penerjemahan yang dilakukan sarjana-sarjana lain, maupun sebagai ahli merevisi dan juru penerang naskah-naskah filsafat. Akan tetapi semua upaya Al-Kindi ini dapat berjalan mulus berkat dukungan langsung dari tiga orang khalifah Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842) dan al-Watsiq (842-847) .
Mengikuti Aristoteles, Al-Kindi menganggap bahwa tujuan filsafat ialah menemukan hakekat sejati benda-benda melalui penjelasan-penjelasan kausal. Penjelasan-penjelasan alamiah bertujuan untuk mencari kebenaran tentang alam, sementara “filsafat pertama” atau metafisika, berkenaan dengan bidang yang lebih tinggi dan ilahi.
Menurut Al-Kindi Allah adalah satu-satunya pelaku yang sejati (the only true agent), dan kepelakuan (agency) tindakan manusia bersifat sekunder dan metaforis. Seperti beberapa teolog dalam tradisi Kristen, Al-Kindi percaya bahwa hakekat ilahi Allah memustahilkan manusia untuk memahamiNya sepenuhnya. Karena itu pelukisan Al-Kindi tentang Allah pertama-tama dirumuskan dalam istilah-istilah negatif, seperti via negatifa-nya Philo. Akan tetapi dalam banyak hal, kepercayaan religius Al-Kindi disesuaikan dengan ortodoksi, dan ia bersedia mengakui akal budi mempunyai batas-batasnya. Seperti para Stois, ia mempunyai respek yang mendalam terhadap takdir .
Pasca Al-Kindi, berkembang paham naturalisme dan tantangan terhadap dogma Islam melalui Ibnu Al-Rawandi dan Al-Razi. Pandangan-pandangan filosofis Al-Rawandi seperti keabadian dunia, keunggulan dualisme (manichaenisme) daripada monotheisme dan kebijaksanaan ilahi yang tidak berguna, menguatkan kesan bahwa pemikir ini pada mulanya adalah teolog Mu’tazilah yang sangat ahli dan dihormati, akan tetapi mengalami problem skeptisisme yang akut .
Adapun Abu Bakr Muhammad bin Zakariya al-Razi, menganggap filsafat sebagai keseluruhan jalan hidup, yang mencakup baik pengetahuan dan perilaku. Mengikuti Plato, ia meyakini bahwa akal budi adalah piranti-piranti untuk menentukan kebenaran, dan jika akal budi bertentangan dengan wahyu, wahyu harus ditinggalkan. Dalam pandangannya dunia diciptakan Allah tidak dari ketiadaan, karena materi yang bersifat abadi sudah eksis sebelum adanya penciptaan .
2. Perkembangan Neo-Platonisme dalam Filsafat Islam
Kecenderungan-kecenderungan Neo-Platonik yang (telah ada secara) implisit dalam sistem filsafat Al-Kindi dan Al-Razi, menjadi sangat dominan da lam tulisan Al-Farabi dan Ibnu Sina, dua orang filsuf Muslim pertama yang membangun sebuah sistem metafisika besar dan sangat kompleks . Abu Nashr Al-Farabi (870-950) dikenal sebagai guru kedua dan otoritas terbesar sesudah Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin “harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”, dan dia memulai wacananya dengan gagasan Plato tentang perlunya menempatkan harmonisasi seperti itu pada landasan filsafat yang paling dasar . Sumbangan filosofisnya yang asli, misalnya berkenaan dengan pendapat-pendapat Aristoteles tentang “esensi” dan “eksistensi”, dimana Al-Farabi membedakan antara esensi (struktur fundamental) pengada yang niscaya (yang wajib ada) dengan pengada yang kontingen (yang bergantung pada sebab-sebab dan dapat menjadi hal lain). Al-Farabi mengadopsi pandangan Neo-Platonisme tentang penciptaan. Ia percaya bahwa semua penciptaan ber-emanasi dari Allah, Sang penyebab pertama, dan bahwa pikiran manusia dapat mengetahui penciptaan ini melalui penerangan yang diberikan oleh intelegensi yang lebih tinggi dan eksternal .
Sedangkan Ibnu Sina (980-1037) adalah filsuf Muslim ternama yang menjadi tokoh sentral filsafat paripatetik. Ia merupakan ilmuan-filsuf yang amat produktif menerbitkan karya karya-karya ilmiahnya yang hingga kini masih terus dipelajari oleh para sarjana Barat maupun Muslim. William Chittick menyebutnya sebagai kutub intelektual dunia Islam .
Mengikuti konsep Neo-Platonisme, Ibnu Sina berargumen bahwa Allah menciptakan dunia melalui emanasi. Dia percaya bahwa Allah adalah pikiran murni dan ciptaan dihasilkan dari pemikiran Tuhan (sebagai aktifitas fundamentalNya).
Walaupun demikian, Ibnu Sina meninggalkan ciri-ciri tertentu pandangan Neo-Platonisme, misalnya ia tidak menganggap materi sebagai fondasi abadi benda-benda, sejalan dengan pemahaman Aristoteles . Dalam perkembangan filsafat Islam; Ibnu Sina juga adalah perintis pemikiran iluminasi melalui karya terakhirnya seperti Isyarat Wa Tanbihat dan Mantiq Al-Masyriqiyyin (logika Timur) yang satu abad kemudian dirumuskan oleh Suhrawardi (w. 1191) dalam sistem filsafat iluminasi (Isyraqiyyah).
3. Filsafat Islam Versus Ortodoksi Sunni dan Fenomena Al-Ghazali.
Sebelum memasuki periode benturan dengan ortodoksi, filsafat Islam juga memasuki kecenderungan Neo-Pythagoreanisme yang tegas, gerakan ini dipelopori oleh Ikhwan al-Shafa. Tiga rangkaian plotinian tentang Tuhan, jiwa dan materi tempat mereka membangun dunia sesuai dengan rangkaian numerikal yang menjadi sumber bilangan.
Meskipun mereka menghargai Pythagoras, “sang bijaksawanan” yang tiada henti-hentinya mereka puji dan kaji, tetapi Ikhwan mengumpulkan sedikit demi sedikit dari setiap sudut yang mungkin. Karena motto mereka untuk tidak meninggalkan sumber pengetahuan manapun, dan untuk meliput aspek positif semua kepercayaan dalam ajaran mereka.
Selain itu, sebelum terjadi benturan ada beberapa tokoh yang menyebarluaskan budaya filosofis pada medio abad kesepuluh, seperti Abu Hayyan al-Tauhidi, Miskawayh dan Yahya bin Adi .
Persentuhan antara tradisi Hellenistik dengan dogma mulai terjadi sejak abad kedelapan, dimana teologi skolastik (kalam) mulai menemukan bentuknya, namun interaksi filsafat dengan dogma menghasilkan perpecahan bertahap antara keduanya. Perbenturan awal terjadi pada peristiwa “mihnah” (inquisition) pada periode Al-Ma’mun yang berupaya mempropagandakan doktrin Mu’tazilah, dan kemenangan partai Hambali dan tradisionalis (ahl al-Sunnah) pada era Mutawakkil. Munculnya pembaharuan teologi skolastik yang dipelopori Al-Asy’ari, Al-Baqillani dan Al-Juwayni membawa angin segar baru dalam pemikiran Kalam, yang kemudian konsepsi teologis Asy’ariah menjadi sangat dominan, sehingga terbentuklah ortodoksi Sunni. Perbenturan filsafat Islam yang Neo-Platonik dengan ortodoksi Sunni terjadi secara sistematik pada buku Tahafut al-Falasifah karya Al-Ghazali. Buku tersebut mengelaborasi dua puluh proposisi, dimana enambelas proposisi (pernyataan) metafisik dan empat proposisi fisika yang mempunyai kaitan erat dengan agama dan terhadap mana Mukmin yang lengah harus diperingatkan. Dari proposisi-proposisi ini, ada tiga yang terutama sekali menjijikkan dilihat dari sudut pandang agama, dan karena itu orang-orang yang membenarkannya harus dinyatakan murtad. Ketiga proposisi tersebut adalah, keabadian dunia melalui doktrin emanasi, pengetahuan Tuhan yang terbatas pada hal-hal yang universal dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani di akherat . Tujuhbelas proposisi lainnya menurut hemat Al-Ghazali tidak dikategorikan sebagai kufur (kufr) melainkan bid’ah.
Menurut Amin Abdullah, perselisihan Al-Ghazali dengan falasifah disebabkan argumen-argumen partikular filsuf Muslim Neo-Platonik secara logis salah dan aneka posisi yang mereka pegang dalam sistem keseluruhan tidak konsisten satu sama lain. Akan tetapi yang terpenting, karena sejumlah asumsi dasar mereka tidak ditemukan. Asumsi-asumsi tersebut, yang dibuktikan Al-Ghazali dengan sangat kuat, tidak dapat di demonstrasikan secara logis dan tidak terbukti sendiri (self evident) melalui “intuisi” . Sedangkan menurut Mehdi Hairi Yazdi, prestasi Al-Ghazali dalam Tahafut sebagian besar bersifat semantik karena dia tergolong filsuf pertama, setidaknya dalam sejarah pemikiran spekulatif Islam, yang membedakan masalah penggunaan sebuah kata dalam makna yang mengacu pada penerapannya dengan penggunaan kata dalam makna yang tidak mengacu pada penerapannya .
Walaupun demikian, penulisan kitab Tahafut ini adalah upaya memperkuat upaya penguasa ketika itu, yaitu Nizamul Mulk untuk mempropagandakan ortodoksi Sunni dalam rangka melawan doktrin Syiah Ismailiyah (bathini) dan falasifah yang sudah dicemari paham Neo-Platonisme dan teologi Aristotelian. Oleh karena itu ada kesan oppurtunistik dari kitab Tahafut, karena secara tidak langsung, melalui karya ini prestise Al-Ghazali semakin meningkat di mata penguasa, dan semakin meneguhkan posisi dia saat itu yang kebetulan telah menggantikan posisi Al-Juwayni (gurunya) sebagai guru besar Universitas Nizamiyah. Hal ini dapat terlihat dari pengakuan Al-Ghazali pada kitab Al-Munqidh min Dhalal:
“Saya tahu bahwa sekalipun saya kembali ke gelanggang penyebaran ilmu, namun saya tidak kembali (dalam pengertian yang sebenarnya). Karena “kembali” berarti mengulangi apa yang sebelumnya. Dulu, pada saat itu-- menunjuk pada saat berada di Baghdad ketika menulis Tahafut— saya menyebar ilmu pengetahuan yang dapat mendatangkan kedudukan terhormat. Dengan kata dan perbuatan, saya mengharapkan kedudukan terhormat itu. Itulah tujuan dan niat saya” .
Sementara itu telah diketahui bahwa Al-Ghazali ketika menulis Tahafut, sesungguhnya sedang dalam fase skeptic ringan (Asy-Syakk al-Khafi), yaitu ketika ia belum mendapat petunjuk akan hakekat kebenaran . Karenanya, kitab Tahafut tidak dapat dijadikan representasi pemikiran Al-Ghazali secara keseluruhan. Selain itu Al-Ghazali sendiri menegaskan dalam buku al-Arbain fi Usul ad-Din, bahwa buku Tahafut diketegorikan sebagai buku yang “terlarang bagi selain yang berkompeten” (al-Madhnun biha ala gayr ahliha) . Celakanya, buku Tahafut ini dijadikan oleh para penganjur ortodoksi Sunni untuk menyerang filsafat dan memproteksi doktrin agama dari pengaruh filsafat. Akibatnya –tanpa pernah disadari Al-Ghazali—buku Tahafut ini telah menidurkan ummat Islam dalam mimpi dogmatik selama berabad-abad. Maka wajar kemudian Al-Ghazali dituduh sebagai biang keladi dari kemunduran ummat Islam, walaupun tuduhan itu tidak sepenuhnya benar.
