tag:blogger.com,1999:blog-71503533677697730922024-02-08T02:01:19.385-08:00gudang makalahgudangnya bermacam-macam makalah dan artikelAlumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.comBlogger36125tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-14664472943102360892010-01-10T08:29:00.001-08:002010-01-10T08:29:58.366-08:00ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANIMenurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling<br />sempurna di dinia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan<br />Ibnu'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah<br />di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga<br />karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan)<br />asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.<br />Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.<br />Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah<br />meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:<br />Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku<br />tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)<br />Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas<br />atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.<br />Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan<br />dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam<br />dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.<br />Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan<br />para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),<br />jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung<br />(al-qalb).<br />RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)<br />Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.<br />Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan<br />jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam<br />ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli<br />sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi<br />dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan<br />kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.<br />Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah<br />ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di<br />dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik<br />dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan<br />terpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber<br />akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi<br />jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani<br />(binatang) dan jiwa insani.<br />Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang<br />organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa<br />hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan<br />melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang<br />kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai<br />kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).<br />Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau<br />al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,<br />yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan<br />hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang<br />khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.<br />Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani<br />(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa<br />(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat<br />yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia<br />mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.<br />Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan<br />memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu<br />sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang<br />menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang<br />demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)<br />Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat<br />tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela<br />manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai<br />berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku<br />bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).<br />Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat<br />yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs<br />al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa<br />yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi<br />diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke<br />dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)<br />Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah<br />menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah<br />melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang<br />telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,<br />yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah<br />dijamin Allah langsung masuk surga.<br />Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan<br />ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan<br />terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.<br />Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah<br />sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah<br />mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).<br />Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena<br />itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.<br />AKAL<br />Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau<br />intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir<br />yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa<br />(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di<br />kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di<br />dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber<br />pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan<br />pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf<br />mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan<br />pengetahuan hati (rasa).<br />Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan<br />tertinggi --akal perolehan (akal mustafad)-- ia dapat<br />mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang<br />demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan<br />(sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu<br />berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang<br />demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).<br />Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal<br />kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan<br />hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena<br />kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada<br />kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh<br />kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke<br />tingkat akal perolehan.<br />HATI SUKMA (QALB)<br />Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.<br />Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung,<br />bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita<br />memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah<br />segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di<br />dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek<br />kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran<br />yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,<br />bahkan bangkainya.<br />Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang<br />halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang<br />ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang<br />disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber<br />pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah<br />berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan<br />memahaminya." (QS. 7:1-79).<br />Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,<br />bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu<br />jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda<br />pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para<br />filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan<br />akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui<br />pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama<br />merupakan daya berpikir.<br />Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah<br />atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal<br />yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih<br />dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral<br />dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela<br />dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,<br />wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah)<br />yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat<br />menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai<br />pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah<br />moralitas.<br />Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji<br />adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti<br />ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar<br />hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja,<br />sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya<br />kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari<br />penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya<br />berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani<br />--hati yang kotor.<br />Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh<br />hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah<br />yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya<br />beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah<br />orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).<br />Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah<br />pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika<br />cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh.<br />Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari<br />tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani<br />bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari<br />Allah Swt.<br />Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada<br />dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,<br />ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap<br />dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan<br />dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya,<br />dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki<br />Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari<br />hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi<br />lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.<br />Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan<br />nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu<br />menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan<br />manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani<br />dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.<br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br />Abu al-Wafi aI-Taftazani, Maduhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy,<br />Kairo, 1983.<br />Ahmad Dandy, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nurudin<br />al-Raniry Jakarta, Rajawali, 1983.<br />Al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo, 1906.<br />Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, 1334 H.<br />------, Ma'arij al-Quds fi Madarij Ma'rifah al-Nafs, Kairo,<br />1327 H.<br />------, Asnan al-Qur'an fi Ihya 'Ulum al-Din, Kairo.<br />Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Bulan Bintang,<br />Jakarta, 1978.<br />Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, Kairo, 1949.Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-25936736981110838872010-01-10T08:26:00.001-08:002010-01-10T08:26:58.661-08:00PANDANGAN KESUFIAN TENTANG DIRI MANUSIAElingana yen ana timbalan<br />Yen wis budal ora kena wakilan,<br />Ora kena wakilan<br />Timbalane kang Maha Kuasa<br />Gelem ora gelem bakale lunga<br />(Ingatlah jika telah datang panggilan<br />Kau harus pergi dan tak bisa kau wakilkan,<br />tak bisa kau wakilkan Panggilan dari Yang Maha Kuasa<br />Mau tak mau kau harus pergi jua)<br />Nyanyian puitis di atas adalah penggalan dari sebuah nyanyian<br />keagamaan yang cukup panjang. Di Jawa, nyanyian itu disebut<br />pujian atau erang-erangan. Pujian tersebut biasanya<br />didendangkan bersama-sama oleh para jemaah di langgar atau<br />mesjid menjelang shalat Subuh, Maghrib atau Isya, sembari<br />menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut<br />mendirikan salat berjamaah. Mungkin berkat susunannya yang<br />ritmis dan mudah dihapal maka pujian tersebut seringkali<br />menjadi "nyanyian" populer yang dilakukan bukan hanya di<br />mesjid dan langgar, tapi juga di sawah dan ladang ketika<br />seseorang menggembalakan ternaknya, atau di rumah-rumah ketika<br />ibu-ibu berusaha menidurkan anaknya.<br />Tidak jelas siapa pengarang pujian yang cukup populer<br />tersebut, terutama di desa-desa bagian Jawa Tengah Selatan.<br />Namun, orang mengenal bahwa pujian semacam itu disebarkan oleh<br />kalangan pesantren. Perlu dicatat, para kyai pemimpin<br />pesantren kebanyakan juga pemimpin tarekat, sehingga tidak<br />mengherankan kalau pujian yang diciptakan sarat dengan<br />pesan-pesan kesufian. Dan, dari pujian tersebut tercermin<br />sebuah permintaan agar manusia menyadari bahwa suka atau<br />tidak, ia harus memenuhi panggilan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk<br />kembali ke haribaannya. Panggilan Tuhan tersebut tidak dapat<br />didelegasikan kepada siapapun juga.