Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

Etika Filsafat

PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, karena dia diberi akal. Akal inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya, membedakan manusia dengan binatang. Dengan akalnya manusia berpikir, bahkan sering dijumpai dalam komunikasi sehari-hari muncul istilah “orang itu tidak punya pikiran”, ini sebagai analogi bahwa pikiran sama dengan akal.
Dengan akhirnya mencari tahu. Inilah asal mula pengetahuan, yaitu adanya keingintahuan manusia. Ketika manusia berpikir, dari mana dia ada, untuk apa dia ada, dan kemana setelah tiada? Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab dengan segera dan spontan, tetapi membutuhkan pemikiran secara mendalam, membutuhkan perenenungan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bersifat filsafat. Jawabannya membutuhkan pemikiran filsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam tentang segala sesuatu sejauh akal manusia dapat menjangkaunya.
Pengertian Filsafat
Secara etimologis (ilmu asal usul kata) kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philosophia terdiri dari dua kata, yaitu philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta serta sophos yang berarti kearifan atau kebijaksanaan. Dari bahasa Yunani ini melahirkan kata dalam bahasa Inggris philosophy yang diterjemahkan sebagai cinta kearifan/kebijaksanaan. Cinta dapat diartikan sebagai suatu dinamika yang menggerakan subjek untuk bersatu dengan objeknya dalam arti dipengaruhi dan diliputi objeknya. Sedangkan kearifan atau kebijaksanaan dapat diartikan ketepatan bertindak. Dalam bahasa Inggris dapat ditemukan kata policy dan wisdom untuk menyebut kebijaksanaan. Namun yang sering dipergunakan dalam filsafat adalah kata wisdom dan lebih ditujukan pada pengertian keaifan.

PENGERTIAN FILSAFAT DAPAT DIBEDAKAN
1. Filsafat sebagai suatu sikap
Filsafat merupakan sifat terhadap kehidupan dan alam semesta. Bagaimana manusia yang berfilsafat dalam menyikapi hidupnya dan alam sekitarnya.
Contoh: seorang ibu yang tiba-tiba mendapat berita kematian putrinya yang pramugari.
Seorang ibu yang mampu berpikir secara mendalam dan menyeluruh dalam menghadapi musibah tersebut akan dapat bersikap dewasa, dapat mengontrol dirinya dan tidak emosional. Sikap kedewasaan secara kefilsafatan adalah sikap yang menyelidiki secara kritis, terbuka dan selalu bersedia meninjau persoalan dari semua sudut pandangan.
2. filsafat sebagai suatu metode
berfilsafat adalah berpikir secara reflektif, yaitu berpikir dengan memperhatikan unsur di belakang objek yang menjadi pusat pemikirannya.
3. filsafat sebagai kumpulan persoalan
banyak persoalan-persoalan abadi yang dihadapi oleh para filsuf. Usaha-usaha untuk memecahkannya telah dilakukan, namun ada persoalan-persoalan yang smpai hari ini belum juga terpecahkan.
Contoh: persoalan apakah ada ide-ide bawaan?
Hal ini telah dijawab oleh John Locke.
Contoh: berapa IP (indeks prestasi) yang Anda capai semester ini?
Pertanyaan yang demikian dapat langsung dijawab karena bersangkutan dengan fakta. Sedangkan pertanyaan yang berikut:
Apakah Tuhan itu ada?
Apakah kebenaran itu?
Apakah keadilan itu Ada perbedaan antara pertanyaan filsafat dengan pertanyaan bukan filsafat?
4. filsafat merupakan system pemikiran
Dalam sejarah filsafat telah dirumuskan system-sistem pemikiran dari Socrates, Plato, dan Aristoteles. Dengan demikian tanpa adanya nama-nama pemikir tersebut besert hasil pemikirannya, maka filsafat tidak dapat berkembang seperti sekarang.
5. filsafat merupakan analisis logis
para tokoh filsafat analitis berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan kekaburan-kekaburan dengan cara menjelaskan arti dari suatu istilah, baik yang dipakai dalam ilmu maupun dalam kehidupan sehari-hari.
6. filsafat merupakan suatu usaha untuk memperoleh pandangan secara menyeluruh
Filsafat mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai macam ilmu serta pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang menyeluruh.


Hakikat dari sesuatu haruslah mempunyai sifat-sifat berikut:
a. umum, artinya dapat diterapkan secara luas.
b. Abstrak, artinya tidak dapat ditangkap dengan panca indera, dan hanya dapat ditangkap dengan akal.
c. Mutlak harus terdapat pada sesuatu hal, sehingga halnya menjadi ada.
Menurut Descrates ada beberapa tahapan untuk memulai perenungan filsafat, yaitu:
a. menyadari adanya masalah
apabila seseorang menyadari bahwa ada sesuatu masalah, maka orang tersebut akan mencoba untuk memikirkan penyelesaiannya.
b. meragu-ragukan dan menguji secara rasional anggapan-anggapan
setelah selesai dirumuskan, mulailah mengkaji pengetahuan yang diperoleh melalui indera san meragukannya.
c. memeriksa penyelesaian-penyelesaian yang terdahulu
setelah menguji pengetahuan perlu mempertimbangkan penyelesaian-penyelesaian yang telah diajukan mengenai masalah yang bersangkutan.
d. mengajukan hipotesis
e. menguji konsekuensi-konsekuensi
mengadakan verifikasi terhadap hasil-hasil penjabaran yang telah dilakukan.
f. menarik kesimpulan
kesimpulan yang diperoleh dapat merupakan masalah baru untuk diuji kembali dan seterusnya.