Penerimaan buku Tahafut secara luas di masyarakat merupakan kemenangan telak teologi skolastik Asy’arian terhadap filsafat, dan membuat “falasifa” menjadi tidak populer. Kenyataan ini diikuti dekadensi peradaban Islam, dimana kaum Muslim tenggelam dalam kecenderungan mistik (tasawuf) yang berimplikasi pada berkembangnya paham fatalisme yang berlebihan, sehingga semakin menambah panjang “tidur dogmatik” kaum Muslim.
Meskipun demikian, filsafat Islam tidak pernah benar-benar habis dari wajah sisa-sisa peradaban Islam. Spekulasi filosofis kembali disemaikan di Spanyol Muslim oleh Ibnu Massarah, Al-Majrithi, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufayl dan Ibnu Rusyd . Bahkan Ibnu Rusyd berupaya menyanggah buku Tahafut Al-Ghazali dengan menulis buku Tahafut at-Tahafut.
Akan tetapi sudah sangat terlambat, karena ummat Islam terlanjur hanyut dalam mimpi dogmatiknya. Upaya Ibnu Rusyd untuk menghidupkan kembali tradisi Aristotelianisme justru dapat membangunkan Barat dari tidur panjangnya selama berabad-abad (dark ages). Sebagaimana diketahui bahwa gerakan Averroisme telah menjadi cikal bakal kebangkitan intelektual di Barat. Sementara itu dalam lingkungan Syiah, filsafat Islam telah mengkristal menjadi paham iluminasi (isyraqiyyah) yang kompleks, dimana doktrin filsafat Suhrawardian dikawinkan dengan doktrin mistik Ibnu Arabi, dan melahirkan sistem filosofis yang sangat pelik. Sistem filsafat ini kemudian populer dengan istilah irfan (gnosis) atau ilmu hudhuri (knowledge by presence), dan utamanya bermuara pada pemikiran filsafat Shadr Al-Din al-Syirazi (Mulla Shadra).
C. Definisi Kebudayaan Islam
Kebudayaan merupakan hasil karya cipta, rasa dan karsa seseorang, yang dalam bentuk ungkapan tentang semangat mendalam yang direfleksikan dalam bentuk seni, sastra, religi dan moral.
Sedangkan kebudayaan Islam adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia (segala tindakan dan sikap seseorang) untuk merealisasikan pokok ajaran Islam dalam kehidupan, yang diperoleh dan dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi pekerti yang didasari oleh Alquran dan hadits dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan. Kebudayaan islam juga dapat didefinisikan sebagai ungkapan suatu masyarakat terhadap seni, sastra, religi dan moral untuk merealisasikan dan mengkaji lebih dalam tentang pokok-pokok ajaran Islam dalam kehidupan, yang didasari oleh qur’an dan hadits, dengan tujuan untuk mencapai tujuan bersama.
Ajaran Islam yang bersumber pada Al Qur’an adalah wahyu Allah yang diperuntukkan bagi umat manusia, sebagai pedoman hidupnya di dunia, agar selamat kehidupan di dunia dan akhiratnya (Al Qur’an: S. Al Baqoroh 2 dan 185). Adapun kebudayaan adalah hasil karya cipta, rasa dan karsa manusia dalam berinteraksi hidup di dunia, yang dalam bentuk ungkapan tentang semangat mendalam yang direfleksikan dalam bentuk seni, sastra, religi dan moral. Oleh sebab itu, kebudayaan merupakan ro’yun yang sangat membutuhkan tuntunan dari Allah SWT yang menciptakan manusia, agar kehidupan manusia itu selaras dan selamat.
Adapun yang dimaksud dengan kebudayaan Islam adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia (segala tindakan dan sikap seseorang) untuk merealisasikan pokok ajaran Islam dalam kehidupan, yang diperoleh dan dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi pekerti yang didasari oleh Al Quran dan hadits dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan. Baik secara langsung atau tidak langsung, pada masyarakat Islam yang menjalankan ajaran Islam dengan baik dan benar, akan muncul Kebudayaan Islam. Sebagai contoh misalnya dalam bidang seni seperti munculnya bentuk Kaligrafi dan Qiro’atul Qur’an ( Ayat Qur’annya Wahyu Allah, sedang Kaligrafi dan Qiro’ahnya merupakan seni budaya, kreasi dari manusia ). Selain itu sebagai contoh pula antara lain dalam kehidupan, misalnya membudayaan pengucapan “Assalamu’alaikum” dalam masyarakat, membudayakan Ijab-Qobul atau Pernikahan bagi yang akan hidup berumahtangga, membudayakan etika Islami seperti penghormatan pada kedua orang tua, guru, orang yang lebih tua, adab bermusyawarah, cara makan dan minum, cara berpakaian, hubungan suami-isteri, etika jual-beli, dan masih banyak lagi. Dalam hal Kebudayaan, ajaran Islam dapat beradaptasi secara lentur dan ulet, artinya lentur dapat menyesuaikan dengan budaya lokal yang diperkaya dengan ajaran Islam, sedangkan ulet artinya selektif terhadap budaya lokal yang mengandung larangan dalam Islam (seperti: budaya yang ada kandungannya maksiat, syirik, dan dzolim yang diharamkan dalam Islam) semua itu akan dihindari bila akan bersentuhan dengan budaya Islam.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Kebudayaan Islam adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang didalamnya mengandung ajaran Islam, dan juga di dalamnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Munculnya budaya Islam merupakan pengejawantahan dari sifat Rahmat lil alamin dari ajaran Islam, yang akan menyejahterakan lahir-batin kehidupan umat manusia.
D. Filsuf-Filsuf Islam dan Pemikirannya
1. Al Kindi
Al Kindi berusaha memadukan anatara filsafat dan agama. Filsafat berdasarkan akal pikiran adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth), al Qur¡¦an yang membawa argument-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan berteologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan Islam mewajibkan mempelajari Teologi. Meskipun pada beberapa hal Al-Kindi sependapat dengan Aristoteles dan Plato, namun dalam hal-hal tertentu Al-Kindi memiliki pandangan tersendiri. Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa waktu dan benda adalah kekal. Dan untuk membuktikan hal tersebut Al-Kindi telah menggunakan pendekatan matematika.
Al-Kindi tidak sepaham pula dengan Plato dan Aristoteles yang menyatakan bahwa bentuk merupakan sebab dari wujud, serta pendapat Plato yang menyatakan bahwa cita bersifat membiakkan. Menurut Al-Kindi alam semesta ini merupakan sari dari sesuatu yang wujud (ada). Semesta alam ini merupakan kesatuan dari sesuatu yang berbilang, ia juga bukan merupakan sebab wujud.
Bertemunya filsafat dan agama dalam kebenaran deamn kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama (the first Truth) bagi Al kindi ialah Tuhan.
Keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga hal yaitu :
1. Ilmu agama merupakan bagaian dari filsafat
2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan filsafat, saling berkesuaian
3. Menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama

• Filsafat Metafisika
Tuhan dalam filsafat al kindi tidak mempunyai hakiakat dalam arti aniah atau mahaniah. Tidak aniah karena kerena Tuhan tidak termasuk dealam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah pencipta alam. Ia tidak tersususn dari materi dan bentuk, juga tidak mempunya hakiakat dalam bentuk mahaniah, karena Tuhan bukan merupakan gensus dan species. Tuhan hanya satu, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Tuhan adalah unik, Ia semata-mata satu. Hanya Ia lah yang satu dari pada-Nya mengandung arti banyak
• Filsafat Jiwa
Menurut Al Kindi, roh itu tidak tersususn, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, Ilahiah, terpisah sdan berbeda dari tubuh. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Keadaan badan (jasmanni) mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah (passion). Roh menentang keinginan hawa nafsu dan passion.
2. Al Faraby
Al Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat fal safah al taufiqhiyah atau wahdah ala falsafah yang bebrkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat.
• Talfiq
Dalam ilmu logika dan fisika Ia dipengaruhi oleh Aristoteles, dalam masal;ah akhlak dan politik ia dipengaruhi oleh Plato, sedangkan dalam persoalan metafisika ia di pengaruhi oleh Plotinus. Al farabi berpandapat bahwa pada hakikatnya filsafat itu adalah satu kesatuan, oleh karena itu para filosof besar harus menyatujui bahwa satu-satunya tujuan adalah mencari kebenaran.
• Metafisika
Wajib al wujud a dalah tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada.jika wujud ini tidak ada, maka timbul kemustahilan, karena wujud lain untuk adanya tergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Sedangkan mumkin al wujud adalah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Mumkin al wujud tidak akan berubah menjadi actual tanpa adanya wuijud yang menguatkan, dan dan yang menguatkan itu bukan dirinya tetapi wajib al wujud.
• Jiwa
Pendapat al Farabi tentang jiwa dip[engaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa, tidak berpindah-pindah dari sutau badan ke badan yang lainnya. Jiwa manusia disebut al nafs al nathiqoh, yang bersal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalaq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa dicuiptakan tatkala jasad siap menerimanya.
• Politik
Pemikiran al Farabi tentang politik yang amat penting ialah tentang politik yang dia tuangkan kedalam dua karyanya, al siyasah al madaniyyah (pemerintahan politik) dan ara¡¦ ala madinah al fadhilah (pendapaf-pendapat tentang Negara utama). Menurut al Farabi yang terpenting dalam Negara adalah pimpanan atau penguasanya, bersama sama bawahannya sebagaimana halnya jantung dan organ tubuh yahng lebih rendah secara berturut-turut.
• Moral
Al Farabi menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga Negara. Yakni :
1. keutamaan teoritis yaitu prinsip-prinsip pengetahuna yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan cara kontemplasi, penelitian,dan melalui belajar dan mengajar.
2. keutamaan pemikiran yaitu yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan.
3. keutamaan akhlak , bertujuan mencari kebaikan
4. kautamaan amaliyah, diperoleh dengan dua cara, yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang.
• Teori Kenabian
Teori kenabian yang di ajukan al Farabidi motifisir pemikiran filosof pada masanya yang mengingkari kesistensi kenabian oleh Ahmad ibn Ishaq al Ruwandi yang berkebangsaan yahudidab Abu baker Muhammad ibn Zakariya al Razi. Menurut mereka para sufi berkemampuan untruk mengadakan komunikasi dengan aql Fa¡¦al.
Al-Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second Analysis telah diterjemahkan Al-Farabi kedalam Bahasa Arab. Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun induktif. Disamping itu beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al-Farabi diberi gelar Guru Kedua, sedang gelar guru pertama diberikan kepada Aristoteles.
Kontribusi lain dari Al-Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usahanya mengklassifikasi ilmu pengetahuan. Al-Farabi telah memberikan definisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al-Farabi mengklassifikasi ilmu kedalam tujuh cabang yaitu : logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik dan ilmu fiqhi (hukum).