<br />Memang, di antara pesan kesufian yang terpenting adalah ajakan<br />agar manusia menyadari sepenuhnya sifat kefanaan dari<br />kehidupan dunia ini. Oleh karena dunia bersifat fana dan yang<br />kekal hanyalah Tuhan, maka dunia ini dipandang benar-benar<br />bermakna hanya apabila ia senantiasa diorientasikan kepada<br />Tuhan. Lalai dari kesadaran berketuhanan berarti manusia telah<br />terjerat oleh perangkat serba kefanaan. Dalam "perangkap"<br />seperti itu manusia cenderung berorientasi hanya kepada usaha<br />mewujudkan kesenangan sementara yang segera dapat dinikmati<br />kini dan di sini, di dunia yang fana ini. Ia lupa bahwa<br />manusia disebut manusia tidak lain karena roh sukma yang<br />ditiupkan Tuhan masih melekat di jasad atau raganya. Begitu<br />sukma meninggalkan raga, ia dianggap sudah tiada.<br />TEORI CERMIN AL-GHAZALI<br />Bagaimanapun roh atau sukma akan kembali kepada Tuhan. Dalam<br />kenyataannya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepada<br />Tuhan dan detik-detik kehadirannya di dunia ini justru lebih<br />banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat jasadi atau<br />lahiriah belaka? Imam Ghazali menjawab masalah ini dengan<br />Teori Cermin (al-Mir'ah) dalam karyanya yang sangat terkenal<br />itu --Ihya' 'ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia<br />ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur atau<br />cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih<br />niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan<br />memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya (lihat Ghazali,<br />t.t., vol.I: h. 119-125).<br />Sedangkan jika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal<br />spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tiga<br />kemungkinan. Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya<br />Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin<br />rohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori ini<br />adalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor<br />dan aniaya. Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat<br />penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin<br />tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yang<br />menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi<br />hidupnya. Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber<br />cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh<br />cahaya petunjuk Ilahi. Contoh yang sangat tepat untuk kategori<br />ini orang-orang kafir yang dengan sadar mengingkari keberadaan<br />Tuhan.<br />Agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening, ia<br />harus senantiasa berusaha memurnikan diri dengan jalan<br />menguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan hidup<br />para nabi melalui berbagai latihan kerohanian (riyadlah).<br />Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren dan di<br />kalangan para penganut tarekat, riyadlah atau latihan<br />kerohanian dalam berbagai bentuk amalan sunnah --salat sunnah,<br />puasa Senin, Kamis, puasa Nabi Daud, dan lebih-lebih usaha<br />senantiasa mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikir<br />merupakan hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-hari<br />mereka.<br />Melaksanakan secara intensif berbagai amalan sunnah tersebut<br />tak lain merupakan usaha mengamalkan sebuah hadits Qudsi<br />sebagai berikut:<br />Kepada orang yang memusuhi Wali-Ku, akan Kunyatakan perang.<br />Ibadat yang paling mendekatkan Hamba-Ku, sehingga Aku sayang<br />kepadanya adalah menunaikan semua perintah yang telah Aku<br />berikan. Hamba-Ku adalah mereka yang mendekatkan dirinya<br />kepada-Ku dan melakukan pula hal-hal sunnah yang Aku cintai.<br />Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi<br />telinganya yang dipakai untuk mendengar. Aku-lah matanya untuk<br />melihat, Aku-lah tangannya untuk bekerja, dan Aku-lah kakinya<br />untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku akan Aku beri,<br />dan apabila ia meminta perlindungan akan Aku beri. (Riwayat<br />Bukhari dan Abi Hurairah)<br />Apabila seseorang telah melaksanakan berbagai ibadah secara<br />intensif, hal itu dalam pandangan kesufian tidak secara<br />otomatis merupakan jaminan bahwa orang tersebut akan sampai<br />pada tujuan hakiki dari ibadah yakni terjalinnya hubungan<br />konstan dengan Allah. Ibadah ritual akan jatuh nilainya<br />menjadi seremonial tanpa isi jika ibadah tersebut dilaksanakan<br />tanpa sikap batin yang dipimpin semata-mata oleh harapan<br />memperoleh ridha Allah.<br />Sebaliknya sikap batin yang tidak diaktualisasikan dalam<br />bentuk pelaksanann ibadah sebagaimana yang dituntunkan syariat<br />dan dicontohkan oleh Nabi, dipandang sebagai kesombongan<br />spiritual, yang menjurus kapada zindiq (penyelewengan). Dalam<br />kaitan ini Imam Malik, salah seorang pendiri mazhab fiqih yang<br />terkenal, mengatakan bahwa siapa yang bertasawuf tanpa<br />mengamalkan fiqh, ia zindiq dan siapa yang mengamalkan fiqh<br />tanpa bertasawuf, ia fasiq (tak bermoral).<br />Agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna dan tak jatuh ke<br />nilai seremonial yang tanpa isi, maka di kalangan kaum sufi<br />ibadah ritual selalu dibarengi bahkan didahului oleh<br />penggeledahan dan interogasi diri: apakah ibadah yang kita<br />lakukan sudah benar-benar karena Allah dan bukannya karena<br />yang lain?<br />Dalam kaitannya dengan upaya rohani seperti itulah kisah<br />sufistik yang dicatat dari pesantren --Tarekat<br />Qadariah-Naqshabandiyah di Jawa Timur-- merupakan ilustrasi<br />relatif menarik.<br />Di sebuah desa hidup seorang yang dikenal oleh kalangan luas<br />sebagai orang yang sangat alim. Segala pujian dilimpahkan<br />orang kepada si Alim atas kesalehan dan kealimannya. Mendengar<br />berbagai pujian tersebut si Alim jadi gelisah. Jangan-jangan<br />dirinya rajin beribadah itu bukan karena Allah melainkan<br />justru karena orang memujinya sebagai orang alim. Pada suatu<br />pagi ia pun pergi menuju pasar di seberang desa. Sesampainya<br />di pasar secara demonstratif ia sengaja mencuri ayam yang<br />sedang diperjualbelikan. Karena tertangkap basah maka iapun<br />dipukuli banyak orang. Ayam dikembalikannya dan ia pun pulang<br />dalam keadaan babak belur. Orang sepasar akhirnya bergumam:<br />"Oh, ternyata ia hanya pura-pura alim, padahal sebenarnya ia<br />tak lebih dari seorang maling!" Mendengar omongan seperti itu<br />ia bukannya sedih melainkan bersyukur kepada Allah. Setibanya<br />di rumah ia langsung sujud syukur "Alkhamdulillah, ya Allah,<br />kini aku beribadah bukan karena manusia, tetapi insya Allah<br />benar-benar karena Engkau semata."<br />Demikianlah, dari sudut pandang kesufian, hidup ini merupakan<br />pergulatan terus-menerus dengan diri sendiri. Dengan demikian,<br />keberanian untuk melakukan penggeledahan dan interogasi diri<br />merupakan inti keberagamaan dan sekaligus bagaikan tangga naik<br />yang akan mengantarkan diri seseorang kepada derajat yang<br />terus meningkat dari suatu tingkat (maqam) tertentu ke tingkat<br />rohani berikutnya yang lebih tinggi. Maqam-maqam tersebut dari<br />yang terendah hingga yang tertinggi dikenal di kalangan kaum<br />sufi dengan istilah-istilah sebagai berikut:<br />(1) Maqam Tawbat, yakni meninggalkan dan tidak mengulangi lagi<br />perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan dosa-dosa sepadannya<br />demi menjunjung tinggi ajaran Allah dan mengingkari murka-Nya.<br />(2) Maqam Wara', yaitu menahan diri untuk tidak melakukan<br />sesuatu dalam rangka menjunjung tinggi perintah-Nya.<br />(3) Maqam Zuhud, yakni lepasnya pandangan keduniaan dan usaha<br />memperolehnya dari diri orang yang sebetulnya mampu untuk<br />memperolehnya.<br />(4) Maqam Shabar, ialah ketabahan dalam menghadapi dan<br />mendorong hawa nafsu.<br />(5) Maqam Faqir, yaitu tenang serta tabah sewaktu melarat dan<br />mengutamakan orang lain di kala berada.<br />(6) Maqam Syukur, yaitu menyadari bahwa segala kenikmatan itu<br />datangnya dari Allah semata.<br />(7) Maqam Khauf, ialah rasa ngeri dalam menghadapi siksa Allah<br />atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah.<br />(8) Maqam Raja', yakni hati yang diliputi rasa gembira karena<br />mengetahui kemurahan dari Allah yang menjadi tumpuan<br />harapannya.<br />(9) Maqam Tawakkal, yaitu sikap hati yang bergantung hanya<br />kepada Allah dalam menghadapi segala sesuatu baik yang<br />disukai, dibenci, diharapkan, maupun ditakuti.<br />(10)Maqam Ridla, ialah rasa puas di hati sekalipun menerima<br />nasib pahit.<br />Mengenal selintas maqam-maqam tersebut seolah-olah mustahil<br />nilai-nilai kesufian tersebut dapat diwujudkan dalan kehidupan<br />yang sudah serba modern ini. Namun, jika maqam-maqam tersebut<br />dipandang sebagai tidak lain dari upaya pendakian rohani<br />menuju ridla Allah, maka maqam-maqam tersebut adalah acuan<br />yang memang harus dimiliki mereka yan benar-benar merindukan<br />leburnya diri kembali kepada Yan Maha Hakiki.<br />Menengok pada luka menganga yang menjangkiti dunia modern<br />seperti konsumerisme yang seolah tak mengenal kata puas,<br />hedonisme yang telah menyebabkan merajalelanya AIDS, serta<br />materialisme yang cenderung mencekal nilai-nilai spiritual;<br />semua itu mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pola<br />kehidupan yang semata-mata dipimpin oleh otak (head) dan<br />ketrampilan teknologis (hand) itu perlu diimbangi dan<br />dikendalikan dengan kebeningan hati (heart). Dan, melalui<br />sudut pandang kesufian kiranya kehidupan beragama akan marnpu<br />mewujudkan pribadi-pribadi yang seimbang seperti itu.<br />Akhirnya, semua itu terpulang kepada manusia sendri apakah ia<br />akan menundukkan sukmanya kepada kehidupan yang berorientasi<br />pada kebutuhan jasadi yang bersifat kini dan di sini (sukma<br />dhulmani, sukma yang berada dalam kegelapan), ataukah ia akan<br />mengarahkan sukmanya sehingga sang sukmalah yang memimpin<br />kebutuhan jasadi agar senantiasa berada dalam terpaan cahaya<br />Ilahi.<br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br />Firdaus A.N., "Jalan ke Surga" (Kumpulan 772 Hadist Qudsi),<br />Yayasan Kesejahteraan Bersama, tanpa tahun.<br />Al-Ghazali, Imam, "Ihya' 'Ulum al-Din", vol.I, (dengan<br />terjemahan Jiwa oleh Misbah Zaini Mustofa), Raja Murah,<br />Pekalongan, 1981.<br />Johns, A.H., "Sufism As a Category in Indonesian Literature<br />And History," dalam Journal of Southeast Asian History, vol. 2<br />(1961), hal. 10-23.<br />Madjid, Nurcholish., "Tasauf dan Pesantren", dalam M. Dawam<br />Rahardjo (ed.) Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta,<br />1985.<br />Zarkasyi, Muhamad Nawawi Shidiq, "Soal-Jawab Thoriqiyah",<br />Pesantren Raudlatul Thulab, Berjan, Purwokerto, 1977.Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-69982597995750945072010-01-10T08:24:00.000-08:002010-01-10T08:25:20.639-08:00MANUSIA DAN PROSES PENYEMPURNAAN DIRISecara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak<br />ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang<br />prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah<br />juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum<br />selesai atau setengah jadi, sehingga masih harus berjuang<br />untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91:7-10). Proses<br />penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya<br />manusia itu fithri, hanif dan berakal. Lebih dari itu bagi<br />seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagi<br />dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai<br />petunjuk hidupnya (QS. 4:174).<br />Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi:<br />Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbabu --Siapa yang telah<br />mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi,<br />pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang<br />untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka<br />mengenal Tuhan.<br />Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui<br />kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini<br />manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati<br />diri dan hakikat kemanusiaannya<br />Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu pengetahuan dan<br />berkembangnya differensiasi dalam profesi kehidupan maka<br />protret atau konsep tentang realitas manusia semakin terpecah<br />meniadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok<br />manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. Sederet disiplin<br />ilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran,<br />politik, ekonomi, antropologi, teologi dan lainnya semuanya<br />menjadikan manusia sebagai obyek kajian materialnya, tetapi<br />masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda.<br />Differensiasi metodologis setiap ilmu, meskipun obyek<br />materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang<br />berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu.<br />Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang<br />melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah<br />misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah<br />mengundang kegelisahan intelektual pare ahli pikir untuk<br />mencoba berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli pikir<br />mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula<br />ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti<br />semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.