Dengan mengatakan innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat (amal
ditentukan niyatnya), maka sesungguhnya Nabi Muhammad saw
sedang berteori bagaimana suatu amal, harus dikritik atau,
dalam bahasa manajemennya, dievaluasi. Niat, seperti
diketahui, adalah kesadaran tentang tujuan suatu amal
dilakukan. Dan amal berdimensi ganda, pertama yang bersifat
ke dalam dan personal, dan kedua yang bersifat keluar dan
sosial. Tujuan amal yang bersifat "kedalam" landasannya
adalah "iman," sedang tujuan yang bersifat "ke luar"
landasannya adalah "realitas kehidupan."
Syahdan, kritik amal atas dasar niat yang bersifat kedalam
sama sekali bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan dan
pribadi yang bersangkutan, dan waktunya, menurut agama,
bukan di sini, di dunia ini, tapi di sana, di alam akhirat
nanti. Yang ada pada wewenang kita, sebagai makhluk sosial,
adalah kritik atau evaluasi amal dari sudut niat (tujuan)nya
yang bersifat "keluar," yaitu mengapa dan dalam konteks
sosial yang bagaimana suatu amal telah dilakukan. Dalam
hubungan ini innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat akan berarti,
amal itu diikat dan ditentukan oleh konteksnya, oleh
realitas kehidupan yang mendorong kehadirannya. Tak ada
suatu amal yang muncul begitu saja lepas dari kaitan sebab
akibat yang melingkupinya. Dan hanya dalam kaitan sebab
akibat itulah suatu amal bisa dinilai, dikritik atau
dievaluasi. Dengan menerima dasar penilaian atau kritik yang
demikian ini, maka bisa dikemukakan beberapa acuan sebagai
berikut.
Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal
pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah,
justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga
bersifat relatif dan berubah. Kedua, bobot dan relevansi
suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian
benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada
kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang
diresponsnya. Ketiga, karena setiap amal adalah respons
terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan
relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas
realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi
realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan
relevansi pemikiran yang diresponinya.
Sementara itu, realitas yang menjadi pijakan amal pemikiran,
dapat kita kelompokkan dalam dua katagori, yaitu realitas
teoritik dan realitas empirik. Yang pertama adalah realitas
yang terdapat dalam dunia ide yang dipikirkan. Sedang yang
kedua adalah realitas yang ada dalam dunia kenyataan yang
dirasakan. Memang, keduanya tak harus selalu terpisah; yang
satu terhadap yang lain bisa saling pengaruh mempengaruhi.
Tapi yang saya maksudkan adalah, sebagian amal pemikiran
benar-benar lahir dengan titik tolak keprihatinan pada
realitas teoritis (baru kemudian, jika dirasa perlu,
bergerak ke realitas empiris), sedang sebagian amal
pemikiran yang lain, titik tolaknya adalah keprihatinan
terhadap realitas empiris (baru kemudian realitas yang
bersifat teoritis).
Pemikiran kategori pertama, karena titik tolak
keprihatinannya pada realitas abstrak dan umumnya terbatas
hanya pada concern kalangan tertentu, maka dampak sosialnya
pun cenderung abstrak dan terbatas pada kalangan tertentu
saja. Sebaliknya, pemikiran yang lahir dari keprihatinan
pada realitas riil yang dirasakan orang banyak, dengan
sendirinya, juga akan cenderung pada hal-hal yang konkrit
yang bisa mengena pada kepentingan orang banyak.
Demikianlah, pemikiran katagori pertama, akan cenderung
bercorak elitis, sedang yang kedua akan bercorak populis.
PEMIKIRAN TEOLOGI MU'TAZILAH
Fakta sejarah, bahwa pemikiran-pemikiran keagamaan (fiqh
atau teologi) sebagai amal yang ditawarkan para pemikir
Muslim sejak abad pertengahan adalah lahir dari suatu pola
keprihatinan yang serupa, yaitu bagaimana ajaran agama bisa
dipahami umat secara benar. (Suatu pemikiran yang jelas
berangkat dari keprihatinan teoritik). Seperti selalu
diulang-ulang para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abad
pertama Hijriah, telah terjadi dua perkembangan yang sangat
signifikan dalam sejarah umat Islam. Pertama, kenyataan
bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh
jadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, dimana
satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain,
tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini
yang terjadi dua kali, dikenal dengan sebutan fitnah kubra,
"cobaan besar." Perkembangan kedua adalah masuknya bangsa
Parsi dan sekitarnya kedalam Islam berikut pemikiran dan
keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam
benak masing-masing.
Dengan kedua perkembangan itulah muncul
pertanyaan-pertanyaan teologis. Bagaimana hukumnya orang
Islam yang melakukan dosa besar (seperti membunuh sesama
Muslim tanpa hak). Siapakah yang sesungguhnya
bertanggungjawab atas tindakan manusia: dirinyakah, atau
kekuatan-kekuatan itu, dan dalam kontrol siapakah ia.