Ilmu percakapan dibagi lagi kedalam tujuh bagian yaitu : bahasa, gramatika, sintaksis, syair, menulis dan membaca. Bahasa dalam ilmu percakapan dibagi dalam : ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan yang benar, aturan membaca dengan benar dan aturan mengenai syair yang baik. Ilmu logika dibagi dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori dan diakhiri dengan syair (puisi).
Matematika dibagi dalam tujuh bagian yaitu : aritmetika, geometri, astronomi, musik, hizab baqi (arte ponderum) dan mekanika.
Metafisika dibagi dalam dua bahasan, bahasan pertama mengenai pengetahuan tentang makhluk dan bahasan kedua mengenai filsafat ilmu.
Politik dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika dan politika. Perkataan politieia yang berasal dari bahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi madani, yang berarti sipil dan berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota. Kata ini kemudian sangat populer digunakan untuk menyepadankan istilah masyarakat sipil menjadi masyarakat madani.
Ilmu agama dibagi dalam ilmu fiqh dan imu ketuhanan/kalam (teologi).
Buku Al-Farabi mengenai pembagian ilmu ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin untuk konsumsi Bangsa Eropah dengan judul ada Divisione Philosophae. Karya lainnya yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin berjudul ada Scientiis atau ada Ortu Scientearum. Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia, optik dan geologi.
3. Ibnu Sina
• Tentang Wujud
Dari Tuhanlah kemajuan yang mesti, mengalir intelegensi pertama sendirian karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu yang dapat mewujud. Tetapi sifat ontelegensi pertama tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan kemungkinannnya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, intelgensi pertama memunculkan dua kewujudan yaitu :
a. Intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas.
b. Lingkungan pertama dan tertingi berdasarkan segi terendah adanya, kemungkinan alamiyah. Dua proses pamancaran inii berjalan terus sampai kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosuf muslim disebut sebagai malaikat Jibril.
• Al Tawfiq (rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat
Sebagaimana Al Farabi, Ibn Sina juga mengusahakan pemanduan antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filsof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni malaikat Jibril yang disebut juga sebagai akal kesepuluh atau akal aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya. Bagi nabi, tejadinya hubungan dengan malaikat Jibril melalui akal materiil, yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyyat), sedangkan filosof melalui akal mustafad.
• Emanasi
Emanasi Ibn Sina menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet, sembilan akal mengurusi sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Berbeda dengan pendahulunya Al Farabi, masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak bisa langsung menggerakan planet yang bersifat materi. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal ke sepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi beserta isinya.
• Jiwa
Secara garis besar pembahasan Ibn Sina tentang jiwa terbagi sebagai berikut :
a. Jiwa tumbuh-tumbuhan, mempunya tiga daya : makan, tumbuh , dan berkembang biak.
b. Jiwa binatang, mempunyai dua daya : gerak (al-mutaharrikat) dan menangkap (al-mudriakt).
c. Jiwa manusia, mempunyai dua daya : praktis (yang berhubungan dengan badan), teoritis (yang hubungannya dengan hal-hal abstrak)
• Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina membagi manusia dalam empat kelompok : mereka yang kecakapan teoritisnya sudah mencapai tingkatan penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkan lagi guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang sedemikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam, mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang dan kemampun menimbulkan gejala-gejala aneh di dunia. Kemudian ia mempunyai daya kekuatan intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang mengungguli sesamanya hanya dengan ketajaman daya praktis mereka.
• Tasawuf
Ibnu Sina memulai tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma¡¦rifat dari akal af¡¦al. Dalam pemahaman Ibn Sina jiwa-jiwa manusia tidak beda dengan lapangan ma¡¦rifahnya dan ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal af¡¦al.
Mengenai Tuhan dengan manusia, bertempatnya Tuhan dihati manusia tidak diterima oleh Ibn Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian perhubungan antara manusia dengan Tuhan saja. Karena manusia mendapat sebagian pencaran dari hubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak langsung kaluar dari Allah, tetapi melalui akal af¡¦al.
4. AlGhazali
• Epistimologi
Pada mulanya ia berangggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indra. Tetapi kemudian ternyata bahwa baginya panca indra juga berdusta. Karena tidak percaya pada panca indra, al Ghazali kemudian meletakan kepercayaannya kepada akal. Alasan lain yang membuat al Ghazali terhadap akal goncang, karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang mengunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal.
Lalu al Ghazali mancari ilm al yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Tiga bulan kemudian Allah memberikan nur yang disebut juga oleh Al Ghazali sebagai kunci ma¡¦rifat ke dalam hatinya. Dengan demikian bagi Al Ghazali intuisi lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini.
• Metafisika
Lain halnya dengan lapangan metafisika (ketuhanan) al Ghazali memberikan reaksi keras terhadap neo platonisme Islam, menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filsuf, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Menurut al Ghazali, para pemikir bebas tersebut ingin menanggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemuajan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka.
Menurut Al Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat, kalau terjadi tambahan atau pertalian dengan zat, zat Tuhan tetap dalam keadaannya.
Al Ghazali membagi manusia kepada tiga golongan, yaitu :
a. kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali.
b. kaum pilihan, yang akalnya tajam dan berfikirnya secara mendalam.
c. kaum penengkar.
• Moral
Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari ahklak, yaitu
a. Mempelajari akhlak sebagai studi murni teoritis.
b. Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan prilaku sehari-hari.
c. Karena akhlak merupakan subjek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral.
Kebahagiaan di surga ada dua tingkat, yang rendah dan yang tinggi. Yang rendah terdiri dari kesengan indrawi seperti makan dan minum, sedangkan yang tertingi ialah berada dekat dengan Allah dan menatap wajah-Nya yang Agung senantiasa.
• Jiwa
Jiwa berada di alam spiritual, sedangkan jasad di alam materi. Setelah kematian jasad musnah tapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya. Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adala setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bentuannya jiwa bisa mendapatkan bekal hidup kekalnya. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat baginya untuk utnuk mencari bekal dan kesempurnaan, karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia haus dirawat baik-baik. Menurut al Ghazali setiap perbuatan akal menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualiatas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan dengan sadar.
5. Ibnu Thufail
• Filsafat dan Agama
Menurutnya filsafat dan agama adalah selaras, bukan merupakan gambaran dari hakikat yang satu. Yang dimaksud agama disini adalah batin dan syari¡¦at. Ia juga menyadari adanya perbedaan tingkat pemahaman pada manusia. Ia menganggap tidak semua orang dapat mencapai kepada wajib al wujud dengan jalan berfilsafat seperti yang ditempuh oleh hayy. ¡¥Asal¡¦ ¡¥salaman¡¦ dan masyarakat awam tidak mungkin mengetahui al haqq, karena keterbatasan akalnya.
• Metafisika
Bagi Ibn Thufail, dalil adanya Allah adalah gerak alam. Sesuatu yang bergerak tidak mungkin terjadi sendiri tanpa ada yang penggerak di luar alam, dan berbeda dengan yang digerakkan. Penggerak itu adalah Allah.
Ibn Thufail membagi sifat Allah kepada dua macam :
a. sifat yang menetapkam wujud zat Allah, seperti ilmu, qudrat dan sifat-sifat ini adalah zat-Nya sendiri.
b. Sifat yang menfikan hal kebendaan dari zat Allah, sehingga Allah maha suci dari ikatan hal kebendaan.
• Epistimologi
Ibn Thufail menunjukkan jalan untuk sampai kepada objek pengetahuan yang maha tingi atau Tuhan. Jalan pertama melalui wahyu, dan jalan kedua adalah melalui filsafat. Ma¡¦rifat melalui akal ditempuh dengan jalam keterbukaan, mengamati, meneliti, mancari, mencoba, membandingkan, klasifikasi, generalisasi dan menyimpulkan. Jadi ma¡¦rifah adalah sesuatu yang dilatih mulai dari yang kongkrit berlanjut kepada yang abstrak. Dan khusus menuju global. Seterusnya dilanjutkan dengan perenungan yang terus menerus. Ma¡¦rifah melalui agama terjadi lewat pemahaman wahyu dan memahami segi batinnya dzauq. Hasilnya hanya bisa dirasakan, sulit untuk dikatakan. Tidak heran kalau muncul syatahat dari mulut seorang sufi. Jadi proses yang dilalui ma¡¦rifat semacam ini tidak mengikuti deduksi atau induksi, tetapi bersifat intuitif lewat cahaya suci.
• Jiwa
Ada tiga kategori jiwa, yaitu :
a. jiwa fadhilah, yakni kekal dalam kebahagiaan karena menganal Tuhan dan terus mengerahkan perhatian dan renungan kepadanya. kelak jiwa ini akan di tempakan di sorga.
b. Jiwa fasiqah, yakni jiwa yang kekal dalam kesengsaraan dan tempatnya dineraka. Karena pada mulanya jiwa ini telah menganal Allah, tetapi kemudian melupakannya dengan melakukan berbagai maksiat.
c. Jiwa jahiliyyah, yakkni jiwa yang musnah karena tidak pernah menganal Allah sama sekali, jiwa ini sama halnya dengan hewan melata.
Ibn Thufail menawarkan tiga jenis amaliyah yang harus diterapkan dalam hidup :
„« amaliyah yang menyerupai hewan (amaliyah yang dibutuhkan dan juga dapat menjadi penghalang untuk meningkatkan amaliyah berikutnya yang lebih tinggi).
„« Amaliyah yang menyerupai benda angkasa, yakni melakukan hubungan baik dengan dibawahnya, dengan dirinya, dengan Tuhannya.
„« Amaliyah yang menyerupai al wajib al wujud, amaliyah ini akan mampu mengantar kepada kebahagiaan abadi sebagai sarana akhir dari prinsip moral.
6. Ibn Rusyd
Aliran filsafat Ibn Rusyd adalah rasional. Ia menjunjung tinggi akal fikiran dan menghargai peranan akal, karena dengan akal fikiran itulah manusia dapat menafsirkan alam maujud. Akal fikiran bekerja atas dasar pengertian umum (ma¡¦ani kulliyah) yang didalamnya tercakup semua hal ihwal yang bersifat partial (juz¡¦iyah). Ia menjelaskan bahwa kuliyyat adalah gambaran akal, tidak berwujud kenyataan diluar akal.
• Metode-metode pembuktian kebenaran
Metode-metode yang dapat dilakukan manusia untuk membuktikan kebenaran ada tiga macam :
a. Metode Demonstrasi (al burhaniah)
b. Metode Dialektik (al Jadaliyyah)
c. Metode Retorika (al khatabiyyah)
• Metafisika
Dalam masalah ketuhanan ia berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama (muharik al awal). Sifat positif kepada Allah adalad akal dan ma¡¦qul. Wujud Allah aialah esa-Nya. Wujud dan keesaannya tidak berbeda dari zat-Nya. Sebagai orang berfikir rasional, ibn Rusyd menafsirkan agama pun dengan penafsiran rasional. Namun ia tetap berpegang kepada sumber agama, yakni al Qur¡¦an. Dalam mengenal sang pencipta tidak mungkin berhasil kecuali dengan melakukan pengamatan terhadap wujud yang diciptakan Allah.