<br />Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisit<br />dikemukakan, misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya:<br />Nietzsche proclaims the will to power, Freud signalizes the<br />sexual instinct, Marx enthrones the economic instinct. Each<br />theory becomes a Procrustean bed in which the empirical facts<br />are stretched to fit a preconceived pattern. Owing to this<br />development our modern theory of man lost its intellectual<br />center. We acquired instead a complete anarchy of thought.<br />(Ernst Cassier, 1978, p.21)<br />Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan<br />kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan<br />Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama,<br />secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsi<br />yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan<br />Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung<br />ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha<br />Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung<br />membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan<br />Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada akhirnya<br />akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan<br />dekrit-Nya.<br />Demikianlah, bila ilmu fiqih cenderung mengenalkan Tuhan<br />sebagai Maha Hakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi<br />gambaran Tuhan sebagai Maha Akal, sementara ilmu tasawuf<br />memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.<br />Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada<br />dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu<br />lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh<br />berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya.<br />Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalah<br />mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka<br />langkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana<br />mengenal diri kita secara benar.<br />Meskipun Cassirer secara gamblang menunjukkan krisis<br />pengenalan diri, secara sederhana kita bisa membedakan dua<br />paradigma pemahaman terhadap manusia, yaitu paradigma<br />materialisme-atheistik dan spiritualisme-theistik. Yang<br />pertama berkeyakinan pada teori bahwa semua realitas materi<br />(downward causation), sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa<br />dunia materi ini hakikatnya berasal dari realitas yang<br />bersifat imateri (upward causation).<br />Bagi mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metode<br />berpikir empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk<br />menghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimana<br />yang lazim diyakini di kalangan pare sufi. Kritik terhadap<br />aliran materialisme akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan<br />mudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Barat<br />kontemporer dengan dalih, antara lain, faham ini telah<br />mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai<br />moral and religious being.<br />Ralph Ross, misalnya, memberikan contoh yang amat sederhana<br />tetapi gamblang betapa miskinnya penganut materialisme dalam<br />memahami kehidupan yang penuh nuansa ini.<br />Progressive reductionism works as follows. An art object is<br />only mass and light waves; an act of love only chemiphysical,<br />only electrical charges; therefore, the art object or act of<br />love is only a flow of electricity. (Ralph ross, 1962, hal.<br />8).<br />Pandangan yang begitu dangkal tentang manusia secara tegas<br />dikritik oleh al-Qur'an. Menurut doktrin al-Qur'an, manusia<br />adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan<br />'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS.<br />2:3). Lebih dari itu dalam tradisi sufi terdapat keyakinan<br />yang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan<br />karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat dan<br />menampakkan kebesaran diri-Nya.<br />Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu<br />al-khalqa fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang<br />tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk<br />maka melalui Aku mereka kenal Aku.<br />Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya<br />orang sufi menerima hadits tersebut, namun dengan beberapa<br />penafsiran yang berbeda. Meski demikian, mereka cenderung<br />sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki<br />sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial<br />mendekati Tuhan (Bandingkan QS. 41:53). Dalam QS. 15:29,<br />misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memang<br />terdapat unsur Ilahi yang dalam al-Qur'an beristilah "min<br />ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang<br />dan mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya<br />ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.<br />Dari jenjang pertama sampai ke tiga aktivitas dan daya jangkau<br />manusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan dunia<br />materi selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang<br />saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks inilah<br />yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia<br />materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makin<br />berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran<br />realitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu<br />mengenal dirinya secara utuh. Seperti dikemukakan Carel Alexis<br />bahwa man has gained the mistery of the material world before<br />knowing himself.<br />Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf belum mempunyai<br />definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti<br />tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran<br />nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya<br />melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia<br />bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci. Ajaran<br />spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam<br />melainkan pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiran<br />filsafat akan mudah pula dijumpai. Dari kenyataan ini maka<br />tidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwa<br />sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia<br />ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal.<br />Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci<br />yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena<br />dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah<br />muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. Kalangan<br />sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah<br />hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur<br />manusia yang paling dalam, yang pertumbuhannya sering<br />terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani<br />yang melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang<br />bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan<br />"jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan<br />otonominya sebagai master. Bila hal ini terjadi maka<br />terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi<br />difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi<br />dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan<br />memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan<br />sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai,<br />senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan<br />Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah,<br />yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.<br />Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf adalah membantu seseorang<br />bagaimana caranya seseorang bisa memelihara dan meningkatkan<br />kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia merasa damai dan<br />juga kembali ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS.<br />89:27).<br />Secara garis besar tahapan seorang mukmin untuk meningkatkan<br />kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau<br />ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan<br />kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Di manapun<br />seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan<br />berdzikir untuk Tuhannya (QS. 3:191). Dari dzikir ini<br />meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu, secara sadar<br />meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki<br />sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa juga<br />disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri<br />manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan<br />Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."<br />Maqam ketiga tahaqquq. Yaitu, suatu kemampuan untuk<br />mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai<br />seorang mukmin yang dirinya sudah "didominasi" sifat-sifat<br />Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan<br />mulia. Maqam tahaqquq ini sejalan dengan Hadits Qudsi yang<br />digemari kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi seorang<br />mukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan<br />intimnya dengan Tuhan maka Tuhan akan melihat kedekatan<br />hamba-Nya.<br />Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa<br />yang disebut gaib atau hati dalam pengertiannya yang<br />metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa<br />hati seseorang bagaikan raja, sementara badan dan anggotanya<br />bagai istana dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan<br />kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.<br />Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara<br />fisik hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia,<br />namun luasnya hati Insan Kamil (qalb al-'arif) melebihi<br />luasnya langit dan bumi karena ia sanggup menerima 'arsy<br />Tuhan, sementara bumi langit tidak sanggup. Menurut Ibn<br />'Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub<br />yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati<br />sang sufi, kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya<br />Tuhan. Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam<br />makhluk-Nya dalam pengertian metafisik. Dan dari sekian<br />makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang paling<br />mampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku<br />kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138).<br />Dalam konteks inilah, menurut Ibn 'Arabi, yang dimaksudkan<br />dengan ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia akan<br />mengetahui Tuhannya karena manusia adalah "microcosmos" atau<br />jagad cilik dimana 'arsy Tuhan berada di situ, tetapi Tuhan<br />bukan pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" yang Maha<br />Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang<br />Dhahir, bukannya Yang Bathin.<br />KHALIFAH ALLAH: MANUSIA SUCI NAN PERKASA<br />Bila upaya penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, dan itu<br />dilakukan dalam upaya mendekati dan menggapai kasih Tuhan,<br />maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagaman dan<br />karenanya setiap muslim semestinya berusaha untuk menjadi<br />sufi.<br />Pandangan semacam itu tentu saja kurang populer dan sulit<br />diterima oleh kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah cukup<br />tegas isyarat al-Qur'an maupun Hadits yang menyatakan bahwa<br />kewajiban setiap muslim adalah mensucikan jiwanya sehingga<br />kesuciannya termanifestasikan dalam perilaku insaniyahnya?<br />Melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan tahaqquq, maka<br />seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan<br />kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan<br />damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang saleh adalah<br />sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga<br />di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan proyek<br />untuk memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang<br />saleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya? Jadi, secara<br />karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak<br />asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di hotel<br />mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.<br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br />Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of Wisdom), New York,<br />1980.<br />Afifi, AE. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnul<br />'Arabi, Lahore, 1938<br />Cassirer, Ernst., An Essay on Man, London, 1978.<br />Izutsu, Toshihiko, The Concept of Perpetual Creation in<br />Islamic Mysticism and Zen Buddhism, Teheran, 1977.<br />Massiggnon, Louis., The Passion of al-Hallaj, Jilid II dan<br />III, Princeton, 1982.<br />Nasution, Prof. Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam<br />Islam, 1973<br />Ross, Raiph., Symbols and Civilization, New York, 1962.<br />Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta,<br />1976.<br />Valiuddin, Dr. Mir., The Qur'anic Sufism, Lahore, 1978.Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-30003081078480270692010-01-10T08:23:00.000-08:002010-01-10T08:24:24.221-08:00SYARI'AH, THARIQAH, HAQIQAH DAN MA'RIFAHKata syari'ah telah beredar luas di kalangan umat muslim.<br />Bahkan, dalam al-Qur'an sendiri, kata tersebut telah dipakai<br />antara lain pada Surah al-Jatsiyah: 18. Pemakaian kata<br />tersebut mengacu kepada makna ajaran dan norma agama itu<br />sendiri. Dalam perkembangan Islam munculnya tiga kata<br />thariqah, haqiqah dan ma'rifah, telah mengakibatkan<br />terbatasnya pengertian syari'ah sehingga lebih banyak<br />mengacu pada norma hukum. Sedangkan tiga kata lainnya<br />menjadi terma yang terkenal dalam tasawuf. Karena itu ada<br />baiknya kita lebih dahulu berbicara tentang tasawuf itu<br />sendiri.