Menurut ajaran Islam, ada dua jenis balasan sejati di
akhirat nanti, yaitu balasan sorga dan balasan neraka.
Berkaitan dengan tanggungjawab perbuatan manusia tadi,
faktor apakah yang memastikan orang memperoleh penyelamatan
Tuhan dengan masuk sorga, apakah faktor itu adalah "amal
perbuatannya" ataukah "rahmat Tuhan" semata yang diberikan
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pertanyaan ini
muncul -besar kemungkinan karena menurut doktrin Kristiani
yang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkungan
umat Islam- "penyelamatan Tuhan" itu tak ada sangkut pautnya
dengan amal perbuatan manusia, tapi semata-mata atas dasar
"rahmat" yang disediakan melalui pintu tunggalnya: Yesus.
Syahdan, dari keprihatinan atas pertanyaan-pertanyaan inilah
para pemikir Islam ketika itu merasa ditantang merumuskan
jawabannya yang benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang
shahih. Karuan saja, karena ajaran-ajaran Islam itu pun
harus diolah terlebih dahulu melalui subyektifitas
masing-masing pemikir, maka jawaban pun hadir dalam corak
dan pendekatan yang demikian berbeda-beda. Masing-masing
jawaban tumbuh sebagai aliran pemikiran yang berdiri
sendiri. Tersebutlah, di kemudian hari nama-nama: Khawarij,
Murjiah, Mu'tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Asy'ariyah,
Maturidiya, Khasywiyah dan sebagainya. Yang menarik adalah
bahwa masing-masing aliran ini, karena merasa berpedoman
pada pegangan mutlak yang ada di tangan, mengaku sebagai
satu-satunya yang benar, yang lainnya adalah salah.
Berbicara tentang awal mula sejarah Muitazilah, orang akan
selalu merujuk pada episoda diskusi Hasan al-Bashri (w. 110
H/ 728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan
para muridnya diseputar tema Muslim yes, Muslim no yang baru
pada taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya
seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah
termasuk orang dalam (in group, minna) atau termasuk orang
luar (out group, minhum). Maka terhadap pertanyaan yang
terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu
adalah jawaban-jawaban berikut. Pertama, dengan melakukan
dosa besar, seorang Muslim telah terpental dari kelompok
(komunitas) alias menjadi "kafir" dan karena itu -sesuai
dengan hukum riddah- halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini
diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan Khawarij.
Jawaban kedua mengatakan bahwa Muslim yang melakukan dosa
besar masih tetap tergolong Muslim, dan bagaimana dengan
dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di hari akhirat
nanti. Jawaban inilah yang agaknya dicondongi mayoritas umat
Islam yang disebut sebagai kelompok Murji'ah (artinya:
menangguhkan).
Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasa
harus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderungan
umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "di
dalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benar
jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya
yang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasan
berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!. Kata
i'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yang
hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada
Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.
Tapi kalau pertanyaan tentang "status pendosa besar" ini
banyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaan
tentang "kebebasan manusia," terasa lebih bersifat murni
teologis. Dan sebenarnya pada kisaran inilah Mu'tazilah
benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi yang tersendiri
diantara aliran-aliran teologi yang lain. Berbeda dengan
aliran teologi lainnya, Mu'tazilah secara tegas mengatakan
bahwa "manusia sepenuhnya memiliki kebebasannya sendiri
bertindak." Baginya, hanya dengan prinsip kebebasan inilah,
manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban di
kemudian hari. Prinsip "janji dan ancaman" (al-wa'du wa 'l
wa'id) yang akan dilaksanakan di hari kemudian tak bisa
dipahami tanpa adanya prinsip "kebebasan" tadi. Dan
sebaliknya, prinsip kebebasan juga hanya akan berarti kalau
ada "janji dan ancaman" yang setimpal di hari kemudian.
III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (2/2)
oleh Masdar F. Mas'udi
Mu'tazilah yakin bahwa pembalasan di akhirat semata-mata
ditentukan oleh "amal perbuatan manusia" yang diambilnya
sendiri secara bebas merdeka. Sebagai yang Maha adil Tuhan
harus membalas keburukan atas setiap tindakan buruk dan
harus membalas kebaikan atas semua tindakan yang baik. Dan
sebagai yang Maha adil, Dia tak bisa tidak kecuali harus
bertindak yang terbaik bagi manusia.
