BAHASA SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI

FUNGSI BAHASA SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI

Bahasa sebagai alat komunikasi merupakan sarana penghubung antara manusia, maupun mahluk hidup lainnya seperti hewan dengan hewan tentunya dengan bahasa masing – masing.
Proses ini sangat penting untuk dilakukan, dimana posisi manusia bukan hanya sebagai makhluk individu saja tetapi juga sebagai makhluk social. Itulah gunanya bahasa sebagai alat komunikasi agar kita bisa saling mengenal dan berhubungan dengan orang lain, dengan komunikasi orang lain tahu maksud yang kita inginkan dan sampaikan.
Bahasa isyarat juga termasuk komunikasi tetapi berlaku dalam lingkup kecil karena hanya orang tertentu yang mengerti.
Apabila kita kurang berkomunikasi misalnya ketika kita bertemu dengan dengan orang yang berasal dari daerah lain, maka kita akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Maka bahasa indonesialah solusinya, sehingga kita bisa sling mengetahui apa yang kita inginkan.

Jadi jangan remehkan bahasa
Contoh bahasa sebagai alat komunikasi:
1. Saat kita berbicara dengan orang lain
2. Saat kita melaksanakan akad jual beli


POLITISASI BAHASA SEBAGAI INSTRUMENT POLITIK MEDIA

Salah satu alat atau instrument yang mendasar dalam proses interaksi sosial kehidupan manusia adalah bahasa. Mustahil, jika ada manusia yang bisa hidup tanpa bahasa. Karena bahasa, manusia itu ada (eksis). Hampir semua aktivitas kehidupan manusia di dunia ini menghabiskan waktunya dengan bahasa. Mulai dari bangun tidur, makan, mandi, sampai tidur lagi, atau melakukan berbagai aktivitas manusia lainnya, tidak luput dari adanya penggunaan bahasa.
Bahasa bisa menjadi sumber mata pencaharian, kata Alex Sobur dalam bukunya yang berjudul, “Semiotika Komunikasi”. Dia mengatakan para sastrawan, wartawan, hakim, jaksa, penyiara radio – televisi, perancang iklan, memperoleh nafkahnya dari kemahiran berbahasa. Bahkan sesuai dengan perkembangan teknologi, bahasa kini bisa menjadi semacam alat penggerak dari jauh, dalam suatu mekanisme remote control, bagi individu yang ratusan ribu jumlahnya. “Dengan bahasa…,” kata Jalaluddin Rakhmat, “Anda dapat mengatur perilaku orang lain. Ibu anda dari Amerika dapat anda gerakan untuk datang kerumah kontrakan anda di Bandung hanya dengan mengirimkan kata-kata lewat telfon atau surat. Dengan aba-aba ‘maju, jalan’ seorang sersan dapat menggerakan puluhan tentara menghentakan kakinya dan berjalan dengan langkah-langkah tegap”.
Selain sebagai alat penggerak, bahasa juga dapat mewujudkan citra mengenai suatu peristiwa yang direpresentasikan dalam media massa. Citra mengenai suatu peristiwa itu akan muncul dari konstruksi realitas yang dibuat media. Setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, atau benda dalam media massa melalui unsur bahasa pada prinsipnya merupakan konstruksi realitas yang dapat memunculkan citra. Media massa menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Demikian wacana yang bermakna itulah menentukan citra yang ditampilkan media massa atas suatu peristiwa.
Lebih jauh dari itu, bahasa pun bisa didaya-gunakan untuk kepentingan politik. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana media massa memberitakan suatu peristiwa. Salah satunya dapat terjadi dalam proses pemilihan fakta. Proses pemilihan fakta itu didasarkan pada asumsi bahwa media atau wartawan memiliki perspektif dan bias ideologi tertentu dalam melihat peristiwa, sehingga dapat menentukan apa yang dipilih dan apa yang dibuang. Demikian, hasil dari pemilihan fakta itu memunculkan adanya penonjolan atau penghilangan tertentu yang mencerminkan orientasi media massa terhadap peristiwa yang diberitakannya.
Memang dalam hal ini bahasa tidak dapat dipisahkan dari kesaling berkaitannya dengan ideologi, pengetahuan, dan segala bentuk atau nilai kekuasaan lainnya yang beroperasi dibalik media. Begitu juga keterkaitan bahasa dan nilia-nilai tersebut akan beroperasi mempengaruhi ungkapan, gaya, pilihan kata, serta wilayah penggunaan bahasa lainnya.