Teori-teori Filsafat
Pengertian teori (dari bahasa Inggris theory, bahasa Latin theoria, dan bahasa Yunani theoreo yang berarti melihat atau thorus yang berarti pengamatan) menurut kamus umum bahasa Indonesia (1995;1041) adalah:
1. pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian)
2. atas dan hokum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan
3. pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu

A. THALES (abad ke 6)
Menurut Thales arkhe dalam semesta adalah air. Semuanya berasal dari air dan semuanya kembali menjadi air (K. Bertens, 1975:26).
Alasan Thales mengemukakan air sebagai zat asali alam semesta, karena bahan makanan semua makhluk memuat zat lembab dan juga benih pada semua makhluk hidup. Teori tentang alam semesta ini barangkali terlalu sederhana, namun pada saat itulah untuk pertama kalinya manusia berpikir tentang alam semesta dengan menggunakan rasio.

B. HERAKLEITOS (abad ke 5 SM)
Menurut Herakleitos, perubahan merupakan satu-satunya kemantapan, It rest by changing. (K. Bestens, 1975: 42). Tidak ada sesuatu pun yang betul-betul ada, semuanya menjadi. Menjadi merupakan perubahan yang tiada henti-hentinya melalui 2 cara:
1. seluruh kenyataan merupakan arus sungai yang mengalir.
2. seluruh kenyataan adalah api.
Perkataan yang terkenal dari Herakleitos adalah panta rhei kai uden menei, semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal mantap.

C. PARAMENIDES ((515 SM)
Seluruh jalan kebenaran bersandar pada satu keyakinan: yang ada itu ada, itulah kebenaran.
Ada dua pengandaian yang dapat membuktikan kebenaran, yaitu:
1. orang dapat mengemukakan bahwa yang ada itu tidak ada.
2. orang dapat mengatakan bahwa yang serentak ada dan serentak juga tidak ada.
Kedua pengertian di atas sama-sama mustahil, yang tidak ada tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibicarakan.

D. SOCRATES
Menurut Socrates, manusia merupakan makhluk yang dapat mengenal, yang harus mengatur tingkah lakunya sendiri dan yang hidup dalam masyarakat. Teorinya tentang manusia bertitik tolak dari pengalaman sehari-hari dan dari kehidupan yang konkret.
Socrates berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. apakah hidup yang baik?
2. apakah kebaikan itu, yang mengakibatkan kebahagiaan seorang manusia?
3. apakah norma yang mengizinkan kita menetapkan baik buruknya suatu perbuatan?
untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Socrates memulai dengan bertanya kepada siapa saja yang ditemuinya. Metode Socrates ini disebut dialektika, dari kata Yunani dialeqesthai berarti bercakap-cakap atau berdialog. Karena tujuan dari dialog adalah untuk menemukan pengertian tentang kebajikan, maka Socrates menamai metodenya dengan maieutika tekhne seni kebidanan).

E. PLATO (428 SM)
Dari pengertiannya tentang ide umum dan ide konkret, dapat disimpulkan bahwa menurut Plato realitas sebenarnya terdiri dari dua dunia. Satu dunia mencakup benda-benda jasmani yang dapat ditangkap oleh panca indera. Pada tahap ini semua realitas berada dalam perubahan. Contoh: baju yang sekarang dipakai rapid an bersih, besok sudah lusuh dan kotor. Karena itu ada suatu dunia lain, yaitu dunia ideal, yaitu dunia yang terdiri ide-ide. Dalam dunia ideal ini tidak ada perubahan, dan sifatnya abadi.
Plato memandang manusia sebagai makhluk yang terpenting di antara segala makhluk yang terdapat di dunia ini. Jiwa merupakan pusat atau intisari kepribadian manusia, dan jiwa manusia bersifat baka atau kekal.

F. ARISTOTELES (384 SM)
Sejak Aristoteles inilah pemikiran-pemikiran filsafat tersusun secara sistematis, yang dikelompokan dalam 8 bagian, yaitu:
1. logika
2. filsafat alam
3. psikologi
4. biologi
5. metafisiska
6. etika
7. politik dan ekonomi
8. retorika dan paetika
teori Aristoteles tentang gerak dapat dipahami melalui contoh berikut ini, yaitu air dingin menjadi panas. Gerak berlangsung antara dua hal yang berlawanan antara panas dan dingin. Namun ada sesuatu hal yang dulunya dingin kemudian menjadi panas. Dengan demikian ada 3 faktor dalam setiap perubahan, yaitu:
1. keadaan/cirri yang terdahulu, yaitu dingin
2. keadaan/cirri yang baru, yaitu panas
3. suatu substratum atau alas yang tetap, yaitu air.
Dalam pandangannya tentang penyebab tiap-tiap kejadian, baik kejadian alam maupun kejadian yang disebabkan manusia, Aristoteles menyebut ada 4 penyebab, yaitu:
1. penyebab efisien (efficient cause) yaitu sumber kejadian, factor yang menjalankan kejadian. Contoh: tukang kayu yang membuat meja makan.
2. penyebab final (final cause). Yaitu tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Contoh: meja makan dibuat untuk makan.
3. penyebab material (material cause). Yaitu bahan dari mana benda dibuat. Contoh: meja makan dibuat dari kayu.
4. penyebab formal (formal cause). Yaitu bentuk yang menyusun bahan. Contoh: bentuk meja ditambah pada kayu, sehingga kayu menjadi sebuah meja.

G. AL KINDI (796-873 SM)
Teorinya tentang pengetahuan terbagi dalam 2 bagian:
1. pengetahuan Ilahi (devine science)
pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan.
2. pengetahuan manusiawi (human scince)
pengetahuan yang didasarkan atas pemikiran

Teori - Teori Filsafat

TEORI KEBENARAN
(THEORY OF TRUTH)