Sementara itu, manusia yang bebas dan bertanggungjawab itu,
pastilah manusia yang memiliki kemampuan yang memungkinkan
dirinya menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kemampuan itu menurut keyakinan Mu'tazilah sudah diberikan
Tuhan, berupa akal yang lebih dipahami sebagai rasio atau
nalar. Dengan nalarnya, manusia tumbuh sebagai makhluk yang
mandiri dan tidak lagi tergantung pada pihak lain dalam
menentukan jalan hidupnya. Baik atau buruk (al-hasan wa
'l-qabh) bukanlah sesuatu yang harus didiktekan siapa pun
juga, diluar diri manusia sendiri.
Pada poin inilah Mu'tazilah dimasyhurkan sebagai aliran
pemikiran yang rasionalistik, yang cenderung mengunggulkan
otoritas "akal" (nalar) atas "naqal," suatu pendirian yang
oleh mayoritas Muslim dipandang sangat membahayakan keutuhan
doktrin. Apakah dengan begitu, Mu'tazilah tak lagi perlu?
Tak ada penegasan eksplisit tentang itu. Tapi, dengan
tesisnya bahwa al-Qur'an itu makhluk, maka sebenarnya
Mu'tazilah sudah berketetapan hati bahwa sebagai sesama
makhluk, al-Qur'an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang
dapat mendikte manusia.
Seperti diketahui, tesis tentang Qur'an tersebut erat
kaitannya dengan tesisnya yang lain tentang "Keesaan Tuhan"
yang dibangunnya dengan pendekatan murni filosofis. Secara
harfiyah prinsip yang tersebut terakhir ini bukan barang
baru bagi umat Islam pada jamannya, bahkan juga sebelumnya.
Tapi "keesaan Tuhan" dalam teori Mu'tazilah ini menjadi baru
karena yang ia maksudkan rupanya adalah pembebasan (tanzih)
Tuhan dari seluruh "sifat" bahkan yang secara eksplisit
tersebut dalam ajaran-ajaran wahyu (Qur'an). Sifat-sifat
atau atribut yang dikenakan kepada Tuhan bukanlah sesuatu
yang sebangun dengan hakikat-Nya. Keduanya memiliki
perbedaan yang substansial. Yakni, jika hakikat Tuhan itu
qadim, maka segala sesuatu selainnya, termasuk sifat-sifat
yang dikenakan kepadaNya, adalah hadits. Dengan menarik
postulat ini lebih jauh, maka Qur'an sebagai ekspresi salah
satu sifat-Nya (al-kalam) yang hadits dengan demikian juga
berkapasitas hadits, maka diciptakan (makhluq).
TIGA KRITIK
Adalah al-Asy'ari (w. 330 H/942 M), menurut catatan sejarah
yang pertama kali menyatakan kekecewaannya terhadap konsep
teologi Mu'tazilah yang rasionalistik itu. Konon, pada suatu
ketika, al-Asy'ari bertanya kepada guru besarnya,
al-Jubba'iy, yang adalah teolog Mu'tazilah terkemuka pada
zamannya, tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa yang
sama-sama masuk sorga karena imannya. Tapi, sesuai dengan
keadilan Tuhan dalam persepsi Mu'tazilah, orang yang mati
dewasa itu menempati kedudukan lebih tinggi dibanding
kedudukan si anak. Mengapa harus begitu? Tanya Asy'ari.
Karena yang dewasa telah sempat beramal kebaikan, sedang si
anak belum, jawab Jubbaiy. Kenapa harus terjadi si anak
tidak diberi usia yang cukup agar ia bisa berbuat kebaikan
seperti temannya yang dewasa? Kejar Asy'ari. Tuhan tahu,
jika si anak dibiarkan hidup, ia akan tumbuh menjadi manusia
durhaka. Sementara Tuhan harus berbuat yang terbaik untuk
manusia, kilah Jubbaiy. Kalau begitu, kejar Asy'ari lebih
lanjut, bagaimana jika orang-orang yang dijebloskan dalam
neraka protes, kenapa mereka tidak dimatikan saja ketika
masih muda, hingga tak sempat tumbuh jadi manusia durhaka?
Yang menarik dari diskusi ini bukan saja al-Jubbaiy
kehabisan akal menjawabnya, tapi seperti halnya Jubbaiy,
Asy'ari pun juga menggunakan akal (logika) untuk mendukung
argumentasinya. Bedanya adalah bahwa Jubbaiy (Mu'tazilah)
dengan logika akalnya bersikeras untuk mendefinisikan Tuhan
menurut batas-batas manusia, sedang Asy'ari, juga dengan
logika akalnya, justru ingin membebaskan-Nya tetap berada di
atas batas-batas manusia tadi.
Kalau kritik al-Asy'ari itu adalah juga kritik kita kepada
Mu'tazilah, maka kritik kita yang kedua adalah pada klaimnya
sebagai telah menemukan kebenaran tunggal yang harus
diterima semua pihak. Sesungguhnyalah kritik ini tidak saja
mengena pada Mu'tazilah, tapi juga pada semua aliran teologi
yang tumbuh pada masa-masa itu karena klaim yang sama. Hanya
bedanya, bahwa Mu'tazilah mengaku telah menemukan kebenaran
tunggal dan mutlak itu melalui logika akal, sedang
lawan-lawannya mengaku menemukan kebenaran mutlak itu
melalui huruf-huruf naqal. Yang tersebut terakhir ini dengan
sangat militan diwakili oleh golongan Khasywiyah yang
mengaku menjadi pengikut Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H/855
M).