• Kenabian
Ibn Rusyd tdak mengatakan bahwa nabi Muhammad saw tidak mengaku dirinya adalah nabi dengan mengemukakan hal-hal yang menyimpang dari hukum alam (mukjizt) sebagai tantang terhadap lawan-lawannya. Maka Al Qur¡¦an merupakan mukjizat terbesar, karena syari¡¦at yang dimuatnya berupa kepercayaan dan amalan yang tidak mungkin bisa dicari dan pelajari kecuali dengan wahyu.
Ibn Rusyd mengadakan pemisahan anatara dua macam mukjizat. Pertama, mukjizat Iuaran (al barrani), yaitu yang tidak sesuai dengan sifat yang karenannya seorang nabi . kedua, mukjizat yang sesuai dengan (al-munasib) sifat kenabian tersebut, yaitu syari¡¦at yang yang dibawanya untuk kebahagiaan umat.
• Tingkat Kemampuan Manusia
Pembenaran atau pembuktian sesuatu memang dipengaruhi oleh kapasitas individual. Diantaranya ada yang melakukan pembuktian (kebenaran) dengan cara burhan (demontrasi), ada juga lewat dialektik (jadali) seteguh ahli burhan melakukan demontrasi karena memang kemampuannya memang hanya sampai disitu, dam ada lagi melalui dalil retorik (khatabi) seteguh ahli burhan melakukan pembuktian dengan dalil-dalil demonstratif.
• Alam semesta antara qadim dan hadits
Kondisi benda-benda wujud yang tertangkap indra, seperti air, udara, hewan, bumi, dan tumbuh-tumbuhan terbagi beberapa kondisi yaitu : wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya sendiri, tetapi berasal dari sesuatu yang berbeda, yaitu penyebab gerak (sebab fa¡¦il, Officent cause), tercipta dari bahan (materi) tertentu, dan bahwa wujud ini keberadaannya didahului oleh zaman. Tingkat wujud semacam ini telah disepakati oleh semua pihak, baik pengikut Asy¡¦ari maupun para filsuf klasik, untuk menyebutnya sebagai (muhdatsah) tercipta setelah tidak ada.











DAFTAR PUSTAKA

Hoesin, Oemar Amin. Filsafat Islam
M.A., Prof. Dr. H. Sirajudin Zan. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Wiyastini, Dra. 1984. Unsur-unsur Filsafat Islam. UGM
Rahardjo, M. Dawam. Krisis Pradaban Islam
Abdurrohim. Pasang Surut Filsafat Islam Dan Benturannya Dengan Ortodoksi

Asy'ari

Paham teologi Asy'ari termasuk paham teologi tradisional,
yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang
menggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang
leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Mu'tazilah
dan Salafiyah, tetapi "benang merah" sebagai jalan tengah
yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak
Mu'tazilah, lain kali cenderung ke Salafiyah, dan lain kali
lagi, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang
bertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu. [1]
Untuk meninjau pemikiran-pemikiran al-Asy'ari lebih baik
memaparkan lebih dulu sejarah hidupnya meski secara ringkas.
Dengan pemaparan ini akan terlihat gambaran latar belakang
pemikirannya. Sebab suatu pemikiran merupakan hasil refleksi
zaman dan kondisi dari suatu masyarakat. Dan al-Asy'ari juga
tidak lepas dari konteks zaman dan maksyarakatnya sendiri.
Sebenarnya, nama asli Imam Asy'ari adalah Ali Ibn Ismail [2]
-keluarga Abu Musa al-Asy'ari. [3] Panggilan akrabnya Abu
al-Hasan [4]. Dia dilahirkan di Bashrah pada 260 H./875 M
[5] -saat wafatnya filsuf Arab muslim al-Kindi. [6] Ia wafat
di Baghdad pada tahun 324 H./935 M.
Abu al-Hasan al-Asy'ari pada mulanya belajar membaca,
menulis dan menghafal al-Qur'an dalam asuhan orang tuanya,
yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil.
Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadits, Fiqh, Tafsir
dan bahasa antara lain kepada al-Saji, Abu Khalifah
al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya'kub, Abdur Rahman
Ibn Khalf dan lain-lain. [7] Demikian juga ia belajar Fiqih
Syafi'i kepada seorang faqih: Abu Ishak al-Maruzi (w. 340
H./951 M.) -seorang tokoh Mu'tazilah di Bashrah. Sampai umur
empat puluh tahun ia selalu bersama ustaz al-Juba'i, serta
ikut berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran
Mu'tazilah. [9]
Pada tahun 300 H./915 M dalam usia 40 tahun, Abu al-Hasan
al-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Untuk hal
ini terdapat beberapa pendapat mengenai sebab-sebab
meninggalkan atau keluar dari Mu'tazilah. Sebab klasik yang
biasa disebut perpisahan dia dengan gurunya karena
terjadinya dialog antara keduanya tentang salah satu ajaran
pokok Mu'tazilah, yaitu masalah "keadilan Tuhan." Mu'tazilah
berpendapat, "semua perbuatan Tuhan tidak kosong dari
manfaat dan kemashlahatan. Tuhan tidak menghendaki sesuatu,
kecuali bermanfaat bagi manusia, bahkan Dia mesti
menghendaki yang baik dan terbaik untuk kemashlahatan
manusia. Paham ini di sebut al-Shalah wa 'l-Ashlah. [10]
Dialog tersebut berlangsung sebagai berikut:
Al-Asy'ari (A) - Bagaimana pendapat tuan tentang nasib tiga
orang bersaudara setelah wafat; yang tua mati dalam
bertaqwa; yang kedua mati kafir; dan yang ketiga mati dalam
keadaan masih kecil.
Aldubba'i (J) - yang taqwa mendapat terbaik; yang kafir
masuk neraka; dan yang kecil selamat dari bahaya neraka.
A - Kalau yang kecil ingin mendapatkan tempat yang lebih
baik di Sorga, mungkinkah?
J - Tidak, karena tempat itu hanya dapat dicapai dengan
jalan ibadat dan kepatuhan kepada Tuhan. Adapun anak kecil
belum mempunyai ibadat dan kepatuhan kepada-Nya.
A- Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukan
salahku. Sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan
mengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh yang
taqwa itu.
J - Allah akan menjawab kepada anak kecil itu, Aku tahu,
jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat maksiat dan
engkau akan mendapat siksa; maka Saya (Allah - Red) matikan
engkau adalah untuk kemaslahatanmu.
A - Sekiranya saudaranya yang kafir mengatakan, "Ya Tuhanku
Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa
depannya, mengapa Engkau tidak jaga kepentinganku?
Al-Jubba'i menjawab, "Engkau gila, (dalam riwayat lain
dikatakan, bahwa Al-Jubba'i hanya terdiam dan tidak
menjawab). [11]
Dalam percakapan di atas, al-Jubba'i, jagoan Mu'tazilah itu,
tampaknya dengan mudah saja dapat ditumbangkan oleh
al-Asy'ari. Tetapi dialog ini kelihatannya hanyalah sebuah
ilustrasi yang dibuat para pengikut al-Asy'ari sendiri untuk
memperlihatkan perbedaan logikanya dengan logika orang-orang
Mu'tazilah.
Bagi Mu'tazilah, si anak kecil tentu tidak akan mengajukan
protes kepada Allah, karena dia sendiri tahu, bahwa sesuai
dengan keadilan Tuhan, tempat yang cocok untuknya memang di
sana. Kalau Tuhan menempatkan anak kecil sederajat dengan
tempat orang yang taqwa, tentu dia sendiri akan merasakan
bahwa Tuhan sudah tidak adil lagi terhadap dirinya. Sebab,
tempatnya memang bukanlah seharusnya sederajat dengan
orang-orang yang taqwa.
Di alam akhirat, menurut Mu'tazilah, tidak ada lagi
perdebatan tentang keadilan Tuhan. Di sana, manusia sudah
mendapati al-Wa'ad wa al-Wa'id. Dia sudah menepati janji.
Yang taqwa mendapat sorga, yang kafir mendapat neraka, dan
jika di sana terdapat yang meninggal dunia dalam keadaan
masih kecil, baik anak-anak orang mukmin atau kafir, maka
bagi mereka tidak ada alasan untuk disiksa, karena Tuhan
Maha Suci dari penganiayaan. [12]
Bagi yang kafir lebih tidak punya alasan lagi. Sebab, Tuhan
lebih memperhatikan kemaslahatannya di dunia. Tuhan tidak
menghendaki kekafirannya. Berarti, jika ia kafir sama
artinya dengan kehendak diri sendiri. Sementara, dia sendiri
sudah tahu akibat kekafirannya, karena ia diberi akal dan
petunjuk. [13] Jadi, kalau yang kafir harus menyalahkan
Tuhan atas kehendak dan perbuatannya sendiri, maka ia
dianggap oleh Memorandum suatu pemikiran yang tidak
rasional.
Sebab lain yang biasa disebutkan adalah meninggalkan
ajaran-ajaran Mu'tazilah karena pernah bermimpi melihat
Rasulullah saw sebanyak tiga kali. Mimpi itu terjadi pada
bulan Ramadhan. Mimpi pertama terjadi pada tanggal 10; mimpi
kedua pada tanggal duapuluh, dan mimpi ketiga pada tanggal
tigapuluh. [14] Dalam mimpi yang terjadi pada bulan Ramadlan
itu Rasulullah menyampaikan bahwa madzhab ahli haditslah
yang benar, karena itulah madzhabnya yang berasal dari saya.
[15]
Diriwayatkan bahwa al-Asy'ari sebelum mengambil keputusan
untuk keluar dari Mu'tazilah, ia mengisolir diri di rumahnya
selama limabelas hari. Sesudah itu ia pergi ke mesjid lalu
naik mimbar dan menyampaikan:
"Saya dulu mengatakan, bahwa al-Qur'an adalah makhluk; Allah
swt. tidak dapat dilihat dengan pandangan mata orang mukmin
di akhirat dan perbuatan jahat adalah perbuatan saya
sendiri. Sekarang saya taubat dari semuanya itu. Saya
lemparkan keyakinan-keyakinan lama saya, sebagaimana saya
lemparkan baju ini (isyarat pada jubahnya). Dan saya keluar
dari kekejian dan skandal Mu'tazilah." [16]
Terlepas dari soal sesuai atau tidaknya uraian di atas
dengan fakta sejarah; maka dari sisi lain dapat pula kita
ungkapkan sebab yang mendorong al-Asy'ari meninggalkan faham
Mu'tazilah. Sebab itu ialah rasa skeptis dan
ketidakpercayaannya lagi terhadap kemampuan akal,
sebagaimana yang pernah pula dialami oleh al-Ghazali di
kemudian hari. Pada kedua tokoh ini terdapat suatu indikasi
kesamaan yang sangat mirip.