PENGANTAR

"Gnothi Seauthon..............!" demikianlah Sokrates, seorang filsuf besar Yunani, telah berbicara pada abad-abad sebelum masehi. Kenalilah dirimu sendiri, demikianlah kurang lebih pesan yang ingin ia sampaikan.
Manusia adalah mahluk berfikir yang dengan itu menjadikan dirinya ada. Prof. Dr. R.F Beerling, seorang sarjana Belanda mengemukakan teorinya tentang manusia bahwa manusia itu adalah mahluk yang suka bertanya. Dengan berfikir, dengan bertanya, manusia menjelajahi pengembaraannya, mulai dari dirinya sendiri kemudian lingkungannya bahkan kemudian sampai pada hal-hal lain yang menyangkut asal mula atau mungkin akhir dari semua yang dilihatnya. Kesemuanya itu telah menempatkan manusia sebagai mahluk yang sedikit berbeda dengan hewan. Sebagaimana Aristoteles, filsuf yunani yang lain, mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapat, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reason). W.E Hacking, dalam bukunya What is Man, menulis bahwa: "tiada cara penyampaian yang meyakinkan mengenai apa yang difikirkan oleh hewan-hewan, namun agaknya aman untuk mengatakan bahwa manusia jauh lebih berfikir dari hewan manapun. Ia menyelenggarakan buku harian, memakai cermin, menulis sejarah......."
William P. Tolley, dalam bukunya Preface To Philosophy A Tex Book, mengemukakan bahwa "our question are endless,......what is a man, what is a nature, what is a justice, what is a god ? Berbeda dengan hewan, manusia sangat concern mengenai asal mulanya, akhirnya, maksud dan tujuannya, makna dan hakikat kenyataan. ....Mungkin saja ia adalah anggota marga satwa, namun ia juga adalah warga dunia idea dan nilai ...."
Dengan menempatkan manusia sebagai hewan yang berfikir, berintelektual dan berbudaya, maka dapat disadari kemudian bila pada kenyataannya manusialah yang memiliki kemampuan untuk menelusuri keadaan dirinya dan lingkungannya. Manusialah yang membiarkan fikirannya mengembara dan akhirnya bertanya. Berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran; mencari jawaban tentang alam dan Tuhan adalah mencari kebenaran tentang alam dan Tuhan. Dari proses tersebut lahirlah pengetahuan, teknologi, kepercayaan (atau mungkin agama ??)
Lalu apakah kebenaran itu ? atau apakah atau keadaan yang bagaimanakah yang dapat disebut benar ? Kebenaran acapkali diperdebatkan, namun makna sebenarnya acapkali ditinggal. “Jika anak kecil digigit anjing maka yang benar anak tersebut harus berganti menggigit anjing”, apakah ini juga suatu kebenaran ??

TEORI KEBENARAN
TEORI KORESPONDENSI TENTANG KEBENARAN
Teori yang pertama ialah teori korespondensi [Correspondence Theory of Truth], yang kadang kala disebut The accordance Theory of Truth.
"Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya/faktanya"
Menurut teori ini dinyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian [correspondence] antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh terjadi merupakan kenyataan atau faktanya.
Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.
Sebagai contoh dapat dikemukakan : " Semarang adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah sekarang" ini adalah sebuah pernyataan; dan apabila kenyataannya memang Semarang adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, pernyataan itu benar, maka pernyataan itu adalah suatu kebenaran.
Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran itu bermula dari ARIESTOTELES, (384-322 S.M.) dan disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut :

“VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI”
[kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan].

Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970). Penganut teori ini adalah mazhab realisme dan materialisme.
Kritik: Apabila sudah diketahui kenyataan mengapa perlu dibuat perbandingan, padahal kebenaran sedang dimiliki?

TEORI KONSISTENSI/KOHERENSI TENTANG KEBENARAN

Teori yang kedua adalah Teori Konsistensi. The Consistence Theory Of Truth, yang sering disebut dengan The coherence Theory Of Truth
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lalu, yakni fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri..
Berdasarkan teori ini, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan diakui benarnya terlebih dahulu. Jadi suatu proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu coherent [saling berhubungan] dengan proposisi yang benar, atau jika arti yang terkandung oleh proposisi tersebut koheren dengan pengalaman kita.
Contohnya:
Bungkarno, adalah ayahanda Megawati Sukarno Puteri, adalah pernyataan yang kita ketahui, kita terima, dan kita anggap benar. Jika terdapat penyataan yang koheren dengan pernyataan tersebut diatas, maka pernyataan ini dapat dinyatakan Benar. Kerena koheren dengan pernyataan yang dahulu: Misalnya.
- Bungkarno memiliki anak bernama Megawati Sukarno Putri
- Anak-anak Bungkarno ada yang bernama Megawati Sukarno Putri
- Megawati Sukarno Putri adalah keturunan Bungkarno

Teori ini dianut oleh mazhab idealisme. Penggagas teori ini adalah Plato (427-347 S.M.) dan Aristoteles (384-322 S.M.), selanjutnya dikembangkan oleh Hegel dan F.H. Bradley (1864-1924). Kritik terhadap teori ini adalah “tidak mungkinkah terdapat kumpulan proposisi yang koheren yang semuanya salah”?.


TEORI PRAGMATISME TENTANG KEBENARAN

Teori ketiga adalah teori pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic [pramatist] theory of truth. Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan. Falsafah ini dikembangan oleh William James di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini dinyatakan, bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat.
Dinyatakan sebuah kebenaran jika memilki “hasil yang memuaskan [satisfactory result], bila :
Sesuatu yang benar jika memuaskan keinginan dan tujuan manusia
Sesuatu yang benar jika dapat diuji benar dengan eksperimen
Sesuatu yang benar jika mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada.
Kritik: betapa kabur dan samarnya pengertian berguna (usefull) itu.



TANGGAPAN

Sulit untuk mengatakan apakah ketiga teori tentang kebenaran tersebut diatas adalah bertentangan atau saling melengkapi. Namun yang pasti, seharusnya kebenaran tidaklah menjadi klaim salah satu golongan saja. Sebagaimana Harold H. Titus mengatakan "The way of knowledge may be many rather then one ". Proses berfikir tidak boleh berhenti pada satu hal yang kelihatannya sudah pantas untuk diyakini, karena ketika keyakinan akan suatu obyek mulai tumbuh, maka seiring dengan itu proses berfikir tentang obyek tersebutpun akan berhenti. Keyakinan adalah penjara kebebasan berfikir, dan tulisan inipun dibuat agar pembaca terus berfikir.
Marxis, dalam sebuah penjelasannya mengungkapkan "apabila sensasi kita, persepsi kita, konsep dan teori kita bersesuaian dengan realitas obyektif, apabila itu semua mencerminkannya dengan cermat, maka kita katakan semua itu benar; pernyataan, putusan dan teori yang benar kita sebut kebenaran".