<br />Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka<br />adalah kelompok spiritual dalam umat Islam yang berada di<br />tengah-tengah dua kelompok lainnya yang disebut kelompok<br />formal dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini<br />terdiri dari ulama-ulama mutakallim (ahli teologi),<br />sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhaddits<br />dan fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu<br />kecenderungan spiritual yang membentuk etika moral dan<br />lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita katakan<br />seorang muhaddttsin sekaligus juga ulama sufiyah, begitu<br />pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.<br />Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari<br />prinsip-prinsip Islam sejak awal. Ajaran ini tak ubahnya<br />merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk hidup<br />bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran<br />agama dalam kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun<br />mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah kedisiplinan<br />beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk<br />mendapatkan ridla-Nya), dan upaya membebaskan diri dari<br />keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak<br />diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi<br />lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada<br />kalangan kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatan<br />berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara<br />berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi<br />kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulah<br />angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup<br />sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.<br />Keadaan tersebut berkelanjutan hingga mencapai puncak<br />perkembangannya pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abad<br />itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehingga<br />di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah,<br />seperti kita dapat simak dalam karya sastra "cerita seribu<br />satu malam" dimasa kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Pada<br />masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang<br />tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi<br />mulai ditandai juga dengan berkembangnya suatu cara<br />penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu<br />yang disebut ilmu Tasawuf.<br />Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yang<br />dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya<br />penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam menjabarkan<br />prinsip-prinsip ajaran Islam mengenai penataan kehidupan<br />pribadi dan masyarakat yang sudah berkembang selama tiga<br />abad -dengan munculnya disiplin ilmu Tasawuf- terjadilah<br />pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk penalaran<br />ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk<br />penalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah. Selanjutnya<br />para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf<br />disebut ahli haqiqah.<br />Pada tahap perkembangannya, secara berangsur-angsur pola<br />pikir dan pola hubungan antara ahli syari'ah dan ahli<br />haqiqah makin berbeda. Dan ini menimbulkan banyak<br />pertentangan antara kedua kelompok tersebut. Perbedaan<br />tersebut ditandai dengan beberapa hal berikut:<br />1. Ahli syari'ah menonjolkan -kadang-kadang secara<br />berlebih-lebihan- soal pengalaman agama dalam bentuk yang<br />formalistik (syi'ar-syi'ar lahiriah). Sedang dilain pihak,<br />para ahli haqiqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran<br />Islam.<br />2. Adanya teori-teori ahli haqiqah yang menggusarkan para<br />ahli syari'ah, misalnya teori al-fana fi 'l-Lah (peleburan<br />diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan<br />teori Hub al-Lah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi'ah<br />al-'Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminal-terminal<br />dan situasi-situasi) ciptaan Dzunn-un al-Mishri. Semua itu<br />dianggap sebagai ajaran aneh oleh para ahli syari'ah.<br />3. Sebagian ahli haqigah tidak merasa terikat dengan<br />syi'ar-syi'ar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata,<br />kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas<br />dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka<br />sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah.<br />4. Ahli haqiqah mengklaim, siapa yang telah sampai<br />perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur<br />dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan<br />alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).<br />Jurang pemisah yang makin hari makin melebar antara ahli<br />syari'ah dan ahli haqiqah makin menjadi-jadi pada sekitar<br />akhir abad kelima Hijrah, dan Imam Ghazali berupaya<br />memulihkannya. Dalam kaitan inilah beliau tampil dengan<br />karya besarnya Ihya 'Ulum al-Din. Dalam buku ini beliau<br />mempertemukan teori-teori syari'ah dengan teori-teori<br />haqiqah Ternyata upaya al-Ghazali ini sangat membantu dalam<br />merukunkan kembali antara para ahli syari'ah dengan ahli<br />haqiqah.<br />Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat<br />lembaga keagamaan non-formal yang namanya "tarekat" asal<br />kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Tarekat<br />Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat<br />Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam<br />satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah<br />lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut<br />dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu<br />lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam'iyah Ahl<br />al-Thariqah al-Mu'tabarah. Pada tahun lima puluhan,<br />pemerintah Mesir menempatkan pembinaan dan koordinasi<br />tarekat-terekat tersebut di bawah Departemen Bimbingan<br />Nasional (Wizarah al-Irsyad al-Qaumi). Pertimbangannya<br />ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu<br />merupakan bagian dari potensi bangsa/umat, yang berhak<br />mendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan<br />suatu negara.<br />Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita<br />mempertanyakan kapankah munculnya tarekat (al-thuruq<br />al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan gerakan tasawuf<br />Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan<br />tasawuf dan gerakan syi'ah mengungkapkan, tokoh pertama yang<br />memperkenalkan sistem thariqah (tarekat) itu Syekh Abdul<br />Qadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran<br />tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang<br />mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia dan Jawa.<br />Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat<br />Rifa'iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa'i. Dan tempat<br />ketiga diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal<br />al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisi<br />baru dengan menggunakan alat-alat musik sebagai sarana<br />dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.<br />Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang<br />mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan<br />dunia Islam bagian Timur pada umumnya.<br />Yang juga perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat<br />Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin<br />militer. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad<br />al-Syarif al-Sanusi berhasil menggalang satu kekuatan<br />perlawanan rakyat yang mampu memerangi kolonialis Italia,<br />Perancis dan Inggris secara berturut-turut, dan akhirnya<br />membebaskan wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklim<br />yang dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai<br />Mu'ammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan berkuasa<br />sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.<br />Nicholson mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa sistem<br />hidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekat<br />yang berbeda-beda itu. Semua pengikutnya dididik dalam<br />disiplin itu, dan pada umumnya tarekat-tarekat tersebut<br />walaupun beragam namanya dan metodenya, tapi ada beberapa<br />ciri yang menyamakan:<br />1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi<br />penganut (murid). Adakalanya sebelum yang bersangkutan<br />diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu<br />menjalani masa persiapan yang berat.<br />2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal)<br />3. Menjalani riyadlah (latihan dasar) berkhalwat. Menyepi<br />dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa<br />hari (kadang-kadang sampai 40 hari).<br />4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam<br />waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan<br />alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat<br />membina konsentrasi ingatan.<br />5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka<br />yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang<br />berlaku di luar kebiasaan.<br />6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau<br />pembantunya yang tidak bisa dibantah<br />Dari sistem dan metode tersebut Nicholson menyimpulkan,<br />bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang<br />terorganisasi untuk membina suatu pendidikan moral dan<br />solidaritas sosial. Sasaran akhir dari pembinaan pribadi<br />dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih, bersahaja,<br />tekun beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah<br />yang diridlai Allah, dengan jalan pengamalan syari'ah dan<br />penghayatan haqiqah dalam sistem/metode thariqah untuk<br />mencapai ma'rifah.<br />Apa yang dimaksud dengan kata ma'rifah dalam terma mereka<br />ialah penghayatan puncak pengenalan keesaan Allah dalam<br />wujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titik<br />pengenalan ini akan terpadu makna tawakkal dalam tawhid,<br />yang melahirkan sikap pasrah total kepada Allah, dan<br />melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu<br />selain Allah.<br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br />Abu 'l-Hasan al-Nadawi, Rijal al-fikri wa<br />'l-Da'wah fi 'l-lslam.<br />Ahmad Amin, Dhuha al-Islam dan Zhuhur al-Islam<br />Imam al Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din<br />Irnam Ibn Khaldun, al-Muqaddimah.<br />Kamil Mushthafa al-Syibli,<br />al-Shilah bain al-Tashawwuf wa 'l-Tasyayyu'.Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-44172004850900366752010-01-10T08:20:00.000-08:002010-01-10T08:23:12.317-08:00TasawufTujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin<br />dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati<br />bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang<br />menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan<br />bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri<br />dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah<br />Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya<br />adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas<br />masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui<br />penyucian rohnya.<br />ASAL KATA SUFI<br />Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan<br />dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.<br />Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:<br />1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang<br />disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan<br />diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama<br />salat dan puasa.<br />2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris<br />pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh<br />orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca<br />ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat<br />datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha<br />membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.<br />3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama<br />Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di<br />Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin,<br />tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan<br />memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah,<br />sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia<br />dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum<br />sufi.<br />4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam)<br />yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat.<br />Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos<br />telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan<br />ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang<br />terdapat dalam kata tasawuf.<br />5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang<br />ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah<br />yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang<br />ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini<br />melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan<br />dari dunia.<br />Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang<br />banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah<br />orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari<br />dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani.<br />Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim<br />al-Kufi di Irak (w.150 H).<br />ASAL-USUL TASAWUF<br />Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam<br />mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan<br />agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran<br />tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.<br />Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari<br />rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat<br />dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia.<br />Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di<br />padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi<br />tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari<br />lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir.<br />Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong.<br />Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk<br />sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.<br />Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran<br />mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah<br />suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia<br />materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh<br />yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu<br />tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu<br />ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada<br />fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa<br />pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke<br />dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang<br />suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang<br />terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu<br />dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu<br />dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.<br />Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan<br />filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan<br />akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia<br />berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga<br />kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor,<br />ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri<br />melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat<br />mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu<br />dengan Dia di bumi ini.<br />Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam<br />ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran<br />al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali<br />ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh<br />pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan.<br />Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di<br />dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.<br />Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep<br />Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia,<br />memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran<br />menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat<br />dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan<br />datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui<br />kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf<br />terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia<br />dengan roh Tuhan.<br />Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani<br />dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang<br />kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu<br />adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini<br />memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul<br />pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak<br />ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam<br />sendiri?<br />Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.<br />Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan<br />manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan<br />Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika<br />hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan<br />mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."<br />Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi<br />berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat<br />Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia<br />berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya<br />kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan<br />oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka<br />kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS.<br />al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja<br />Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi<br />jauh, untuk menjumpainya.<br />Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya<br />Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami<br />tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih<br />dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di<br />lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada<br />bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia<br />sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui<br />dirinya mengetahui Tuhannya."<br />Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia<br />masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia<br />jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat<br />berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh<br />mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau<br />yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi<br />Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).<br />Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan.<br />Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat<br />bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain<br />sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku<br />adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal.<br />Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun<br />dikenal."<br />Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan<br />bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau<br />ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia<br />dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat<br />al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.<br />Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi<br />menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga<br />kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak<br />memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat<br />merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak<br />beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat<br />Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan<br />rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.<br />JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN<br />Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat<br />melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan<br />Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang<br />harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya<br />sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf.<br />Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah<br />berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia.<br />Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum<br />sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut<br />maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha<br />keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan<br />perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut<br />diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama<br />puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang<br />calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat<br />dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian<br />diri calon sufi secara berangsur.<br />Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama<br />yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari<br />dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf<br />adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat<br />dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah<br />berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil,<br />kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari<br />perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha,<br />yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya<br />yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau<br />sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu<br />panjang.<br />III.14. TASAWUF (hal. 42)<br />oleh Harun Nasution (2/4)<br />Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu<br />zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi<br />dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil<br />untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan<br />dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah,<br />dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum<br />hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit<br />tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia<br />menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi<br />digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang<br />dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya<br />dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan<br />berdzikir.<br />Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa<br />menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk<br />kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa,<br />melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga<br />akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di<br />stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan<br />syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi<br />menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr<br />al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang<br />berisi syubhat.<br />Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion<br />ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya<br />sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat<br />menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak<br />meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi<br />tidak menolak pemberian Tuhan.<br />Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion<br />sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan<br />perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi<br />larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar<br />dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan<br />Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan<br />dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya<br />pertolongan. Ia sabar menderita.<br />Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan<br />diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak<br />memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari<br />ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa<br />tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena<br />ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia<br />bersikap seperti telah mati.<br />Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari<br />stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan<br />ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga<br />dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada<br />perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika<br />malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya<br />bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat<br />sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat<br />Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan<br />Tuhan.<br />Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan<br />tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan<br />tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru<br />menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah<br />sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh<br />pengalaman-pengalaman tasawuf.<br />PENGALAMAN SUFI<br />Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya<br />dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang<br />dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa<br />waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat<br />meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia<br />rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat<br />yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang<br />dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada<br />stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam<br />hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cinta<br />Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut,<br />pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap<br />melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada<br />Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari<br />segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.<br />Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam<br />al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan<br />kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari<br />surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang<br />dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat<br />30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu<br />cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan<br />mencintai kamu."