Al-Asy'ari, sebagai contoh pendiri aliran, setelah belajar
pada Mu'tazilah, kemudian merasa tidak puas, lantas
menyerangnya. Demikian juga halnya dengan al-Ghazali,
sebagai benteng pertahanan yang kokoh terhadap aliran
al-Asy'ari, setelah ia belajar filsafat, kemudian merasa
tidak puas, lalu menyerang pula. Al-Asy'ari memakai
ungkapan-ungkapan yang pedas sekali dalam menyerang
Mu'tazilah, dengan tuduhan sebagai golongan sesat,
penyeleweng, dan majusinya umat. Begitu pula al-Ghazali
menyerang para filsuf, dengan tuduhan sebagai golongan
bid'ah dan kufur. Al-Asy'ari melakukan sanggahan terhadap
Mu'tazilah setelah ia mengetahui benar akan aliran
Mu'tazilah itu. Setelah itu ia menulis sebuah buku yang
bernama Maqalat al-Islamiyyin yang berisikan kepercayaan
aliran-aliran. Dan untuk bantahannya ia menulis lagi sebuah
buku yang bernama al-Ibanah. Demikian juga halnya dengan
al-Ghazali, setelah mengkaji filsafat secara mendalam,
kemudian ia tulis pemikiran-pemikiran filsuf itu dalam
sebuah buku yang bernama Maqasid al-Falsafah. Setelah itu,
baru ia melakukan bantahan-bantahan terhadap para filsuf
dengan mengarang sebuah buku yang bernama Tahafut
al-Falasifah (kesalahan para filsuf).
Sebagaimana diketahui, pemegang janji rasional pada masa
al-Asy'ari adalah para tokoh Mu'tazilah, karena itu
sanggahannya tertuju langsung pada Mu'tazilah. Sementara
para filsuf yang dinilai sebagai pewaris pemikiran rasional
Mu'tazilah, maka al-Ghazali sebagai pembela ikhlas terhadap
aliran al-Asy'ari harus dengan tegas pula melakukan
sanggahan terhadap filsuf.
Pemikiran al-Asy'ari yang asli baru dapat diketahui setelah
ia menyatakan pemisahan dirinya dari Mu'tazilah dan
pengakuannya menganut paham aqidah salafiyah aliran Ahmad
bin Hambal. [17] Yaitu keimanan yang tidak didasari
penyelaman persoalan gaib yang mendalam. Di sisi lain, ia
hanya percaya pada akidah dengan dalil yang ditunjuk oleh
nash, dan dipahami secara tekstual sebagaimana yang tertulis
dalam Kitab suci dan sunnah Rasul. Fungsi akal hanyalah
sebagai saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil al-Qur'an.
[18] Jadi akal terletak di belakang nash-nash agama yang
tidak boleh berdiri sendiri. Ia bukanlah hakim yang akan
mengadili. Spekulasi apapun terhadap segala sesuatu yang
sakral dianggap suatu bid'ah. Setiap dogma harus dipercayai
tanpa mengajukan pertanyaan bagaimana dan mengapa.
Sekarang permasalahannya ialah, sampai seberapa jauh
al-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah dan
keikhlasannya terhadap ajaran Salafiyah. Untuk mengetahui
ajaran-ajaran al-Asy'ari, kita dapat melihat pada
kitab-kitab yang ditulisnya, terutama:
1.Maqalat al-Islamiyyin, merupakan karangan yang pertama
dalam soal-soal kepercayaan Islam. Buku ini menjadi sumber
yang penting, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya.
Buku ini terdiri -dari tiga bagian:
a.Tinjauan tentang golongan-golongan dalam Islam
b.Aqidah aliran Ashhab al-Hadits dan Ahl al-Sunnah, dan
c.Beberapa persoalan ilmu Kalam.
2.Al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah, berisikan uraian tentang
kepercayaan Ahl al-Sunnah dan pernyataan penghargaannya
terhadap persoalan-persoalan yang banyak dan penting. Dalam
buku ini ia menyerang dengan pedas aliran Mu'tazilah.
3.Kitab al-Luma' fi al-Radd 'ala ahl al-Zaigh wa al-bida',
berisikan sorotan terhadap lawan-lawannya dalam beberapa
persoalan ilmu Kalam.
Para ahli mempertanyakan tentang perbedaan kandungan yang
terdapat pada kedua kitabnya al-Ibanah dan al-Luma'. Yang
pertama, peranan naql lebih tinggi ketimbang akal. Dalam
arti, Salafiahnya lebih dominan dibandingkan Mu'tazilah.
Sedangkan buku kedua (al-Luma'), peranan akal lebih tinggi
dalam memahami nash-nash. Di sini terlihat adanya anjuran
kembali untuk memahami nash-nash agama dengan metode ilmu
kalam. [19]
Perbedaan ini bisa terjadi, karena al-Asy'ari pada kitabnya
al-Ibanah ditulisnya langsung setelah pernyataannya keluar
dari Mu'tazilah. Jadi, secara psikologis, bukunya dalam
rangka menonjolkan sikap loyalnya terhadap kaum Salafi,
sebagai rekan barunya. Dan sikap kebenciannya terhadap
Mu'tazilah karena penilaiannya sebagai musuh yang sedang
dihadapinya, meski dulu teman akrabnya. Sebenarnya, ini
dapat dipahami. Sebab, seseorang yang selama ini dijadikan
teman baik, oleh karena suatu hal berubah menjadi musuh,
maka ia akan memperlihatkan sikap bencinya terhadap musuh
itu. Dan sebaliknya akan memperlihatkan sikap loyalnya
terhadap teman baru. Karena itu, kitab al-Ibanah
mencerminkan tingkat kesunyian secara penuh. Sebaliknya,
menampakkan sikap bencinya terhadap Mu'tazilah lebih nyata.
Karena itu, kitab al-Ibanah menurut para ahli ditulis
langsung setelah al-Asy'ari meninggalkan faham Mu'tazilah.
III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (2/3)
SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH
oleh Zainun Kamal
Lain halnya dengan kitabnya al-Luma', yang ditulis setelah
kitab al-Ibanah. Ia sudah mesti mengambil sikap yang jelas.
Maka di sini terlihat kembali kajian keagamaan al-Asy'ari
dengan dalil-dalil rasional dan membangun ilmu kalamnya
sendiri. Dengan demikian, ketika menulis kitab al-Luma',
argumentasi rasional al-Asy'ari menonjol kembali dalam
memahami nash-nash agama dan terlihat interpretasi
metaforisnya (ta'wil). Kecenderungannya pada metode kaum
Mu'tazilah inilah yang menyebabkan kaum Hambali menolak
paham teologi al-Asy'ari.
Hal itu memperlihatkan gambaran yang agak mirip dengan sikap
al-Ghazali yang mencoba menyerang para filsuf, tetapi
kenyataannya ia tetap mempergunakan metode falsafah dalam
kajian keislaman, khususnya logika Aristoteles. Inilah yang
dikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa al-Ghazali telah masuk ke
dalam kandang falsafah, kemudian berusaha keluar, dan
berputar-putar mencari pintunya, tetapi sudah tidak berdaya
lagi untuk keluar.
Sebagai penentang Mu'tazilah, sudah barang tentu al-Asy'ari
berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan
sendiri merupakan pengetahuan ('Ilm). Yang benar, Tuhan itu
mengetahui (Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuanNya,
bukanlah dengan Zat-Nya. Demikian pula bukan dengan
sifat-sifat seperti, sifat hidup, berkuasa, mendengar dan
melihat. [20]
Disini terlihat, al-Asy'ari menetapkan sifat kepada Tuhan
seperti halnya kaum Salafi. Namun cara penafsirannya cukup
berbeda. Kaum Salafi hanya menetapkan sifat kepada Allah,
sebagaimana teks ayat, tanpa melakukan pembahasan mendalam.
Mereka hanya menerima arti dengan jalan kepercayaan, bahwa
sifat-sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Begitu
hati-hatinya mereka dalam menjaga persamaan Allah dengan
makhluk-Nya, sehingga mereka mengatakan, "Siapa yang
tergerak tangannya, lalu ketika membaca ayat yang berbunyi
"Aku (Allah) ciptakan dengan tangan-Ku," lalu ia langsung
mengatakan, wajib dipotong tangannya." [21]
Lain halnya dengan al-Asy'ari, baginya arti sifat tidak jauh
berbeda dengan pengertian sifat bagi Muitazilah. Bagi
al-Asy'ari, sifat berada pada Zat, tetapi sifat bukan Zat,
dan bukan pula lain dari Zat. Ungkapan al-Asy'ari yang
seperti ini, kata Dr. Ibrahim Madkour, tidak terlepas dari
paradoks. [22]
Bagi Mu'tazilah, sifat sama dengan Zat. Sifat tidak
mempunyai pengertian yang sebenarnya. Jika dikatakan, yang
mengetahui ('Alim), maka artinya menetapkan pengetahuan
('Ilm) bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah Zat-Nya
sendiri. Dalam hal ini, menetapkan sifat hanya sekedar untuk
memahami bahwa Allah bukanlah jahil. Seperti juga mengatakan
yang berkuasa (qadir) adalah menetapkan kekuasaan (qudrah)
bagi Allah. Kekuasaan itu adalah Zat-Nya sendiri. Artinya,
menafsirkan kelemahan Allah. [23]
Masih berbicara tentang tauhid, pemikiran al-Asy'ari yang
lain ialah, bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu,
al-Asy'ari membawakan argumen rasio dan nash. Yang tidak
dapat dilihat, kata al-Asy'ari, hanyalah yang tak punya
wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan
oleh karena itu dapat dilihat. [24]
Argumen al-Qur'an yang dimajukannya antara lain,
"Wajah-wajah yang ketika itu berseri-seri memandang kepada
Allah" (QS. al-Qiyamah: 22-23).
Menurut al-Asy'ari kata nazirah dalam ayat itu tak bisa
berarti memikirkan seperti pendapat Mu'tazilah, karena
akhirat bukanlah tempat berfikir; juga tak bisa berarti
menunggu, karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yang
menunggu adalah manusia. Lagi pula, di sorga tidak ada
penungguan, karena menunggu mengandung arti dan membuat
kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah mesti
berarti melihat dengan mata kepala. [25]
Sungguhpun al-Asy'ari berpendapat, bahwa orang-orang mukmin
nanti dapat melihat Tuhan di Akhirat dengan mata kepala,
namun pemahamannya bukanlah bersifat harfiyah. Tetapi
menghendaki suatu penafsiran lagi yaitu, bahwa melihat Tuhan
itu tidak mesti mempunyai tempat dan terarah pada tujuan,
tetapi hanya merupakan suatu penglihatan pengetahuan dan
kesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkan
bagi kita sekarang, bagaimana bentuk mata itu nantinya. [26]
Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapat
dilihat nanti di akhirat, maka al-Asy'ari memerlukan pula
untuk menafsirkan atau menta'wilkan ayat yang berikut ini:
Artinya: "Penglihatan tak dapat menangkap-Nya tetapi ia
dapat mengangkat penglihatannya." (al-An'am: 103) Ayat
tersebut di atas diartikan oleh al-Asy'ari, bahwa yang
dimaksud tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan
bukan di akhirat. Dan juga diartikan tidak dapat melihat
Tuhan di akhirat bagi orang kafir. [27]
Apa yang telah kita ungkapkan di atas, adalah merupakan
sebagian dari pemikiran al-Asy'ari tentang tauhid. Sekarang
kita berpindah kepada pemikirannya tentang keadilan. Sengaja
dirangkaikan keadilan dengan tauhid, karena pembahasan
tentang tauhid hanyalah merupakan filsafat ketuhanan semata,
sedangkan keadilan adalah merupakan filsafat hubungan khaliq
dengan makhluknya.