KESIMPULAN

Pendapat siapa yang benar? Pernyataan siapa yang benar? Misal, definisi terorisme dan penerapnnya sangat sarat muatan politis. Kamus dan Ensiklopedi berbahasa Inggris sebagai produk pabrik ilmu pengetahuan Barat dapat dengan mudah mendikte pemikiran para pembaca yang tidak kritis untuk mengambil kesimpulan bahwa serangan militer Israel terhadap rakyat Palestina, misalnya, tidak dapat dikategorikan ke dalam teroris. Definisi itu baru dapat operasional jika didukung oleh kekuasaan. Siapa yang mempunyai pengetahuan akan memegang kekuasaan, siapa yang berkuasa dapat memproduk pengetahuan. “Pengetahuan adalah kekuasaan”, ujar Francis Bacon, bapak ilmu pengetahuan modern.
Harus ada kesamaan dalam menilai kebenaran suatu pemikiran. Kriteria kebenaran yang harus disepakati adalah; sebelum melangkah lebih jauh kita artikan dulu apa itu kebenaran. Kebenaran dalah kesesuaian objek dengan realita atau kesesuaian objek dengan pengetahuan parameter kebenaran

1. Kebenaran bersifat universal
Kebenaran suatu pemikiran harus bernilai universal, artinya berlaku untuk kapanpun dan dimanapun. Jika tidak demikian maka peserta diskusi yang tempat dan waktu mendapatkan pengetahuan baru tersebut berbeda tidak dapat menerima kebenaran tersebut.

2. Kebenaran bersifat mutlak
Tanpa pandangan tersebut, maka diskusi akan sis-sia. Apapun pengetahuan baru yang ada dalam sebuah diskusi tidak dapat diterima sebagai kebenaran. Sehingga semua perkataan yang dikemukakan dalam sebuah diskusi tidak berbeda dengan kebohongan, ketidakwarasan dan omong kosong.

3. Kebenaran bersifat manusiawi
Artinya bahwa pengetahuan yang disampaikan secara alamiah dapat diterima atau dimengerti oleh manusia. Tak perlu ada rekayasa seperti melalui bujukan, paksaan atau paksaan. Jika ada rekayasa seperti itu maka perlu dipertanyakan kebenarannya. Kebenaran akan diterima jika hal itu memang sebuah kebenaran, diakui secara lisan atau tidak.

4. Kebenaran bersifat argumentatif
Dalam sebuah diskusi, pembuktian terhadap kebenaran sebuah pendapat atau pengetahuan baru harus dimiliki. Argumentasi digunakan untuk menjelaskan proses mendapatkan pengetahuan baru tersebut sehingga orang lain dapat menilai kebenarannya dari proses tersebut.
Argumentasi adalah proses bergeraknya suatu pengetahuan yang menjadi patokan menuju pengetahuan baru (kesimpulan). Dalam menilai kebenaran dan keabsahan argumentasi, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama adalah kebenaran dari isi pengetahuan yang menjadi pijakan. Kedua adalah keabsahan penyusunan pengetahuan-pengetahuan pijakan menjadi suatu kesimpulan (proses pengambilan kesimpulan).

5. Kebenaran bersifat ilmiah
Ini dimaksudkan agar kebenaran suatu pengetahuan dapat dibuktikan oleh orang lain bahwa pengetahuan tersebut sesuai dengan kenyataan yang ada. Kebenaran yang tidak dapat dibuktikan oleh orang lain tidak dapat didiskusikan. Artinya bahwa kebenaran tersebut tidak dapat dihukumi untuk orang lain


SUMBER RUJUKAN

1. www.hindu-brawijaya.net/id/bulletin/artikel/pencariankebenaran.php
2. www.zfikri.wordpress.com/2007/09/02/teori-kebenaran/
3. www.filsafat-ilmu.blogspot.com/2008/01/teori-kebenaran.html
4. www. blogs.unpad.ac.id/mumuhmz/2008/09/20/bahan-i-teori-kebenaran/

Rasionalisme

PENDAHULUAN
Rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa akal (renson) adalah alat penting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Alat jalan berfikir itu adalah kidah-kaidah logis.
Rasionalisme merupakan lawan dari empirisme yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiris, contoh yang paling jelas adalah pemahaman tentang logika dan matematika yang penemuan-penemuannya begitu pasti dan kebenarannya universal.
Rasionalisme sudah mulai diterapkan oleh Thales dalam filsafatnya dan pada zaman modern filsafat tokoh pertamanya adalah Descartes. Rasionalisme pada zaman modern filsafaat terutama dilihat sebagai reaksi terhadap dominasi gereja pada abad pertengahan Kristen di Barat.keistimewaan Descartes adalah keberaniannya melepaskan diri dari kerangkeng yang mengurung filosof abad pertengahan.
Corak utama pada filsafat modern adalah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani Kuno dan gerakan pemikiran Descartes yang disebut bercorak renai sance.
Descartes dianggap sebagai bapak filsafat modern. Menurut Bertrand Russel, anggapan itu benar. Kata “bapak” diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat yang berdiri atas kenyakinan sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah (Tafsir, 2003:128).
Descartes lahir di La-Haye Prancis pada tahun 1596. ia belajar di Jesuit College La Universitas Poitiers, tapi Descartes tidak pernah mampraktekannya.dari 1616 sampai 1628 Descartes banyak melakukan pengalaman dari satu negri ke negri lain. Ia masuk tiga dinas ketentaraan yang berbeda-beda (Belanda, Batavia dan Hanggaria).
Saat umurnya tiga puluh dua tahun Descartes menetap di Belanda selama tidak kurang daari dua puluh satu tahun. Dipilihnya Belanda karena Descartes menganggap bahwa Belanda lebih menyediakan kebebasan intelektual dibandingkan negri-negri lain.
KEPASTIAN DAN BATAS KERAGUAN
(Descartes Philosophical Writings)
Rene’ Descartes