<br />Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut,<br />"Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui<br />ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai,<br />Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."<br />Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman<br />cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiah<br />(713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan<br />memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam<br />doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pula<br />tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah<br />dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada<br />Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena<br />ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku<br />kepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja Engkau<br />karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau,<br />janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari<br />pandanganku."<br />Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di<br />langit telah gemerlapan, mata-mata telah bertiduran,<br />pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah<br />berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di<br />hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas<br />mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera<br />akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku<br />sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku<br />merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan<br />kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku. Sekiranya<br />Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak,<br />karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."<br />Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang<br />kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke<br />hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku.<br />Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh<br />hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika<br />orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia<br />menjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang<br />kosong di dalam hatiku untuk benci setan."<br />Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya<br />dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:<br />Kucintai Engkau dengan dua cinta,<br />Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,<br />Cinta karena diriku<br />Membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,<br />Cinta kepada diri-Mu,<br />Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,<br />Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,<br />Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.<br />Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah<br />mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati<br />nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman<br />kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah<br />benar-benar menjadi sufi.<br />Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860<br />M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan<br />ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta<br />ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari<br />pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun<br />dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun<br />melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya,<br />bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat<br />dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena<br />Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."<br />Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah<br />karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak<br />membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat<br />melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf,<br />sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan<br />menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa<br />ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan<br />dari atas.<br />Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal<br />yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang<br />berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya<br />untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua,<br />daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya<br />untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.<br />Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar<br />setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya.<br />Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau<br />senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya<br />tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia<br />disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin<br />besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap<br />daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun<br />bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat<br />rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan<br />ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui<br />peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."<br />Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka,<br />ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh<br />langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut<br />ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini<br />diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali,<br />pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah,<br />lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal,<br />yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali<br />diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah<br />mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran<br />ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.<br />Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf<br />dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat<br />di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan<br />tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua,<br />ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu<br />yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat<br />orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun<br />hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk<br />materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang<br />memandangnya akan mati karena tak tahan melihat<br />kecemerlangan dan keindahannya.<br />Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata<br />hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang<br />mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa<br />tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada<br />lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan<br />dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.<br />III.14. TASAWUF (hal. 42)<br />oleh Harun Nasution (3/4)<br />Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid al<br />Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya<br />menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha<br />yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya<br />kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai<br />ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu<br />telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan<br />bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke<br />stasion ittihad.<br />Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih<br />dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana'<br />adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu<br />didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang<br />lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf<br />disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa<br />(tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat<br />akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian,<br />yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu<br />hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul<br />sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang<br />sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan<br />timbul takwa.<br />Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu<br />mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran<br />jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada,<br />tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap<br />diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs<br />wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri<br />sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini<br />terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.<br />Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan<br />melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku<br />mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan<br />mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat<br />aku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuat<br />aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun<br />berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada<br />diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."<br />Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis,<br />"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain<br />terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan<br />makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula<br />makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan<br />pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk<br />lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah<br />ittihad."<br />Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar<br />ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut<br />syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu<br />Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari<br />dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada<br />Tuhan selain Allah."<br />Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena<br />lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan<br />berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat<br />Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan<br />kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.<br />Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku<br />pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku<br />heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja<br />Maha Kuasa."<br />Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid<br />telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak<br />meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."<br />Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan<br />dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang<br />dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan<br />Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai<br />kepadaMu?"<br />Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya<br />Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa'<br />dan ittihad.<br />Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata<br />berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat<br />Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat<br />engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat<br />mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya<br />menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika<br />makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami<br />lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah<br />Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."<br />Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa<br />ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan<br />perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia<br />tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari<br />kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." Permintaan<br />Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan,<br />sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu<br />Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun<br />berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah<br />Engkau."<br />Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang<br />satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku).<br />Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam<br />ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi<br />satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata<br />kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai<br />Aku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Aku<br />menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkau<br />adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."<br />Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah<br />kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu<br />bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan<br />bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur<br />dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah<br />Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu<br />Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.<br />Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang<br />diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu<br />kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi<br />seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang<br />subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci<br />Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain<br />Aku, maka sembahlah Aku."