Politisasi Bahasa
Pengertian politisasi bermuara kepada definisi Ilmu Politik. Ilmu Politik menurut George Simson dalam buku Sistem Politik menyatakan bahwa; Ilmu politik bertalian dengan bentuk-bentuk kekuasaan dan cara memperoleh kekuasaan (1977:14). Sedangkan pengertian politik sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah, kebijaksanaan (2003:886).
Kedua pengertian tersebut, memiliki makna bahwa politik itu merupakan suatu tindakan yang bertalian dengan cara menghadapi maupun memperoleh kekuasaan atau kebijaksanaan. Kemudian dari kedua pengertian tersebut, kita dapat merujuk kepada makna yang dapat menterjemahkan pengertian politisasi.
Politisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, hal yang membuat suatu perbuatan atau gagasan yang bersifat politis (2003:887). Demikian bila merujuk kepada makna pengertian politik yang sudah dipaparkan diatas. Pengertian politisasi itu adalah segala bentuk tindakan, baik melalui gagasan atau perbuatan yang bersifat seperti cara mengadapi maupun memperoleh kekuasaan dan atau kebijaksanaan (politis).
Politisasi bahasa, dalam hal ini kita akan membahas pengertian politisasi bahasa secara harfiah. Pengertian politisasi sudah dijelaskan diatas. Sedangkan pengertian bahasa menurut Sobur adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis, sehingga bisa digunakan sebagai alat komunikasi (Sobur, 2001:42).
Pengertian bahasa menurut Sobur itu menekankan maksud bahwa bahasa sebagai suatu alat komunikasi. Demikian dari pengertian semacam itu, kita dapat menyimpulkan pengertian politisasi bahasa. Jadi sederhananya, pengertian politisasi bahasa itu adalah segala bentuk tindakan melalui bahasa yang politis.
Segala bentuk tindakan melalui bahasa yang politis yang lazimnya namakan politisasi bahasa itu terdapat dalam konstuksi realitas media. Dimana konstruksi realitas dalam media itu memperlihatkan suatu makna atau citra yang dapat menentukan orientasi dan berbagai kepentingan tertentu dalam suatu peristiwa yang disajikan kedalam berita. Hal ini sekaligus memperlihatkan bagaimana media atau wartawannya mengkonstruksi realitas untuk menentukan kepentingan-kepentingan tertentu baik secara ideologis maupun nilai kekuasaan lain dalam berita yang disajikannya. Demikian segala tindakan media dalam mengkonstruksi realitas tersebut adalah politisasi bahasa.