Rene Descartes, semasa hidupnya telah memberikan kontrribusi penting terhadap perkembangan filsafat. Metode-metode yang dia kemukakan merupakan langkah awal lahirnya pemikiran filsafat modern. Pada saat itu, akhir abad pertengahan, dunia filsafat telah merosot perkembangannya. Diawali sejak penghujung zaman helenisme sampai kemudian memasuki abad pertengahan, agama, hati dan iman mendominasi, sedangkan akal sama sekali tidak berkutik.
Salah satu pemikiran filsafat yang berpengaruh saat itu adalah rumusan terkenal yang diungkapkan oleh Saint Anselmus dengan pernyataannya credo uz intelligam, kira-kira artinya adalah iman lebih dulu, setelah itu mengerti (Ahmad Tafsir, 1990:114).
Dalam ungkapan ini orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu harus di imani, melainkan orang mengerti karena mengimaninya. Demikian tersebut tetap diyakini terutama oleh tokoh-tokoh gereja yang tetap percaya bahwa dasar filsafat adalah iman. Hal yang tidak mudah bagi descartes untuk melawannya, terbukti pada saat itu banyak tokoh-tokoh filsafat yang dihukum oleh pihak gereja.
Kemudian descartes hadir untuk menanamkan dasar filsafat yang baru yaitu akal. Untuk mendukung argumentasinya tesebut ia mengungkapkan metodenya yang terkenal tentang keraguan (Cartesian Doubt) atau yang lebih dikenal dengan cagito descartes akal yang ia gunakan untuk dasar filsafatnya, ia jadikan sebagai titik acuan awal pemikirannya.
Ia menuangkan metode-metodenya dalam karya-karya besarnya, karya pertama yagn ia tulis adalah Rules For The Direction Of The Under Standing pada tahun 1620 dan terbit pada tahun 1701. Le Monde pada tahun 1634. Discouvse On Method pada tahun 1637 bersama karya-karya scientific dan matematikanya. Meditation On Jiust Philoshofy, pada tahun 1641 dan Principles Of Philoshofy pada tahun 1644. serta tulisan-tulisan pilihan yang kemudian diterbitkan.
Tahap-tahap pemikiran Descartes untuk mancari kebenaran sejati dimulai dengan langkah-langkah yang menurut polos dan jernih. Kemudian ia meneliti sejumlah besar pendapat-pendapat yang keliru (menurutnya) yang umumnya sudah disepakati orang. Ia memulai dengan cara meragukan apa saja, meragukan kepercayaan, meragukan pendapat yang sudah berlaku, meragukan eksistensi alam diluar dunia dan bahkan meragukan eksistensinya sendiri. Tahap pertama ini juga merupakan langkah awal landasan cagito-nya. Ia berfikir setiap benda yang ia tahu melalui panca inderanya adalah benar-benar diragukan keberadaannya meskipun ia sendiri manyadari bahwa mungkin akal akan menipunya ("Meditation", In Descartes Philoshophikal Writing) bahkan ia meragukan apakah tangan dan tubuhnya itu adalah miliknya.
Kemudian berfikir bagaimana ia tahu bahwa ia tidak sedang tidur dan bermimpi. Karena antara keadaan sadar dengan mimpi tidak ada perbedaan atau batas yang benar-benar tegas dan jelas (distinct). Adakalanya seseorang akan merasa dalam keadaan sadar ketika ia sedang bermimpi atau berhalusinasi, karena pengalaman yang ia lami dirasakan benar-benar terjadi Descartes mencontohkan keadaannya sedang yang duduk dan berpakaian rapi, ia meragukan keadaannya tersebut karena ia pernah mengalaminya ketika bermimpi. Prinsipnya, Descartes berpendapat bahwa tidak ada perbedaan yang jelas antara sadar (keadaan) dan sedang mimpi.
Langkah selanjutnya Descartes kembali berpikir, adakah sesuatu (benda) yagn benar-benar ada yang tidak dapat diragukan lagi keberadaannya? Ia sendiri mengajukan tiga hal yaitu gerak, juumlah dam besaran (matematika /ilmu pasti). Namun ia kembali meragukannya karena ia kadang-kadang ia merasa salah ketika melakukan perhitungan. Dengan demikian, ilmu pasti pun ia ragukan. Ketika ia kembali berpikir, ia tetap meragukan setiap benda. Akhirnya mengambikl kesimpulan, bahwa ia ragu karena disebabkan oleh berfikir. Tidak mungkin ia ragu, jika tidak berpikir. Kemudian ia mengungkapkan, kalau begitu "aku berpikir" pasati aku dan benar. Jika "aku berpikir" ada . berarti "aku" ada sebab yang berpikir itu aku.
Metode inilah yang disebut cagito ergosum, aku berpikir karena itu aku ada.
Dari metode inilah Descartes membuat penerapan secara konkret sebagaiman dijelaskan Anton Bakker (1984:77), bahwa uraian filosafis menguraikan satu intuisi fundamental secara teratur Descartes menerapkannya untuk meembedakan dengan jelas antara jiwa dan badan, dan adanya Tuhan. Descartes menjelaskan konsepnya tentang jiwa dan badan atau pemikiran dan materi.
Diane Collison (2001:85), menjabarakan bahwa Descartes, menyimpulkan bahwa pikiran merupakan substansi non-ragawi yang berbeda dengan substansi material atau ragawi. Realisasi Descartes bahwa ia tidak dapat meragukan bahwa ia ada sebagai substansi berpikir, meskipun ia ragu bahwa ia memiliki raga, meyakinkannya bahwa pikiran dapat terpisah dan materi. Namun demikian ia tidak bisa memberika pemecahan yang memuaskan tentang bagaimana dua substansi, raga dan pikiran berinteraksi untuk membentuk satu kesatuan, oleh karena itu ia dengan jelas menolak gagasan Aristetolian tentang jiwa atau pikiran sebagai sesuatu yang menggerakkan raga.
Dari sifat keraguannya (skeptisisme), Descartes mendapat kepastian bahwa ia adalah sesuatu yang berpikir. Dari sinilah ia menjadikannya dasar untuk membangun pengetahuan. Argumennya tentang eksistensi Tuhan, dimulai dengan kesadaran akan dirinya sendiri sebagai yang ada, yang keraguannya tidak senpurna, namun mampu membuat gagasan tentang tuhan sebagai wujjud yang sempurna. Dan gagasan sempurna ini, menurutnya, hanya dapat berasal dari wujud yang sempurna; karena itu tuhan pasti ada sebagai sumbernya. Diane Collinson (2001:84).
Descartes pun mampu berargumen bahwa karena tuhan sempurna maka ia tidak akan mampu atau mambawa seseorang kepada kekeliruan dan bahwa pemakaian yang benar akan panca indera akan menghasilkan pengetahuan.metode keraguan ini dijadikan Descartes untuk mencari kepastian yang tersembunyi, keraguannya hanya di tujukan untuk menjelaskan perbedaan sesuatu yang dapat diragukan dari sesuatu yang tidak dapat diragukan.
Menurut Ahmad Tafsir (1990:132) dalam metode ini berjalan suatu metode yang tegas. Bila Descartes telah menemukan suatu ide yang distiact (jelas), mak ia dapat menggunakannya sebagai premise yang dari sana ia mendeduksi keyakinan lain yang juga distinct. Seluruh proses penyimpulan itu terlepas dari data empiris, keseluruhannya merupakan proses rasional.
Kesimpulan sementara yang dapat diambil, Descartes meneliti sesuatu berangkat dari keraguannya, dari keraguan tersebut ia mengetahui bahwa dasar pemikiran yang harus dipakainya adalah akal, hingga ia mendapatkan kepastian yang memuaskan dirinya. Namun rasionalisme yang ia kembangkan, meskipun berawal dari objektifitas telah menimbulkan subjektifisme dan relativisme.





