Al-Asy'ari, seperti Mu'tazilah, meyakini bahwa Allah adalah
Maha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak bahwa kita
mewajibkan sesuatu kepada Allah. Dan juga menolak faham
al-Shalah wa al-Ashlah Mu'tazilah, artinya, Tuhan wajib
mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan
manusia. Allah, kata al-Asy'ari, bebas memperbuat apa yang
kehendaki-Nya. [28]
Al-Asy'ari meninjau keadilan Tuhan dari sudut kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Keadilan diartikannya "menempatkan
sesuatu pada tempat yang sebenarnya," yaitu seseorang
mempunyai kekuasaan mutlak atas harta yang dimilikinya serta
mempergunakannya sesuai dengan pengetahuan pemilik. [29]
Tidak dapat dikatakan salah, kata al-Asy'ari, kalau Tuhan
memasukkan seluruh umat manusia ke dalam sorga, termasuk
orang-orang kafir, dan juga tidak dapat dikatakan Tuhan
bersifat dzalim, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam
neraka. [30] Karena perbuatan salah dan tidak adil menurut
pendapatnya adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan
karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum,
maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.
[31]
Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak,
dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap
makhluk-Nya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di hari
kiamat, menjatuhkan hukuman bagi orang mukmim, atau
memasukkan orang kafir ke dalam sorga, maka Tuhan tidaklah
berbuat salah dan dzalim. Tuhan masih tetap bersifat adil.
[32] Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan
hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan.
Paham keadilan al-Asy'ari ini mirip dengan paham sebagian
umat yang merestui seorang raja yang absolut diktator. Sang
raja yang absolut diktator itu, memiliki hal penuh untuk
membunuh atau menghidupkan rakyatnya. Kemudian digambarkan,
bahwa sang raja itu diatas dari undang-undang dan hukum,
dalam arti, dia tidak perlu patuh dan tunduk kepada
undang-undang dan hukum. Karena undang-undang dan hukum itu
adalah bikinannya sendiri.
Dari asumsi itu, kemudian al-Asy'ari menganalogikan bahwa
Allah adalah memiliki kemerdekaan mutlak. Dia memperbuat
sekehendak-Nya terhadap milik-Nya. Maka tidak seorangpun
yang dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah mengenai
kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ini, maupun di
akhirat. [33] Kalau Allah menganiaya seluruh umat manusia,
baik di dunia atau di akhirat, maka tidak seorangpun yang
akan sanggup mempersalahkan dan menuntut-Nya. Persis seperti
seorang raja yang absolut diktator, kalau ia menganiaya
seluruh rakyatnya, maka tak seorangpun yang sanggup
menentangnya. Karena manusia, bagi al-Asy'ari, selalu
digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya
dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan
absolut mutlak. [34] Karena manusia dipandang lemah, maka
paham al-Asy'ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham
Jabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will).
Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak
dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan
dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asyari memakai
istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-Kasb dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia
dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang
faham kasb ini, al-Asy'ari memberi penjelasan yang sulit
ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia
dalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkap
bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi,
dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif
dalam perbuatannya. [35] Kasb, kata al-Asy'ari, adalah
sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muhtasib) dengan
perantaraan daya yang diciptakan. [36]
Melihat kepada pengertian, "sesuatu yang timbul dari yang
berbuat" mengandung atas perbuatannya. Tetapi keterangan
bahwa "kasb itu adalah ciptaan Tuhan" menghilangkan arti
keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif
dalam perbuatan-perbuatannya.
Argumen yang dimajukan oleh al-Asy'ari tentang diciptakannya
kasb oleh Tuhan adalah ayat:
"Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu." (QS.
al-Shaffat 37:96)
Jadi dalam paham al-Asy'ari, perbuatan-perbuatan manusia
adalah diciptakan Tuhan. [37] Dan tidak ada pembuat (agent)
bagi kasb kecuali Allah. [38] Dengan perkataan lain, yang
mewujudkan kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy'ari,
sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan,
dapat dilihat dari pendapat al-Asy'ari tentang kehendak dan
daya yang menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy'ari
menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin
dikehendaki. Tidak satupun didalam ini terwujud lepas dari
kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki
sesuatu, ia pasti ada, dan jika Tuhan tidak menghendakinya
niscaya ia tiada. [39] Firman Tuhan:
"Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki" (QS.
al-Insan 76:30).
Ayat ini diartikan oleh al-Asy'ari bahwa manusia tak bisa
menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia
supaya menghendaki sesuatu itu. [40] Ini mengandung arti
bahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan,
dan kehendak yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidak
lain dari kehendak Tuhan.
Dalam teori kasb, untuk terwujudnya suatu perbuatan dalam
perbuatan manusia, terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan
Tuhan dan perbuatah manusia. Perbuatan Tuhan adalah hakiki
dan perbuatan manusia adalah majazi (sebagai lambang).
Al-Baghdadi mencoba menjelaskan kepada kita sebagai berikut.
Tuhan dan manusia dalam suatu perbuatan adalah seperti dua
orang yang mengangkat batu b esar ; yang seorang mampu
mengangkatnya sendirian, sedangkan yang seorang lagi tidak
mampu. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu
besar itu, maka terangkatnya batu itu adalah oleh yang kuat
tadi, namun tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu
tidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia.
Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantaraannya daya
Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat
sebagai pembuat. [43]
III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (3/3)
SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH
oleh Zainun Kamal
Buat sementara dapat kita simpulkan bahwa dalam paham
al-Asy'ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya,
daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi daya yang berpengaruh
dan efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah
daya Tuhan, sedangkan daya manusia tidaklah efektif kalau
tidak disokong oleh daya Tuhan.
Karena manusia dalam teori kasb al-Asy'ari tidak mempunyai
pengaruh efektif dalam perbuatannya, maka banyak para ahli
menilai bahwa kasb adalah sebagai jabariyah moderat, bahkan
Ibn Hazm (w. 456 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai,
sebagai jabariyah murni. [44] Harun Nasution juga
berpendapat demikian. Alasannya karena menurut al-Asy'ari
kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya
Tuhan, dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan dan
bukan perbuatan manusia. [46]
Ibn Taimiyyah menilai al-Asy'ari telah gagal dengan konsep
kasb-nya yang hendak menengahi antara Qaddariyyah dengan
Jabbariyah. Sebab, menurut Ibn Taimiyyah, Kasb-nya
al-Asy'ari itu telah membawa para pengikutnya berfaham
Jabariyah murni, yang mengingkari sama sekali adanya
kemampuan pada manusia untuk berbuat. Memang, seperti yang
sudah kita uraikan di atas, al-Asy'ari menegaskan bahwa kasb
manusia itu tidak mempunyai efek nyata dalam mewujudkan
perbuatan manusia itu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah
menilai konsep kasb yang ditetapkan al-Asy'ari itu tidak
masuk akal. [46]
PENGARUH KALAM AL-ASY'ARI
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam faham teologi
al-Asy'ari manusia selalu digambarkan sebagai seorang yang
lemah, yang tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat
berhadapan dengan kekuasaan yang absolut, apalagi berhadapan
dengan kekuasaan mutlak Allah.
Teologi ini timbul merupakan refleksi dari status sosial dan
kultural masyarakat pada masanya, yaitu keadaan masyarakat
Islam pada abad ke-9 M. [47] dimana raja-raja selalu
berkuasa dengan diktator dan mempunyai hak penuh untuk
menghukum siapa saja yang diinginkannya, sang raja tidak
perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Sebab
undang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri.
Karena teologi al-Asy'ari didirikan atas kerangka landasan
yang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yang
lemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu ia
dengan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang
bersifat sederhana dalam pemikiran.
Kunci keberhasilan teologi al-Asy'ari ialah karena sejak
awal berdirinya ia telah berpihak kepada awwamnya - umat
Islam, yang jumlahnya selalu mayoritas di dunia Sunni.
Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan
ajaran-ajaran Mu'tazilah.
Sejarah menunjukkan, bahwa aliran al-Asy'ari telah berhasil
menarik rakyat banyak di bawah naungannya berkat campur
tangan khalifah al-Mutawakkil, ketika yang terakhir ini
membatalkan aliran Mu'tazilah sebagai paham resmi pada waktu
itu. Kemudian setelah wafatnya al-Asy'ari pada tahun 935M.
Ajarannya dikembangkan oleh para pengikutnya, antara lain,
al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Akhirnya, aliran
itu mengalami kemajuan besar sekali, sehingga mayoritas umat
Islam menganutnya sampai detik ini.
Salah satu faktor penting bagi tersebarnya teologi
al-Asy'ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnya
terhadap Dinasti yang berkuasa, sebagai konsekuensi logis
dari paham manusia lemah dan patuh kepada penguasa. Dengan
demikian, ia sering mendapat dukungan, bahkan menjadi aliran
dari Dinasti yang berkuasa. Sungguhpun demikian, paham
al-Asy'ari ini juga telah membawa dampak dan pengaruh
negatif. Ia telah menghilangkan kesadaran pemikiran
rasionalisme di dunia Islam. Hilangnya pemikiran
rasionalisme tersebut telah menyebabkan kemunduran umat
Islam selama berabad-abad.
Karena akal manusia, menurut al-Asy'ari, mempunyai daya yang
lemah, akibatnya, menjadikan penganutnya kurang mempunyai
ruang gerak, karena terikat tidak saja pada dogma-dogma,
tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti dzanni,
yaitu ayat-ayat yang sebenarnya boleh mengandung arti lain
dari arti letterlek, tetapi mereka artikan secara letterlek.
Dengan demikian para penganutnya teologi ini sukar dapat
mengikuti dan mentolerir perubahan dan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat modern. Selain itu, ia dapat
merupakan salah satu dari faktor-faktor yang memperlambat
kemajuan dan pembangunan. Bahkan, lebih tegas lagi, Sayeed
Ameer Ali mengatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam
sekarang ini salah satu sebabnya karena formalisme
al-Asy'ari. [49]
Paham bahwa semua peristiwa yang terjadi, termasuk perbuatan
manusia, adalah atas kehendak Tuhan menghilangkan makna
pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, dan
lebih dari itu, menjadikan manusia-manusia yang tidak mau
bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahannya. Peristiwa
terowongan Mina adalah salah satu bukti nyata dari faham
Fatalisme. Dengan dalih peristiwa itu terjadi atas kehendak
Tuhan semata, sehingga tidak ada yang mau bertanggungjawab
atasnya.
Paham fatalisme yang berkembang dalam masyarakat, seperti
rezeki, jodoh dan maut adalah di tangan Tuhan, menjadikan
manusia-manusia yang enggan merubah nasibnya sendiri dan
merubah struktur masyarakat. Dan ia selalu mempersalahkan
takdir atas kemiskinan, kebodohan dan kematian massal yang
terjadi.
Untuk menutup tulisan ini, suatu kesimpulan dapat diambil
bahwa faham teologi al-Asy'ari mempunyai basis yang kuat
pada suatu masyarakat yang bersifat sederhana dalam cara
hidup dan berpikir, serta jauh dari pengetahuan. Tetapi
teologi ini akan menjadi lemah disaat berhadapan
perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru.