Konstruksi Realitas
Konstruksi realitas pada hakikatnya merupakan aktivitas manusia sehari-hari ketika menceritakan, menggambarkan, mendeskripsikan peristiwa, keadaan, atau pun benda. Seorang mahasiswa setelah dipukuli polisi pada saat demontrasi, kemudian menceritakan keadaaan dirinya. Ketika menceritakaan keadaannya berarti seorang mahasiswa itu tengah mengkonstruksi realitas yang terjadi pada dirinya.
Setiap orang dalam memaknai realitas biasanya memiliki konstruksi yang berbeda-beda. Hal ini merupakan kondisi yang lazim terjadi karena setiap orang memiliki latar belakan pendidikan, pengalaman, pereferensi, dan lingkungan sosial tertentu dalam memaknai suatu realitas. Misalnya; aktivitas Munir selalu bersingungan dengan kiprah TNI dalam percaturan politik. Satu pihak bisa jadi mengkonstruksi aktivitas munir sebagai tindakan yang sensasional dan anti nasionalisme. Tapi pihak lain bisa juga mengkonstruksikan aktivitas Munir sebagai tindakan yang berani untuk menegakan supremasi sipil, HAM, dan demokrasi di Indonesia.
Seseorang pekerja media mendapatkan nafkahnya dari mengkonstruksikan realitas. Pemberitaan media merupakan hasil para pekerja media dalam mengkonstruksi realitas. Demikian pada hakikatnya, isi pemberitaan media merupakan hasil konstruksi para pekerja media.
Konsep tentang realitas semacam itu adalah dasar pemikiran kaum konstruksionis. Mereka memandang suatu kejadian (realitas) tidak hadir dengan sendirinya secara objektif, tetapi diketahui atau dipahami melalui pengalaman yang dipengaruhi oleh bahasa. Realitas dipahami melalui bahasa secara situasional yang tumbuh dari interaksi sosial dalam suatu kelompok sosial pada saat dan tempat tertentu. Begitu juga suatu realitas itu dapat dipahami dan ditentukan oleh konvensi-konvensi komunikasi yang dilakukan manusia. Demikian pemahaman-pemaham terhadap realitas yang tersusun secara sosial itu membentuk aspek penting dari kehidupan.
Atas dasar pemikiran semacam itulah kaum konstruksionis memiliki pandangan tersendiri dalam melihat wartawan, media, dan berita. Konsep mengenai konstruksionisme ini diperkenalkan oleh sosiolog interperatif, Peter L. Berger dan Tomas Luckman.
Konsep konstruksionis memandang media sebagai agen konstruksi pesan. Pandangan konstruksionis mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media. Dalam pandangan positivis, media dilihat sebagai saluran. Media adalah sarana bagaiamana pesan disebarkan dari komunikator ke penerima. Media disini dilihat murni sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita. Pandangan semacam ini, tentu saja melihat media bukan sebagai agen, melainkan hanya saluran. Media dilihat sebagai sarana yang netral. Artinya media disini tidak berperan dalam membentuk realitas. Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat sebaliknya. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias, dan pemihakkannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran yang bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukan pendapat sumber berita, tapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan.
Teori konstruksionis menilai berita merupakan hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan dan ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Berbeda halnya dengan pandangan kaum positivis yang menganggap berita sebagai refleksi dan pencerminan dari realitas.
Begitu juga teori konstruksionis menilai berita bersifat subjektif, misalnya sebuah opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. Sebaliknya pandangan positivistik menilai bahwa berita bersifat objektif – menyingkirkan opini dan pandangan subjektif dari pembuat berita.
Pandangan positivis melihat wartawan seperti layaknya seorang pelapor. Sebagai seorang pelapor wartawan hanya bertugas memberitakan atau mentransfer apa yang dia lihat dan apa yang dirasakan dilapangan. Karena itu, wartawan harus berfungsi sebagai pemulung yang netral, yang mengambil fakta dilapangan tersebut apa adanya.
Sebaliknya, pandangan konstruksionis melihat wartawan layaknya agen atau aktor pembentuk realitas. Wartawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja. Karena dalam kenyataannya, tidak ada realitas yang bersifat ekstrenal dan objektif, yang berada diluar wartawaan. Realitas bukanlah sesuatu yang “berada diluar” yang objektif, yang benar, yang seakan-akan ada sebelum diliput oleh wartawan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas itu sebaliknya bersifat subjektif, yang terbentuk lewat pemahaman dan pemaknaan subjektif dari wartawan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Sobur, Alex. (2003). Semiotika Komunikasi.
2. Hamad, Ibnu. (2004) Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa.
3. H.A, Saripudin. Hasan, Qusyaini. (2003). Tomy Winata dalam Citra Media.
4. Riyanto. (2002). Analisis Wacana.

1 Response to "BAHASA SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI"

  1. Anonim Says:
    17 Agustus 2010 pukul 05.10

    saya paling tidak setuju pengertian politik menurut kamus besar bahasa indonesia. Pengertiannya masih belum jelas.
    Sedangkan politik sudah jelas selalu berkaitan dengan negara. Bentuk pemerintahan seperti kerajaan, presidensil, perdana menteri dan sejenisnya. Juga adanya lembaga legislatif dan eksekutif.

Posting Komentar