DAFTAR PUSTAKA


 Bakker, Anton 1984. Metode Metode Filsafat, Jakarta : Ghalia Indonesia.
 Collinson, Diane 2001. Seratus Puluh Filosof Dunia Yang Menggerakkan, terj. Ilzaenudin, Mufti Ali. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
 H. Hart, Michael 2001. Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah. Terj. Mahbub Djunaidi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
 Tapsir, Ahmad. 2000. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya.
 From Rene’ Descartes. “Meditations,” in Descartes Philosophical Writing, translade by Norman Kemp Smith, The Modern Library, New York, 1958.

SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT

Yang dibahas disini terutama filsafat Barat, karena misalnya filsafat India dan filsafat Cina lebih bersifat mengajar bagaimana manusia mencapai "keselamatan" ("moksa"), atau bagaimana manusia harus bertindak supaya diperoleh keseimbangan antara dunia dan akhirat. Tak dapat diungkiri didalamnya juga ada unsur akal, tetapi bukan produk dari refleksi yang sifatnya kritis rasional.

Ada empat periode besar dalam filsafat Barat:
(A). Zaman Yunani (600 sM - 400 M)
(B). Zaman Patristik dan Skolastik (300 M - 1500 M)
(C). Zaman Modern (1500 M - 1800 M)
(D). Zaman sekarang (setelah 1800 M).

Patut dicatat bahwa tiap zaman memiliki ciri dan nuansa refleksi yang berbeda. Dalam zaman Yunani diletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat. Zaman Patristik dan Skolastik ditandai oleh usaha yang gigih untuk mencari keselarasan antara iman dan akal, karena iman di hati, dan akal ada di otak. Tidak cukuplah sikap credo quia absurdum = "aku percaya justru karena tidak masuk akal" Tertulianus, 160-223 M. Dalam Zaman Modern direfleksikan berbagai hal tentang rasio, manusia dan dunia. Jejak pergumulan itu terdapat dalam aliran-aliran filsafat dewasa ini.

1 Zaman Yunani

Is not the good good because it contains the idea of the good?
Plato

1.1 Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu ("arche" = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang benar.

1.2 Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).

1.2.1 Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.

Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa "memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa ke pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.

1.2.2 Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, ... kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak.

Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.

Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi, "becoming").

1.2.3 Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.

Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.

Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata , dan  berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.

Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.

Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah".

Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria yang belum lengkap". Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan "substansi".

Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz". Itu membuat manusia memiliki bahasa.

Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.

Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga. -- (Catatan kecil saja dari FSP: Maka jangan terkejut jika pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi filsafati agaknya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yanh umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa abad pertengahan dan dimana saja. Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun landasan biblisnya sama sekali tidak ada. Yesus, sebagaimana tampak dalam Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)

Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.

1.3 Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: "kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita".

Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) disebut oleh Plotinos  = "to hen", yang esa, "the one". Yang esa adalah awal, yang pertama, yang paling baik, paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenal oleh manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, -- seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati proses emanasi, yang esa tak berkurang atau terpengaruh sama sekali.

Dari  mengalir  = "nous", budi, akal, bahkan roh (?). "Nous" merupakan "bayang-bayang" dari "to hen". Dari "nous" mengalir  = "psykhe", jiwa, yang merupakan perbatasan "nous" dengan = "me on", materi, yang merupakan kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. "Psykhe" merupakan penghubung antara "nous" yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. -- Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan penyimpangan dari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran, manusia harus kembali kepada "to hen", dan itulah tujuan hidup manusia. "To hen" kiranya identik dengan konsep "Sang Sangkan Paraning Dumadi" dalam tradisi Jawa.

Kesatuan mistis dengan "to hen" merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi untuk mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat besar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berakhir kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada terang (serta awal dari kekekalan).