CATATAN
1.Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah II, Mesir,
tahun 1976, h. 46
2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail
Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa
al-Asy'ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-lbanah 'an
Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir,
1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat
juga Abu al-Hasan al-Asy'ari, maqalat al-Islamiyyin wa
Ikhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir,
1969, h. 3
3.Abu Musa al-Asy'ari adalah salah seorang sahabat
Rasul-Allah saw. dan salah seorang hakim yang mewakili Ali
Ibn Abi Thalib waktu terjadinya arbitrase antara Ali dan
Muawiyah, lihat Hamudah Guramah, Abu al-Hasan al-Asy'ari,
Mesir, 1973 h. 60
4.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 10
5.Terdapat beberapa variasi pendapat dalam menetapkan tahun
lahirnya: 270 H./885 M. Ibn Atsir, dalam al-Lubab I. h. 52
270 H./881 M. Al-Makrizi, dalam al-Khutbath III, h. 303
(dikutip dari Fanqiyah, Ibid., h. 13 Penulis lebih cenderung
menetapkan sejarah lahirnya pada ketika memisahkan diri dari
Mu'tazilah adalah pada tahun 300 H. Sedangkan usianya waktu
itu sudah umum diketahui empat puluh tahun. (lihat M. Ali
Abu Rayyan, Tarikh al-Fikri al-Falsafi Fi al-lslam,
Iskandariyah, 1980, h. 310
6.Hamuddh, Al-Asy'ari, hal. 60
7.Fauqiyah, Al-Ibanah, hal. 29
8.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982 h.
36
9.Louis Gardet & J. Anawati, Falsafat al-Fikrial-Dini Bain
al-Islam wa al-Masihiyah I (terj.) Bairut, 1976, h 93
10.Zuhdi Jar Allah, Al-Mu'tazilah. Bairut, 1974, h. 102
11.Lihat Rayyan, Tarikh, h. 312 Gardet & Anawati, Falsafah,
h. 94. Madkour, Fi al-Falsafah, h. 116, Subhi Fi Ilm
al-Kalam II, h. 73, Dan Hamudah, al-Asy'ari, h.65
12.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982, h.
159.
13.Bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kehendak dan
perbuatannya sendiri menurut pendapat Mu'tazilah, dapat
dilihat pada, Mahmud Kasim, Dirasat Fi al-Falsafah
al-Islamiyyah, Mesir, 1973 h. 164-165
14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31
15.Ibid., h. 34
16.Ibid., dan lihat juga Subhi, Fi Ilm al-Kalam II,
Iskandiyah, h. 41
17.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-Ibanah'an Ushul al-Dinayah,
Mesir,1397 H. H.8
18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35
19.Hasan Mahmud al-Asy'ari, dalam, Dirasat Arabiyah wa
Islamiyah I, Dar el Ulum, Kairo, 1985, h. 38
20.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Kitab al-Luma' Fi al-Rad'ala ahl
al-Zaigh wa al-Bida', Kairo, 1965, h. 30
21.Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal I, Ed. Abd. Aziz
M.M. Wakil, Kairo, 1968, h. 104
22.Madkour, Fi al-Fasafah II, h. 50
23.Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 51
24.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 17. Lihat juga, Al-Syahrastani,
Al-Mihal I, h. 100
25.Al-Asy'ari, Ibid, h. 13
26.Al-Syahrastani, Al-Milal I, h. 100. Lihat juga Madkour,
27.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 16
28.Al-Sahrastani, Al-Milal I, h. 102, 113
29.Ibid., h. 101
30.Ibid
31.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 71
32.Ibid., lihat juga Mahmud Kasim, Dirasat, h. 167
33.Mahmud Kasim, h. 168
34.Ibid.
35.Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah,
Kairo, tt., h.205
36.Al-Asy'ari, al-Luma', h. 76
37.Ibid., h. 70
38.Ibid., h. 72
39.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 51
40.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 57
41.Ibid, h. 41
42.Abd al-Rahman Badawi, Madzahib al-Islamiyin, Bairut,
1971, h. 562
43.Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul al Din, Bairut,
1981, h. 133-134
44.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, h. 205
45.Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983 h.
112
46.Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah II, h. 16-17
47.Mahmud Kasim, Dirasat, h. 34

TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH

Dengan mengatakan innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat (amal
ditentukan niyatnya), maka sesungguhnya Nabi Muhammad saw
sedang berteori bagaimana suatu amal, harus dikritik atau,
dalam bahasa manajemennya, dievaluasi. Niat, seperti
diketahui, adalah kesadaran tentang tujuan suatu amal
dilakukan. Dan amal berdimensi ganda, pertama yang bersifat
ke dalam dan personal, dan kedua yang bersifat keluar dan
sosial. Tujuan amal yang bersifat "kedalam" landasannya
adalah "iman," sedang tujuan yang bersifat "ke luar"
landasannya adalah "realitas kehidupan."
Syahdan, kritik amal atas dasar niat yang bersifat kedalam
sama sekali bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan dan
pribadi yang bersangkutan, dan waktunya, menurut agama,
bukan di sini, di dunia ini, tapi di sana, di alam akhirat
nanti. Yang ada pada wewenang kita, sebagai makhluk sosial,
adalah kritik atau evaluasi amal dari sudut niat (tujuan)nya
yang bersifat "keluar," yaitu mengapa dan dalam konteks
sosial yang bagaimana suatu amal telah dilakukan. Dalam
hubungan ini innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat akan berarti,
amal itu diikat dan ditentukan oleh konteksnya, oleh
realitas kehidupan yang mendorong kehadirannya. Tak ada
suatu amal yang muncul begitu saja lepas dari kaitan sebab
akibat yang melingkupinya. Dan hanya dalam kaitan sebab
akibat itulah suatu amal bisa dinilai, dikritik atau
dievaluasi. Dengan menerima dasar penilaian atau kritik yang
demikian ini, maka bisa dikemukakan beberapa acuan sebagai
berikut.
Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal
pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah,
justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga
bersifat relatif dan berubah. Kedua, bobot dan relevansi
suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian
benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada
kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang
diresponsnya. Ketiga, karena setiap amal adalah respons
terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan
relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas
realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi
realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan
relevansi pemikiran yang diresponinya.
Sementara itu, realitas yang menjadi pijakan amal pemikiran,
dapat kita kelompokkan dalam dua katagori, yaitu realitas
teoritik dan realitas empirik. Yang pertama adalah realitas
yang terdapat dalam dunia ide yang dipikirkan. Sedang yang
kedua adalah realitas yang ada dalam dunia kenyataan yang
dirasakan. Memang, keduanya tak harus selalu terpisah; yang
satu terhadap yang lain bisa saling pengaruh mempengaruhi.
Tapi yang saya maksudkan adalah, sebagian amal pemikiran
benar-benar lahir dengan titik tolak keprihatinan pada
realitas teoritis (baru kemudian, jika dirasa perlu,
bergerak ke realitas empiris), sedang sebagian amal
pemikiran yang lain, titik tolaknya adalah keprihatinan
terhadap realitas empiris (baru kemudian realitas yang
bersifat teoritis).
Pemikiran kategori pertama, karena titik tolak
keprihatinannya pada realitas abstrak dan umumnya terbatas
hanya pada concern kalangan tertentu, maka dampak sosialnya
pun cenderung abstrak dan terbatas pada kalangan tertentu
saja. Sebaliknya, pemikiran yang lahir dari keprihatinan
pada realitas riil yang dirasakan orang banyak, dengan
sendirinya, juga akan cenderung pada hal-hal yang konkrit
yang bisa mengena pada kepentingan orang banyak.
Demikianlah, pemikiran katagori pertama, akan cenderung
bercorak elitis, sedang yang kedua akan bercorak populis.
PEMIKIRAN TEOLOGI MU'TAZILAH
Fakta sejarah, bahwa pemikiran-pemikiran keagamaan (fiqh
atau teologi) sebagai amal yang ditawarkan para pemikir
Muslim sejak abad pertengahan adalah lahir dari suatu pola
keprihatinan yang serupa, yaitu bagaimana ajaran agama bisa
dipahami umat secara benar. (Suatu pemikiran yang jelas
berangkat dari keprihatinan teoritik). Seperti selalu
diulang-ulang para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abad
pertama Hijriah, telah terjadi dua perkembangan yang sangat
signifikan dalam sejarah umat Islam. Pertama, kenyataan
bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh
jadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, dimana
satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain,
tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini
yang terjadi dua kali, dikenal dengan sebutan fitnah kubra,
"cobaan besar." Perkembangan kedua adalah masuknya bangsa
Parsi dan sekitarnya kedalam Islam berikut pemikiran dan
keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam
benak masing-masing.
Dengan kedua perkembangan itulah muncul
pertanyaan-pertanyaan teologis. Bagaimana hukumnya orang
Islam yang melakukan dosa besar (seperti membunuh sesama
Muslim tanpa hak). Siapakah yang sesungguhnya
bertanggungjawab atas tindakan manusia: dirinyakah, atau
kekuatan-kekuatan itu, dan dalam kontrol siapakah ia.
Menurut ajaran Islam, ada dua jenis balasan sejati di
akhirat nanti, yaitu balasan sorga dan balasan neraka.
Berkaitan dengan tanggungjawab perbuatan manusia tadi,
faktor apakah yang memastikan orang memperoleh penyelamatan
Tuhan dengan masuk sorga, apakah faktor itu adalah "amal
perbuatannya" ataukah "rahmat Tuhan" semata yang diberikan
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pertanyaan ini
muncul -besar kemungkinan karena menurut doktrin Kristiani
yang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkungan
umat Islam- "penyelamatan Tuhan" itu tak ada sangkut pautnya
dengan amal perbuatan manusia, tapi semata-mata atas dasar
"rahmat" yang disediakan melalui pintu tunggalnya: Yesus.
Syahdan, dari keprihatinan atas pertanyaan-pertanyaan inilah
para pemikir Islam ketika itu merasa ditantang merumuskan
jawabannya yang benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang
shahih. Karuan saja, karena ajaran-ajaran Islam itu pun
harus diolah terlebih dahulu melalui subyektifitas
masing-masing pemikir, maka jawaban pun hadir dalam corak
dan pendekatan yang demikian berbeda-beda. Masing-masing
jawaban tumbuh sebagai aliran pemikiran yang berdiri
sendiri. Tersebutlah, di kemudian hari nama-nama: Khawarij,
Murjiah, Mu'tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Asy'ariyah,
Maturidiya, Khasywiyah dan sebagainya. Yang menarik adalah
bahwa masing-masing aliran ini, karena merasa berpedoman
pada pegangan mutlak yang ada di tangan, mengaku sebagai
satu-satunya yang benar, yang lainnya adalah salah.
Berbicara tentang awal mula sejarah Muitazilah, orang akan
selalu merujuk pada episoda diskusi Hasan al-Bashri (w. 110
H/ 728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan
para muridnya diseputar tema Muslim yes, Muslim no yang baru
pada taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya
seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah
termasuk orang dalam (in group, minna) atau termasuk orang
luar (out group, minhum). Maka terhadap pertanyaan yang
terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu
adalah jawaban-jawaban berikut. Pertama, dengan melakukan
dosa besar, seorang Muslim telah terpental dari kelompok
(komunitas) alias menjadi "kafir" dan karena itu -sesuai
dengan hukum riddah- halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini
diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan Khawarij.
Jawaban kedua mengatakan bahwa Muslim yang melakukan dosa
besar masih tetap tergolong Muslim, dan bagaimana dengan
dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di hari akhirat
nanti. Jawaban inilah yang agaknya dicondongi mayoritas umat
Islam yang disebut sebagai kelompok Murji'ah (artinya:
menangguhkan).
Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasa
harus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderungan
umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "di
dalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benar
jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya
yang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasan
berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!. Kata
i'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yang
hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada
Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.
Tapi kalau pertanyaan tentang "status pendosa besar" ini
banyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaan
tentang "kebebasan manusia," terasa lebih bersifat murni
teologis. Dan sebenarnya pada kisaran inilah Mu'tazilah
benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi yang tersendiri
diantara aliran-aliran teologi yang lain. Berbeda dengan
aliran teologi lainnya, Mu'tazilah secara tegas mengatakan
bahwa "manusia sepenuhnya memiliki kebebasannya sendiri
bertindak." Baginya, hanya dengan prinsip kebebasan inilah,
manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban di
kemudian hari. Prinsip "janji dan ancaman" (al-wa'du wa 'l
wa'id) yang akan dilaksanakan di hari kemudian tak bisa
dipahami tanpa adanya prinsip "kebebasan" tadi. Dan
sebaliknya, prinsip kebebasan juga hanya akan berarti kalau
ada "janji dan ancaman" yang setimpal di hari kemudian.
III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (2/2)
oleh Masdar F. Mas'udi
Mu'tazilah yakin bahwa pembalasan di akhirat semata-mata
ditentukan oleh "amal perbuatan manusia" yang diambilnya
sendiri secara bebas merdeka. Sebagai yang Maha adil Tuhan
harus membalas keburukan atas setiap tindakan buruk dan
harus membalas kebaikan atas semua tindakan yang baik. Dan
sebagai yang Maha adil, Dia tak bisa tidak kecuali harus
bertindak yang terbaik bagi manusia.
Sementara itu, manusia yang bebas dan bertanggungjawab itu,
pastilah manusia yang memiliki kemampuan yang memungkinkan
dirinya menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kemampuan itu menurut keyakinan Mu'tazilah sudah diberikan
Tuhan, berupa akal yang lebih dipahami sebagai rasio atau
nalar. Dengan nalarnya, manusia tumbuh sebagai makhluk yang
mandiri dan tidak lagi tergantung pada pihak lain dalam
menentukan jalan hidupnya. Baik atau buruk (al-hasan wa
'l-qabh) bukanlah sesuatu yang harus didiktekan siapa pun
juga, diluar diri manusia sendiri.
Pada poin inilah Mu'tazilah dimasyhurkan sebagai aliran
pemikiran yang rasionalistik, yang cenderung mengunggulkan
otoritas "akal" (nalar) atas "naqal," suatu pendirian yang
oleh mayoritas Muslim dipandang sangat membahayakan keutuhan
doktrin. Apakah dengan begitu, Mu'tazilah tak lagi perlu?
Tak ada penegasan eksplisit tentang itu. Tapi, dengan
tesisnya bahwa al-Qur'an itu makhluk, maka sebenarnya
Mu'tazilah sudah berketetapan hati bahwa sebagai sesama
makhluk, al-Qur'an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang
dapat mendikte manusia.
Seperti diketahui, tesis tentang Qur'an tersebut erat
kaitannya dengan tesisnya yang lain tentang "Keesaan Tuhan"
yang dibangunnya dengan pendekatan murni filosofis. Secara
harfiyah prinsip yang tersebut terakhir ini bukan barang
baru bagi umat Islam pada jamannya, bahkan juga sebelumnya.
Tapi "keesaan Tuhan" dalam teori Mu'tazilah ini menjadi baru
karena yang ia maksudkan rupanya adalah pembebasan (tanzih)
Tuhan dari seluruh "sifat" bahkan yang secara eksplisit
tersebut dalam ajaran-ajaran wahyu (Qur'an). Sifat-sifat
atau atribut yang dikenakan kepada Tuhan bukanlah sesuatu
yang sebangun dengan hakikat-Nya. Keduanya memiliki
perbedaan yang substansial. Yakni, jika hakikat Tuhan itu
qadim, maka segala sesuatu selainnya, termasuk sifat-sifat
yang dikenakan kepadaNya, adalah hadits. Dengan menarik
postulat ini lebih jauh, maka Qur'an sebagai ekspresi salah
satu sifat-Nya (al-kalam) yang hadits dengan demikian juga
berkapasitas hadits, maka diciptakan (makhluq).
TIGA KRITIK
Adalah al-Asy'ari (w. 330 H/942 M), menurut catatan sejarah
yang pertama kali menyatakan kekecewaannya terhadap konsep
teologi Mu'tazilah yang rasionalistik itu. Konon, pada suatu
ketika, al-Asy'ari bertanya kepada guru besarnya,
al-Jubba'iy, yang adalah teolog Mu'tazilah terkemuka pada
zamannya, tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa yang
sama-sama masuk sorga karena imannya. Tapi, sesuai dengan
keadilan Tuhan dalam persepsi Mu'tazilah, orang yang mati
dewasa itu menempati kedudukan lebih tinggi dibanding
kedudukan si anak. Mengapa harus begitu? Tanya Asy'ari.
Karena yang dewasa telah sempat beramal kebaikan, sedang si
anak belum, jawab Jubbaiy. Kenapa harus terjadi si anak
tidak diberi usia yang cukup agar ia bisa berbuat kebaikan
seperti temannya yang dewasa? Kejar Asy'ari. Tuhan tahu,
jika si anak dibiarkan hidup, ia akan tumbuh menjadi manusia
durhaka. Sementara Tuhan harus berbuat yang terbaik untuk
manusia, kilah Jubbaiy. Kalau begitu, kejar Asy'ari lebih
lanjut, bagaimana jika orang-orang yang dijebloskan dalam
neraka protes, kenapa mereka tidak dimatikan saja ketika
masih muda, hingga tak sempat tumbuh jadi manusia durhaka?
Yang menarik dari diskusi ini bukan saja al-Jubbaiy
kehabisan akal menjawabnya, tapi seperti halnya Jubbaiy,
Asy'ari pun juga menggunakan akal (logika) untuk mendukung
argumentasinya. Bedanya adalah bahwa Jubbaiy (Mu'tazilah)
dengan logika akalnya bersikeras untuk mendefinisikan Tuhan
menurut batas-batas manusia, sedang Asy'ari, juga dengan
logika akalnya, justru ingin membebaskan-Nya tetap berada di
atas batas-batas manusia tadi.
Kalau kritik al-Asy'ari itu adalah juga kritik kita kepada
Mu'tazilah, maka kritik kita yang kedua adalah pada klaimnya
sebagai telah menemukan kebenaran tunggal yang harus
diterima semua pihak. Sesungguhnyalah kritik ini tidak saja
mengena pada Mu'tazilah, tapi juga pada semua aliran teologi
yang tumbuh pada masa-masa itu karena klaim yang sama. Hanya
bedanya, bahwa Mu'tazilah mengaku telah menemukan kebenaran
tunggal dan mutlak itu melalui logika akal, sedang
lawan-lawannya mengaku menemukan kebenaran mutlak itu
melalui huruf-huruf naqal. Yang tersebut terakhir ini dengan
sangat militan diwakili oleh golongan Khasywiyah yang
mengaku menjadi pengikut Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H/855
M).
Itulah sebabnya, salah satu ciri yang menonjol dari sejarah
pemikiran keagamaan saat itu adalah kesembronoannya yang
benar-benar diyakini dalam menuduh orang atau pihak lain
sebagai kafir, syirk, murtad dan sejenisnya hanya lantaran
pendapat yang berbeda.
Untuk kasus Mu'tazilah sikap intoleransi ini ditindak
lanjuti dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkarnya yang
merisaukan banyak pihak yang menjadi lawan polemiknya.
Seperti diketahui, dengan dalih itu, Mu'tazilah telah
melancarkan intrik terhadap orang lain untuk menerima
doktrin-doktrin teologinya dan menimpakan hukuman atas siapa
saja yang mencoba menolaknya. Tragedi teologis ini dikenal
dengan mihnah, atau inquition yang dilakukannya dengan
dukungan tangan-tangan kekuasaan dan birokrasi pemerintahan
yang karena alasan politik tertentu dapat dipengaruhinya.
Sementara itu, kritik yang ketiga, karena pada dasarnya
Mu'tazilah lahir dari keprihatinan pada realitas teoritis
bahkan yang berdimensi metafisik, maka isu-isu yang
digelutinya pun hampir tak punya sentuhan yang bermakna bagi
umat pada umumnya. (Kritik ini pun mengena pada aliran
teologi lainnya, karena dasar keprihatinannya yang serupa).
Seperti telah disinggung di atas, salah satu prinsip ajaran
yang dipropagandakan Mu'tazilah adalah tentang "keadilan"
suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu,
terutama jika diingat praktek kesewenang-wenangan yang
dilakukan kalangan penguasa. Tapi, lantaran dasar
keprihatinannya yang elitis tadi, maka rupanya keadilan yang
dimaksudkan adalah keadilan lain (yang bersifat eskatologis)
yang berkaitan dengan "peranan" Tuhan di hari kemudian. Dan
dalam kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakan
umat, kelompok Mu'tazilah ini justru bergandengan-tangan
dengan rejim yang berkuasa untuk melakukan tindak
sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya.
TAWARAN ALTERNATIF
Mencoba konsisten dengan kerangka teori "niat" seperti
tersebut di atas, maka bagi saya, sistem pemikiran teologis
atau apa saja atributnya yang relevan untuk dibangun, adalah
yang benar-benar berangkat dari lapisannya paling bawah.
(Dari dasar keprihatinannya ini, ia bisa disebut misalnya
"teologi populis," atau "teologi kerakyatan"). Sehingga
kalau realitas yang menggugah keprihatinannya adalah soal
keadilan, maka keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan
Tuhan yang harus ditegakkan di "sana," tapi keadilan yang
menjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan di "sini."
Saya pikir, kalau teologi abad pertengahan (seperti
Mu'tazilah maupun lawan-lawannya) yang mengabdi kepada
kepentingan doktrin disebut teologi dialektik, maka sebutan
yang sama pun bisa juga dikenakan pada teologi yang perlu
kita kembangkan ini. Tapi kalau dialektika teologi yang
mengabdi doktrin itu berwatak retorik (dialektika yang
terjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satu
doktrin dengan doktrin yang lain), maka dialektika teologi
baru itu bersifat empiris (dialektika yang terjadi dari
proses penghadapan kritis antara realitas kehidupan dengan
pesan-pesan universal). Dilihat dari sudut muaranya, beda
antara teologi dialektika retorik di satu pihak dengan
dialektika empiris di lain pihak, adalah yang tersebut
pertama muaranya adalah pada terbangunnya kesesuaian
realitas pemahaman dengan bunyi doktrin yang statis, sedang
yang tersebut terakhir concernnya pada kesesuaian antara
realitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis.
Yang pertama berwatak formal dengan orientasi pada bentuk
dan cenderung tertutup, sedang yang kedua berwatak
substansial yang berorientasi pada substansi dan bersifat
terbuka. Dengan watak keterbukaannya, teologi dialektika
empiris ini akan menerima perbedaan pendapat sebagai
realitas kehidupan yang wajar. Justru dengan pendapat yang
berbeda-beda itu, maka kemungkinan menemukan pilihan "yang
terbaik" menjadi tersedia. Dengan demikian, teologi
dialektika empiris ini secara vertikal berwatak populis,
sedang secara horizontal berwatak demokratis; dua sisi yang
selama ini seperti cenderung terpisah.