<br />Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan<br />lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui<br />dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar,<br />dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar<br />dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari<br />dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar<br />tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan<br />tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi,<br />kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan<br />kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui<br />lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah,<br />tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di<br />dalam jubah ini tidak ada selain Allah."<br />Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid,<br />tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia<br />adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan<br />melalui lidah Abu Yazid.<br />Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah<br />Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan<br />nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi<br />hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke<br />sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq"<br />(Akulah Yang Maha Benar).<br />Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad,<br />tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk<br />bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya<br />dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul<br />diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk<br />bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya,<br />setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu<br />dihancurkan.<br />Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid<br />dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj,<br />manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan<br />lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat<br />dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan<br />bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil<br />dari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam<br />sesuai dengan bentuk-Nya.<br />Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada<br />bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia.<br />Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan<br />itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada<br />syair al-Hallaj sebagai berikut:<br />Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya<br />Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang<br />Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata<br />Dalam bentuk manusia yang makan dan minum<br />Dengan membersihkan diri malalui ibadat yang banyak<br />dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan<br />ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi<br />dan terjadilah hulul.<br />Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:<br />Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku<br />Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci<br />Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula<br />Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah akuAlumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-30713948322223648552010-01-10T08:19:00.000-08:002010-01-10T08:20:40.222-08:00Ciri Pemikiran Filsafat Abad Pertengahan<span style="font-weight:bold;">Ciri Pemikiran Filsafat Abad Pertengahan</span><br />Filsafat yunani telah mencapai kejayaannya sehingga melahirkan peradaban yunani<br />dan menjadikan titik tolak peradaban manusia di dunia. Filsafat yunani telah<br />menyebar dan mempengaruhi di berbagai bangsa dianataranya adalah bangsa Romawi,<br />karena Romawi merupakan kerajaan terbesar di daratan Eropa pada waktu itu. Bangsa<br />Romawi yang semula beragama kristen dan kemudian kemasukan filsafat merupakan<br />suatu formulasi baru yaitu agama berintegrasi dengan filsafat, sehingga munculah<br />filsafat Eropa yang tak lain penjelmaan dari filsafat Yunani.<br />Filsafat barat abad pertengahan (476-1492 M) bisa dikatakan abad kegelapan, karena<br />pihak gereja membatasi para filosof dalam berfikir, sehingga ilmu pengetahuan<br />terhambat dan tidak bisa berkembang, karena semuanya diatur oleh doktirn-doktrin<br />gereja yang berdasarkan kenyakinan. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang<br />bertentangan dari keyakinan para gerejawan, maka filosof tersebut dianggap murtad<br />dan akan dihukum berat samapai pada hukuman mati.<br />Secara garis besar filsafat abad pertengahan dapat dibagi menjadi dua periode<br />yaitu: periode Scholastic Islam dan periode Scholastik Kristen. Para Scholastic<br />Islamlah yang pertama mengenalkan filsafatnya Aristoteles diantaranya adalah Ibnu<br />Rusyd, ia mengenalkan kepada orang-orang barat yang belum mengenal filsafat<br />Aristoteles.<br />Para ahli fikir Islam (Scholastik Islam) yaitu Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-<br />Gazali, Ibnu Rusyd dll. Mereka itulah yang memberi sumbagan sangat besar bagi para<br />filosof eropa yang menganggap bahwa filsafat Aristoteles, Plato, dan Al-Quran<br />adalah benar. Namun dalam kenyataannya bangsa eropa tidak mengakui atas peranan<br />ahli fikir Islam yang mengantarkam kemoderenan bangsa barat.<br />Kemudian yang kedua periode Scholastic Kristen dalam sejarah perkembangannya dapat<br />dibagi menjadi tiga, Yaitu: Masa Scholastik Awal, Masa Scholastik Keemasan, Masa<br />Scholastik Terakhir.<br />Masa Scholastik Awal (Abad 9 - 12 M)<br />Masa ini merupakan kembagkitan pemikiran dari kungkungan gerejawan yang telah<br />membatasi berfilsafat, karena berfilsafat sangat membahayakan bagi agama Kristen<br />khususnya pihak gerejawan. Dan yang ditonjolkan dalam masa ini adalah hubungan<br />antara agama dengan filsafat karena keduanya tidak dapat dipisahkan, dan dengan<br />keduanya manusia akan memporoleh pengetahuan yang lebih jelas. Tetapi masa ini<br />filsafat masih bertumpu pada alam pikiran dan karya-karya kristiani.<br />Masa ini juga berdiri sekolah-sekolah yang menerapkan study duniawi meliputi: tata<br />bahasa, retorikaa, dialektika, ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu perbintangan dan<br />musik. Sekolah yang mula-mula ada di biara Italia selatan ini akhirnya berpengaruh<br />ke daerah-daerah yang lain.<br />Masa Scholatik Keemasan (1200 – 1300 M)<br />Pada masa ini Scholastik mengalami kejayaan yang berlangsung dari tahun 1200-1300<br />M, disebut juga dengan masa yang berbunga dan bertumbuh kembang, karena muncul<br />banyak Universitas dan ordo-ordo yang menyelenggarkan pendidikan ilmu pengetahuan.<br />Ada beberapa faktor kenapa pada masa ini Scholastic mencapai keemasan. Pertama,<br />pengaruh dari Aristoteles dan ahli fikir Islam sejak abad ke 12 sehingga pada abad<br />ke 13 telah tumbuh ilmu pengetahuan yang luas. Kedua, berdirinya beberapa<br />Universitas. Dan yang ketiga munculnya ordo-ordo yang membawa dorongan kuat untuk<br />memberikan suasana yang semarak pada abad ke 13.<br />Pada masa ini juga ada sorang filofos Agustinus yang menolak ajaran Aristoteles<br />karena sudah dicemari oleh ahli fikir Islam, dan hal ini sangat membahayakan<br />ajaran Kristen, maka Abertus Magnus dan Thomas, sengaja menghilangkan unsure-unsur<br />atau selipan-selipan dari Ibnu Rusyd. Upaya Thomas Aquinas yang berhasil ini<br />sehingga menerbitkan buku yang berjudul Summa Theologie, yang merupakan bukti<br />kemenangan ajaran Aris Toteles deselaraskan dengan ajaran Kristen.<br />Masa Scholastik Akhir (1300 – 1450 M)<br />Masa ini ditandai denga kemalasan berfikir filsafat, sehingga menjadi stagnasi<br />pemikiran filsafat Scholasti Kristen, Nicolous Cusanus (1401-1404 M) adalah tokoh<br />yang terkenal pada masa ini, dan sebagai tokoh pemikir yang terakhir pada masa<br />Scholastik. Menurut pendaptnya terdapat tiga cara untuk mengenal, yaitu lewat<br />indera, dan kedua lewat akal, dan ketiga lewat intuisi. Dengan indera manusia<br />mendapatkan pengetahuan tentang benda-benda yang berjasad (sifatnya tidak<br />sempurna). Dengan akal manusia bisa mendapatkan bentuk yang abstrak yang telah<br />ditangkap oleh indera. Dan yang ketiga intuisi, dalam intuisi manusia akan<br />mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi, karena dengan intuisi manusia dapat<br />mempersatukan apa yang oleh akal tidak dapat dipersatukan. Karena keterbatasan<br />akal itu sendiri maka dengan intuisiah diharapkan sampai pada kenyataan, yaitu<br />Tuhan.Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-8550929973958264902010-01-10T08:17:00.000-08:002010-01-10T08:18:41.411-08:00Filsafat IslamPEMBAHASAN<br /><br />A. Definisi dan Ruang Lingkup Filsafat Islam<br />Dari segi bahasa, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari kata Philo yang artinya Cinta, dan Sofia yang artinya kebijaksanaan, atau pengetahuan yang mendalam. Jadi dilihat dari akar katanya, Filsafat mengandung arti ingin tahu dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan.<br />Adapun pengertian filsafat dari segi istilah para ahli, adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal, untuk mengetahui tentang hakikat segala sesuatu yang ada, seperti hakikat alam, hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat ilmu, hakikat pendidikan dan seterusnya. Dengan demikian muncullah apa yang disebut dengan filsafat alam, filsafat manusia, filsafat ilmu dan lain sebagainya…<br />Dalam hal ini perlu juga dijelaskan tentang ciri-ciri berpikir yang philosophis. Yaitu :<br />Pertama harus bersifat sistematis. Maksudnya bahwa pemikiran tersebut harus lurus, tidak melompat-lompat sehingga kesimpulan yang dihasilkan oleh pemikiran tersebut benar-benar dapat dimengerti.<br />Kedua harus bersifat radikal , maksudnya harus sampai ke akar-akarnya, sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk dipikirkan.<br />Ketiga harus bersifat universal, yaitu menyeluruh, melihat hakikat sesuatu dari hubungannya dengan yang lain, dan tidak dibatasi untuk kurun waktu tertentu.<br />Adapun pengertian Islam, dari segi bahasa dapat diartikan selamat sentosa, berserah diri, patuh, tunduk dan taat. Seseorang yang bersikap demikian disebut muslim, yaitu orang yang telah menyatakan dirinya ta’at, menyerahkan diri, patuh, dan tunduk kepada Allah SWT.<br />Selanjutnya pengertian Islam dari segi istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Ajaran-ajaran Islam tersebut selanjutnya terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah.<br />Dari pengertian filsafat dan Islam sebagaimana diuraikan diatas, kita dapat berkata bahwa filsafat Islam, adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hakikat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya Filsafat Islam itu dalah Filsafat yang berorientasi pada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah.<br />Jadi ciri utama kegiatan Filsafat Islam adalah berpikir tentang segala sesuatu sejalan dengan semangat Islam. Dengan berfilsafat, seseorang akan memiliki wawasan yang luas tentang segala sesuatu, dapat berpikir teratur, tidak cepat puas dalam penemuan sesuatu, selalu bertanya dan bertanya, saling menghargai pendapat orang lain.<br /> Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Sedangkan menurut Ahmad Fu¡¦ad al-Ahwani filsafat Islam ialah pembahasan tentang alam dan manusia yang disanari ajaran Islam. <br />Sejarah singkat timbulnya Filsafat Islam. Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al ¡Vrasyid, dimulailah penterjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat. <br />Penterjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca alim ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filofof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalam umat Islam. <br />Tujuan dan manfaat mempelajarinya. Tujuan mempelajari filsafat Islam ialah mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Sedangkan manfaat mempelajarinya ialah : <br />1. Dapat menolong dan menididk, menbangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia mahluk Tuhan <br />2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan <br />3. Pengaruh Filsafat Islam terhadap berbagai studi keislaman, khususnya dalam bidang tasawuf, teologi, dan fiqih <br />Tasawuf sebagai suatu ilmu yang mempelajari cara dan bagaimana seorang muslim berada dekat, sedekat mungkin dengan Allah. Tasawuf terbagi dua, yaitu Tasawuf Amali dan Tasawuf Falsafi. Dari pengelompokan tersebut tergambar adanya unsur-unsur kefilsafatan dalam ajaran tasawuf, seperti penggunaan logika dalam menjelaskan maqamat (al-fana, al-baqa, ittihad, hulul, wahdat al- wujud). <br />Setelah abad ke-6 Hijriah terjadi percampuran anatara filsafat dengan ilmu kalam, sehingga ilmu kalam menelan filsafat secara mentah-mentah dan dituangkan dalam berbagai bukti dengan mana Ilmu Tauhid. Yaitu pembmahasan problema ilmu kalam dengan menekankan penggunanaan semantic (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh para filosof. Kendatipun Ilmu Kalam tetap menjadikan nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil naqli yang tampak pada perbincangan mutakalimin. Atas dasar itulah sejumlah pakar memasukkan Ilmu Kalam dalam lingkup Filsafat Islam. <br />Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur¡¦an yang berkenaan dengan hokum diperlukan ijtihad, yaitu suatu usaha dengan mempergunakan akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumbernya. Syaikh Mustafa ¡¥Abdurrazaq dalam bukunya yang berjudul Tauhid Li Tarikhul Falsafatil Islamiyah (pengantar sejarah Islam) menyatakan, bahwa Ilmu Ushul Fiqh sepenuhnya diciptakan dan diletakkan dasar-dasar oleh Asy-Syafi¡¦ie, tentu akan melihat dengan jelas adanya berbagai gejala pemikiran filsafat. <br />B. Pasang Surut Perkembangan Filsafat Islam<br />1. Perkembangan Awal Filsafat Islam pada Abad Kesembilan<br />Theologi skolastik Kristen awal yang banyak menyerap doktrin-doktrin filsafat dan sains Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada abad ke-2 H/8 M, bercabang dan berkembang menjadi suatu gerakan pemikiran filosofis, ilmiah, cemerlang serta kuat, yang menghasilkan karya-karya orisinal dan bernilai tinggi pada abad ke-3 H/9 M sampai ke-6 H/12 M . Secara intelektual, gerakan falsafah merupakan hasil gerakan penerjemahan yang dilakukan secara massif pada masa Khalifah al-Makmun dengan Baitul Hikmahnya. Ketika itu al-Makmun mempercayakan orang-orang Kristen Nestorian untuk menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Dalam hal ini jasa Hunain binIshak dan putranya tidak dapat dilupakan. <br />Fazlur Rahman, mengatakan bahwa bahan-bahan yang dipakai untuk menyusun sistem filsafat Islam berasal dari Yunani atau yang disimpulkan dari ide-ide Yunani. Karena itu dalam materi ataupun isinya, sifatnya adalah sama sekali Hellenistik. Tetapi konstruksi aktualnya, yakni sistemnya itu sendiri, jelas mengapresiasi doktrin teologis agama Islam .