Jejak pemikiran neoplatonisme dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan atau "jiwa kosmik". Banyak agama menekankan keterpisahan antara Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik tidak menemui pemisahan seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa "penyatuan dengan Tuhan". Ketika penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa dia "kehilangan dirinya", dia lenyap ke dalam diri Tuhan atau hilang dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik air kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.

Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Ahli mistik harus mencari jalan "pencucian dan pencerahan" untuk bisa bertemu dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan berbagai teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama besar di dunia. Dalam "agama" Jawa dikenallah konsep "manunggaling kawula lan Gusti", yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan oleh Zoetmulder. (Zoetmulder SJ almarhum adalah Guru Besar di Fakultas Sastra UGM).


2 Zaman Patristik (Para Bapa Gereja)

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat
untuk mengajar,
untuk menyatakan kesalahan,
untuk memperbaiki kelakuan, dan
untuk mendidik orang dalam kebenaran.
Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaaan Allah
diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.


Pemikiran filsafati para Bapa Gereja Katolik mengandung unsur neo-platonisme. Para Bapa Gereja berusaha keras untuk menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan cara itu membuat pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi pokok bahasan utama. Hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia pada umumnya dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ("lumens") dari Allah. Meskipun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih kebenaran (yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia merupakan jejak Allah yang istimewa = "imago Dei" (citra Allah), dalam arti itu manusia sungguh memantulkan siapa Allah itu dengan cara lebih jelas dari pada segala ciptaan lainnya.

"Tuhan, engkau lebih tinggi daripada yang paling tinggi dalam diriku, dan lebih dalam daripada yang paling dalam dalam batinku" -- itu ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumusan. Dalam zaman ini pokok-pokok iman Kristiani dinyatakan dalam syahadat iman rasuli (teks "Aku Percaya" yang panjang). Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk tentang trinitas -- tentu saja dalam katagori pemikiran filsafati pada waktu itu dan dengan bahan dari Alkitab.

Agustinus menerima penafsiran metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang menyatakan bahwa alam semesta dicipta creatio ex nihilo dalam 6 hari, dan pada hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu baik adanya. "Allah tidak ingin mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak relevan bagi keselamatan mereka". Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam waktu, namun waktu diciptakan bersama dengan dunia. Penciptaan adalah tindakan tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu menjadi ada, dan tindakan kontinu yang melaluinya Allah memelihara dunia. Istilah ex nihilo tidak berarti bahwa tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dibuat dari perunggu, namun hanya berarti "tidak terjadi dari sesuatu yang sudah ada". Hakikat alam ciptaan ialah menerima seluruh Adanya dari yang lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.

Disini tidak disinggung persoalan, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi pada suatu ketika atau sudah ada sejak zaman kelanggengan. Para ahli filsafat pada umumnya sependapat bahwa a priori kita tidak dapat memastikan mana yang terjadi. -- Menciptakan, sebagai tindakan aktif, dipandang dari sudut Tuhan, merupakan cetusan kehendakNya yang bersifat langgeng, karena segala sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng. Tetapi dipandang dari sudut ciptaan, secara pasif, ketergantungan dari Tuhan, terciptanya itu dapat terjadi dalam arus waktu, atau di luarnya, sejak zaman kelanggengan. Jadi kelirulah jika dibayangkan bahwa Tuhan suatu ketika menciptakan alam dunia lalu mengundurkan Diri. Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat, maka buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ke ketiadaan. Dunia terus menerus tergantung pada Tuhan (creatio dan sekaligus conservatio).

Ketika ditanya mengenai apa yang dilakukan Allah sebelum menciptakan dunia, Agustinus menjawab tidak ada artinya bertanya mengenai itu, karena tidak ada waktu sebelum penciptaan tersebut.

3 Zaman Skolastik
Saya membagi zaman skolastik dalam 2 tahapan (1) zaman skolastik timur, yang diwarnai situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M, dan (2) zaman skolastik barat, abad 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di Eropa (termasuk jazirah Spanyol).

Secara sederhana, dalam zaman Patristik, "filsafat teologi", dengan tanda dapat dibaca sebagai "identik dengan", "sama sebangun dengan", "praktis tidak berbeda dengan". Sementara dalam periode skolastik timur, terdapat berbagai interpretasi atas simbul dalam rumusan "filsafat teologi", dalam periode skolastik barat tidak ada keraguan tentang makna simbul dalam rumusan "filsafat teologi".

3.1. Periode skolastik timur

Abad ke-5 s/d abad ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Pemikiran filsafati praktis tidak ada. Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak hadirnya agama Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada perhatian besar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada awal abad 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam untuk menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu, berpangkal pada penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.

(1) Mashab Mu'tazila (725 - 850 - 1025 M) meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber pengetahuan (selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia mampu membedakan baik dan buruk, maka berbuat baik adalah wajib. Pemimpin harus mewajibkan umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Pandangan ini cocok dengan Al Qur'an (Surah 3 ayat 110): "amr bil-a'ruf wa'l nahy an'al-munkar".

Mashab Mu'tazila ada pada pendapat bahwa Al Qur'an tercipta, artinya "dirumuskan oleh manusia, dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus". Maka para Mu'tazila membaca Al Qur'an dengan kacamata rasionalis.

(2) Mashab falsafah pertama (830 - 1037 M), berhaluan neoplatonis dan aristoteles. Kata "falsafah" dipakai untuk mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab, ahli fikirnya disebut "faylasuf" ("falasifa - jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M), al-Razi (865 - 925 M), al-Farabi (872 - 950 M) dan Ibn-Sina (980 - 1037 M). Menggumuli masalah klasik "perbedaan antara dhat dan wujud" ("distinctio realis inter essentiam et existentiam"). Mereka ada pada pendapat, bahwa akal adalah pendamping iman. Al-Razi menolak ijazu'l Qur'an. Tulis al-Razi: "Tuhan memberi kepada manusia akal sebagai anugerah terbesar. Dengan akal kita mengetahui segala apa yang bermanfaat bagi kita dan yang dapat memperbaiki hidup kita. Berkat akal itu kita mengetahui hal yang tersembunyi dan apa yang akan terjadi. Dengan akal kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi manusia. Akal itu menghakimi segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Kelakuan kita harus ditentukan oleh akal semata-mata".