Itulah sebabnya, salah satu ciri yang menonjol dari sejarah
pemikiran keagamaan saat itu adalah kesembronoannya yang
benar-benar diyakini dalam menuduh orang atau pihak lain
sebagai kafir, syirk, murtad dan sejenisnya hanya lantaran
pendapat yang berbeda.
Untuk kasus Mu'tazilah sikap intoleransi ini ditindak
lanjuti dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkarnya yang
merisaukan banyak pihak yang menjadi lawan polemiknya.
Seperti diketahui, dengan dalih itu, Mu'tazilah telah
melancarkan intrik terhadap orang lain untuk menerima
doktrin-doktrin teologinya dan menimpakan hukuman atas siapa
saja yang mencoba menolaknya. Tragedi teologis ini dikenal
dengan mihnah, atau inquition yang dilakukannya dengan
dukungan tangan-tangan kekuasaan dan birokrasi pemerintahan
yang karena alasan politik tertentu dapat dipengaruhinya.
Sementara itu, kritik yang ketiga, karena pada dasarnya
Mu'tazilah lahir dari keprihatinan pada realitas teoritis
bahkan yang berdimensi metafisik, maka isu-isu yang
digelutinya pun hampir tak punya sentuhan yang bermakna bagi
umat pada umumnya. (Kritik ini pun mengena pada aliran
teologi lainnya, karena dasar keprihatinannya yang serupa).
Seperti telah disinggung di atas, salah satu prinsip ajaran
yang dipropagandakan Mu'tazilah adalah tentang "keadilan"
suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu,
terutama jika diingat praktek kesewenang-wenangan yang
dilakukan kalangan penguasa. Tapi, lantaran dasar
keprihatinannya yang elitis tadi, maka rupanya keadilan yang
dimaksudkan adalah keadilan lain (yang bersifat eskatologis)
yang berkaitan dengan "peranan" Tuhan di hari kemudian. Dan
dalam kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakan
umat, kelompok Mu'tazilah ini justru bergandengan-tangan
dengan rejim yang berkuasa untuk melakukan tindak
sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya.
TAWARAN ALTERNATIF
Mencoba konsisten dengan kerangka teori "niat" seperti
tersebut di atas, maka bagi saya, sistem pemikiran teologis
atau apa saja atributnya yang relevan untuk dibangun, adalah
yang benar-benar berangkat dari lapisannya paling bawah.
(Dari dasar keprihatinannya ini, ia bisa disebut misalnya
"teologi populis," atau "teologi kerakyatan"). Sehingga
kalau realitas yang menggugah keprihatinannya adalah soal
keadilan, maka keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan
Tuhan yang harus ditegakkan di "sana," tapi keadilan yang
menjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan di "sini."
Saya pikir, kalau teologi abad pertengahan (seperti
Mu'tazilah maupun lawan-lawannya) yang mengabdi kepada
kepentingan doktrin disebut teologi dialektik, maka sebutan
yang sama pun bisa juga dikenakan pada teologi yang perlu
kita kembangkan ini. Tapi kalau dialektika teologi yang
mengabdi doktrin itu berwatak retorik (dialektika yang
terjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satu
doktrin dengan doktrin yang lain), maka dialektika teologi
baru itu bersifat empiris (dialektika yang terjadi dari
proses penghadapan kritis antara realitas kehidupan dengan
pesan-pesan universal). Dilihat dari sudut muaranya, beda
antara teologi dialektika retorik di satu pihak dengan
dialektika empiris di lain pihak, adalah yang tersebut
pertama muaranya adalah pada terbangunnya kesesuaian
realitas pemahaman dengan bunyi doktrin yang statis, sedang
yang tersebut terakhir concernnya pada kesesuaian antara
realitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis.
Yang pertama berwatak formal dengan orientasi pada bentuk
dan cenderung tertutup, sedang yang kedua berwatak
substansial yang berorientasi pada substansi dan bersifat
terbuka. Dengan watak keterbukaannya, teologi dialektika
empiris ini akan menerima perbedaan pendapat sebagai
realitas kehidupan yang wajar. Justru dengan pendapat yang
berbeda-beda itu, maka kemungkinan menemukan pilihan "yang
terbaik" menjadi tersedia. Dengan demikian, teologi
dialektika empiris ini secara vertikal berwatak populis,
sedang secara horizontal berwatak demokratis; dua sisi yang
selama ini seperti cenderung terpisah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH"
Posting Komentar