(3) Mashab pemikiran ketiga disebut pula Kalam Ashari, berpusat di Bagdad, dan bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan bergumul dengan soal sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para tokohnya: al-Ash'ari (873-935 M), al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M).

Pandangan yang bercorak atomistis berpangkal pada pendapat bahwa peristiwa alam dan perbuatan manusia tidak lain daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat dalam penciptaan itu tidak ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan al-Khaliq, "tiada yang tersembunyi daripadaNya seberat dharahpun" (Al-Qur'an Surat 34 ayat 3). Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus atom-atom, tanpa ada hubungan kausal. "Kami menyangkal bahwa makan dan minum menyebabkan kenyang". Yang ada hanya monokausalitas mutlak illahi. Apabila tampak sesuatu akibat dari suatu tindakan, maka itu hanya semu, karena Allah menghendaki hal itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi setiap kegiatan insani. Manusia tidak memiliki kehendak bebas, yang bebas itu hanya semua saja. Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk. "Bila manusia bertindak baik, itulah ditentukan Allah sesuai rahmatNya; bila dia berbuat jahat itu dikehendaki Allah sesuai keadilanNya".

Dalam "Al-Tahafut al-filasifah" al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20 dalil dan membuat kajian dan bantahan yang keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai pengetahuan sesuatu melalui sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh pengetahuan ilmiah adalah sia-sia. Secara singkat "al-aql laysa lahu fi'l-shar' majal" -- untuk akal tiada tempat dalam agama.

(4) Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur Tengah, di kawasan yang dikenal sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol sekarang) berkembanglah pusat Islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat. Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (? - 1185), dan Ibn Rushd ("Averroes") (1126-1198 M) merupakan 3 filsuf utama dalam perioda Filsafat Kedua (1100 - 1195 M) ini.

Ciri para filsuf ini pada umumnya menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas seorang filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan kenyataan rohani sampai akhir hayat. Akal adalah hal yang paling berharga yang dikaruniakan Tuhan kepada abdiNya yang setia.

Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi asrar al -himah al-mashiriyyah.

Ibn Rushd dikenal oleh 3 kelompok karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya filsafat di kawasan timur) dan karangan apologetis (yang membela Islam dari ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya bahwa ilmu secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan sebabnya. Kita menanggapi hubungan sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai nyata dengan akal. Dengan akibat atau setiap perubahan diciptakan secara langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa'ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah. Itu bertentangan dengan akal sehat dan menentang wahyu Qur'an, yang melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang maha bijaksana.

Karya apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup filsafat dalam Islam, baik sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam teologi. Rushd melihat filsafat sebagai "sahabat al-shari'at w'ahat al-ruzdat", teman teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh al-Qur'an, agar manusia dapat memuji karya Tuhan di dunia ini (antara lain Surah 3 ayat 188, Surah 6 ayat 78, Surah 7 ayat 184, Surah 59 ayat 2, dan Surah 88 ayat 17) . Bila studi hukum (fiqh) tidak disertai studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama.

Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf dari Cordova itu terhadap alam pikiran Islam selanjutnya mungkin tidak seberapa, dia bahkan dikatakan hanya mewariskan "sekeranjang buku seberat sosok mayatnya". Tetapi naskahnya populer di Eropa, khususnya di lingkungan kampus Universitas Paris, dan menyebar dari sana. Dengan karyanya, Aristoteles yang dijuluki "Sang Filsuf" diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn Rushd yang oleh karena itu mendapat julukan "Sang Komentator". Sebagai akibatnya, obor perenungan filsafati Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para filsuf muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia. Itulah sumbangan berharga para filsuf muslim dalam khazanah perenungan tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di sekelilingnya.

3.2 Perioda skolastik Barat

Awal abad 13 ditandai dengan 3 hal penting: (1) berdirinya universitas-universitas, (2) munculnya ordo-ordo kebiaraan baru (Fransiskan dan Dominikan), dan (3) diketemukannya filsafat Yunani, melalui komentar Ibn Rushd, yang dipelajari dan dikritik dan diteliti dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225 - 1274 M). Tema filsafat perioda ini adalah hubungan akal budi dan iman, adanya dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik.

Otonomi filsafat yang bertumpu pada akal, yang merupakan salah satu kodrat manusia, dipertahankan. Menurut Thomas Aquinas, akal memampukan manusia mengenali kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sebaliknya teologi memerlukan wahyu adikodrati. Berkat wahyu adikodrati itu teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam arti ketat (misalnya misteri tentang trinitas, inkarnasi, sakramen). Karena itu teologi memerlukan iman, karena hanya dapat dijelaskan dan diterima dalam iman. Dengan iman yang merupakan sikap penerimaan total manusia atas wibawa Allah, manusia mampu mencapai pengetahuan yang mengatasi akal. Meski misteri ini mengatasi akal, ia tidak bertentangan dengan akal. Meski akal tidak dapat menemukan (menguak) misteri, akal dapat meratakan jalan menuju misteri ("prae-ambulum fidei").

Dengan ini Thomas Aquinas menegaskan adanya dua pengetahuan yang tidak perlu bertentangan, atau dipertentangkan, tetapi berdiri sendiri berdampingan: pengetahuan alamiah (yang berpangkal pada akal budi) dan pengetahuan iman (yang bersumber pada kitab suci dan tradisi keagamaan). Adalah Wihelm Dilthey (1839-1911) yang akhirnya membedakan dengan tegas "Geisteswissenschaften" = "human sciences" dari "Naturwisensshaften" = "natural sciences", sementara Max Weber membedakan "erklaeren" sebagai ciri-ciri ilmu alam dari "verstehen" yang merupakan ciri khas ilmu-ilmu kemanusiaan.