<br />Upaya para filsuf Muslim untuk menciptakan jalinan yang harmonis antara metafisika religius Islam dan metafisika Yunani dengan pendekatan watak Yunani yang rasional menimbulkan respon keras para ulama dan fukaha. Karena dianggap gagal memenuhi tuntutan ortodoksi, filsafat Islam diberangus secara tragis dan tidak diizinkan untuk berkembang. <br />Secara umum diterima dengan suara bulat bahwa Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi sebagai penggagas pertama penulisan kreatif dalam filsafat Islam, dan dianggap sebagai filsuf Arab pertama, baik dalam arti etnik maupun kultural . Ketika Al-Kindi dilahirkan, kota Basrah dan Kufah merupakan pusat kegiatan pendidikan Islam. Ketika itu diskursus filsafat sudah mulai dikaji oleh kaum rasionalis Muslim (Muktazilah). Al-Kindi berperan aktif dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan filosofis Yunani, baik sebagai pelindung penerjemahan yang dilakukan sarjana-sarjana lain, maupun sebagai ahli merevisi dan juru penerang naskah-naskah filsafat. Akan tetapi semua upaya Al-Kindi ini dapat berjalan mulus berkat dukungan langsung dari tiga orang khalifah Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842) dan al-Watsiq (842-847) .<br />Mengikuti Aristoteles, Al-Kindi menganggap bahwa tujuan filsafat ialah menemukan hakekat sejati benda-benda melalui penjelasan-penjelasan kausal. Penjelasan-penjelasan alamiah bertujuan untuk mencari kebenaran tentang alam, sementara “filsafat pertama” atau metafisika, berkenaan dengan bidang yang lebih tinggi dan ilahi.<br />Menurut Al-Kindi Allah adalah satu-satunya pelaku yang sejati (the only true agent), dan kepelakuan (agency) tindakan manusia bersifat sekunder dan metaforis. Seperti beberapa teolog dalam tradisi Kristen, Al-Kindi percaya bahwa hakekat ilahi Allah memustahilkan manusia untuk memahamiNya sepenuhnya. Karena itu pelukisan Al-Kindi tentang Allah pertama-tama dirumuskan dalam istilah-istilah negatif, seperti via negatifa-nya Philo. Akan tetapi dalam banyak hal, kepercayaan religius Al-Kindi disesuaikan dengan ortodoksi, dan ia bersedia mengakui akal budi mempunyai batas-batasnya. Seperti para Stois, ia mempunyai respek yang mendalam terhadap takdir .<br />Pasca Al-Kindi, berkembang paham naturalisme dan tantangan terhadap dogma Islam melalui Ibnu Al-Rawandi dan Al-Razi. Pandangan-pandangan filosofis Al-Rawandi seperti keabadian dunia, keunggulan dualisme (manichaenisme) daripada monotheisme dan kebijaksanaan ilahi yang tidak berguna, menguatkan kesan bahwa pemikir ini pada mulanya adalah teolog Mu’tazilah yang sangat ahli dan dihormati, akan tetapi mengalami problem skeptisisme yang akut .<br />Adapun Abu Bakr Muhammad bin Zakariya al-Razi, menganggap filsafat sebagai keseluruhan jalan hidup, yang mencakup baik pengetahuan dan perilaku. Mengikuti Plato, ia meyakini bahwa akal budi adalah piranti-piranti untuk menentukan kebenaran, dan jika akal budi bertentangan dengan wahyu, wahyu harus ditinggalkan. Dalam pandangannya dunia diciptakan Allah tidak dari ketiadaan, karena materi yang bersifat abadi sudah eksis sebelum adanya penciptaan . <br />2. Perkembangan Neo-Platonisme dalam Filsafat Islam<br />Kecenderungan-kecenderungan Neo-Platonik yang (telah ada secara) implisit dalam sistem filsafat Al-Kindi dan Al-Razi, menjadi sangat dominan da lam tulisan Al-Farabi dan Ibnu Sina, dua orang filsuf Muslim pertama yang membangun sebuah sistem metafisika besar dan sangat kompleks . Abu Nashr Al-Farabi (870-950) dikenal sebagai guru kedua dan otoritas terbesar sesudah Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin “harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”, dan dia memulai wacananya dengan gagasan Plato tentang perlunya menempatkan harmonisasi seperti itu pada landasan filsafat yang paling dasar . Sumbangan filosofisnya yang asli, misalnya berkenaan dengan pendapat-pendapat Aristoteles tentang “esensi” dan “eksistensi”, dimana Al-Farabi membedakan antara esensi (struktur fundamental) pengada yang niscaya (yang wajib ada) dengan pengada yang kontingen (yang bergantung pada sebab-sebab dan dapat menjadi hal lain). Al-Farabi mengadopsi pandangan Neo-Platonisme tentang penciptaan. Ia percaya bahwa semua penciptaan ber-emanasi dari Allah, Sang penyebab pertama, dan bahwa pikiran manusia dapat mengetahui penciptaan ini melalui penerangan yang diberikan oleh intelegensi yang lebih tinggi dan eksternal . <br />Sedangkan Ibnu Sina (980-1037) adalah filsuf Muslim ternama yang menjadi tokoh sentral filsafat paripatetik. Ia merupakan ilmuan-filsuf yang amat produktif menerbitkan karya karya-karya ilmiahnya yang hingga kini masih terus dipelajari oleh para sarjana Barat maupun Muslim. William Chittick menyebutnya sebagai kutub intelektual dunia Islam .<br />Mengikuti konsep Neo-Platonisme, Ibnu Sina berargumen bahwa Allah menciptakan dunia melalui emanasi. Dia percaya bahwa Allah adalah pikiran murni dan ciptaan dihasilkan dari pemikiran Tuhan (sebagai aktifitas fundamentalNya).<br />Walaupun demikian, Ibnu Sina meninggalkan ciri-ciri tertentu pandangan Neo-Platonisme, misalnya ia tidak menganggap materi sebagai fondasi abadi benda-benda, sejalan dengan pemahaman Aristoteles . Dalam perkembangan filsafat Islam; Ibnu Sina juga adalah perintis pemikiran iluminasi melalui karya terakhirnya seperti Isyarat Wa Tanbihat dan Mantiq Al-Masyriqiyyin (logika Timur) yang satu abad kemudian dirumuskan oleh Suhrawardi (w. 1191) dalam sistem filsafat iluminasi (Isyraqiyyah).<br />3. Filsafat Islam Versus Ortodoksi Sunni dan Fenomena Al-Ghazali.<br />Sebelum memasuki periode benturan dengan ortodoksi, filsafat Islam juga memasuki kecenderungan Neo-Pythagoreanisme yang tegas, gerakan ini dipelopori oleh Ikhwan al-Shafa. Tiga rangkaian plotinian tentang Tuhan, jiwa dan materi tempat mereka membangun dunia sesuai dengan rangkaian numerikal yang menjadi sumber bilangan.<br />Meskipun mereka menghargai Pythagoras, “sang bijaksawanan” yang tiada henti-hentinya mereka puji dan kaji, tetapi Ikhwan mengumpulkan sedikit demi sedikit dari setiap sudut yang mungkin. Karena motto mereka untuk tidak meninggalkan sumber pengetahuan manapun, dan untuk meliput aspek positif semua kepercayaan dalam ajaran mereka. <br />Selain itu, sebelum terjadi benturan ada beberapa tokoh yang menyebarluaskan budaya filosofis pada medio abad kesepuluh, seperti Abu Hayyan al-Tauhidi, Miskawayh dan Yahya bin Adi . <br />Persentuhan antara tradisi Hellenistik dengan dogma mulai terjadi sejak abad kedelapan, dimana teologi skolastik (kalam) mulai menemukan bentuknya, namun interaksi filsafat dengan dogma menghasilkan perpecahan bertahap antara keduanya. Perbenturan awal terjadi pada peristiwa “mihnah” (inquisition) pada periode Al-Ma’mun yang berupaya mempropagandakan doktrin Mu’tazilah, dan kemenangan partai Hambali dan tradisionalis (ahl al-Sunnah) pada era Mutawakkil. Munculnya pembaharuan teologi skolastik yang dipelopori Al-Asy’ari, Al-Baqillani dan Al-Juwayni membawa angin segar baru dalam pemikiran Kalam, yang kemudian konsepsi teologis Asy’ariah menjadi sangat dominan, sehingga terbentuklah ortodoksi Sunni. Perbenturan filsafat Islam yang Neo-Platonik dengan ortodoksi Sunni terjadi secara sistematik pada buku Tahafut al-Falasifah karya Al-Ghazali. Buku tersebut mengelaborasi dua puluh proposisi, dimana enambelas proposisi (pernyataan) metafisik dan empat proposisi fisika yang mempunyai kaitan erat dengan agama dan terhadap mana Mukmin yang lengah harus diperingatkan. Dari proposisi-proposisi ini, ada tiga yang terutama sekali menjijikkan dilihat dari sudut pandang agama, dan karena itu orang-orang yang membenarkannya harus dinyatakan murtad. Ketiga proposisi tersebut adalah, keabadian dunia melalui doktrin emanasi, pengetahuan Tuhan yang terbatas pada hal-hal yang universal dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani di akherat . Tujuhbelas proposisi lainnya menurut hemat Al-Ghazali tidak dikategorikan sebagai kufur (kufr) melainkan bid’ah.<br />Menurut Amin Abdullah, perselisihan Al-Ghazali dengan falasifah disebabkan argumen-argumen partikular filsuf Muslim Neo-Platonik secara logis salah dan aneka posisi yang mereka pegang dalam sistem keseluruhan tidak konsisten satu sama lain. Akan tetapi yang terpenting, karena sejumlah asumsi dasar mereka tidak ditemukan. Asumsi-asumsi tersebut, yang dibuktikan Al-Ghazali dengan sangat kuat, tidak dapat di demonstrasikan secara logis dan tidak terbukti sendiri (self evident) melalui “intuisi” . Sedangkan menurut Mehdi Hairi Yazdi, prestasi Al-Ghazali dalam Tahafut sebagian besar bersifat semantik karena dia tergolong filsuf pertama, setidaknya dalam sejarah pemikiran spekulatif Islam, yang membedakan masalah penggunaan sebuah kata dalam makna yang mengacu pada penerapannya dengan penggunaan kata dalam makna yang tidak mengacu pada penerapannya .<br />Walaupun demikian, penulisan kitab Tahafut ini adalah upaya memperkuat upaya penguasa ketika itu, yaitu Nizamul Mulk untuk mempropagandakan ortodoksi Sunni dalam rangka melawan doktrin Syiah Ismailiyah (bathini) dan falasifah yang sudah dicemari paham Neo-Platonisme dan teologi Aristotelian. Oleh karena itu ada kesan oppurtunistik dari kitab Tahafut, karena secara tidak langsung, melalui karya ini prestise Al-Ghazali semakin meningkat di mata penguasa, dan semakin meneguhkan posisi dia saat itu yang kebetulan telah menggantikan posisi Al-Juwayni (gurunya) sebagai guru besar Universitas Nizamiyah. Hal ini dapat terlihat dari pengakuan Al-Ghazali pada kitab Al-Munqidh min Dhalal:<br />“Saya tahu bahwa sekalipun saya kembali ke gelanggang penyebaran ilmu, namun saya tidak kembali (dalam pengertian yang sebenarnya). Karena “kembali” berarti mengulangi apa yang sebelumnya. Dulu, pada saat itu-- menunjuk pada saat berada di Baghdad ketika menulis Tahafut— saya menyebar ilmu pengetahuan yang dapat mendatangkan kedudukan terhormat. Dengan kata dan perbuatan, saya mengharapkan kedudukan terhormat itu. Itulah tujuan dan niat saya” .<br />Sementara itu telah diketahui bahwa Al-Ghazali ketika menulis Tahafut, sesungguhnya sedang dalam fase skeptic ringan (Asy-Syakk al-Khafi), yaitu ketika ia belum mendapat petunjuk akan hakekat kebenaran . Karenanya, kitab Tahafut tidak dapat dijadikan representasi pemikiran Al-Ghazali secara keseluruhan. Selain itu Al-Ghazali sendiri menegaskan dalam buku al-Arbain fi Usul ad-Din, bahwa buku Tahafut diketegorikan sebagai buku yang “terlarang bagi selain yang berkompeten” (al-Madhnun biha ala gayr ahliha) . Celakanya, buku Tahafut ini dijadikan oleh para penganjur ortodoksi Sunni untuk menyerang filsafat dan memproteksi doktrin agama dari pengaruh filsafat. Akibatnya –tanpa pernah disadari Al-Ghazali—buku Tahafut ini telah menidurkan ummat Islam dalam mimpi dogmatik selama berabad-abad. Maka wajar kemudian Al-Ghazali dituduh sebagai biang keladi dari kemunduran ummat Islam, walaupun tuduhan itu tidak sepenuhnya benar.<br />Penerimaan buku Tahafut secara luas di masyarakat merupakan kemenangan telak teologi skolastik Asy’arian terhadap filsafat, dan membuat “falasifa” menjadi tidak populer. Kenyataan ini diikuti dekadensi peradaban Islam, dimana kaum Muslim tenggelam dalam kecenderungan mistik (tasawuf) yang berimplikasi pada berkembangnya paham fatalisme yang berlebihan, sehingga semakin menambah panjang “tidur dogmatik” kaum Muslim.<br />Meskipun demikian, filsafat Islam tidak pernah benar-benar habis dari wajah sisa-sisa peradaban Islam. Spekulasi filosofis kembali disemaikan di Spanyol Muslim oleh Ibnu Massarah, Al-Majrithi, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufayl dan Ibnu Rusyd . Bahkan Ibnu Rusyd berupaya menyanggah buku Tahafut Al-Ghazali dengan menulis buku Tahafut at-Tahafut.<br />Akan tetapi sudah sangat terlambat, karena ummat Islam terlanjur hanyut dalam mimpi dogmatiknya. Upaya Ibnu Rusyd untuk menghidupkan kembali tradisi Aristotelianisme justru dapat membangunkan Barat dari tidur panjangnya selama berabad-abad (dark ages). Sebagaimana diketahui bahwa gerakan Averroisme telah menjadi cikal bakal kebangkitan intelektual di Barat. Sementara itu dalam lingkungan Syiah, filsafat Islam telah mengkristal menjadi paham iluminasi (isyraqiyyah) yang kompleks, dimana doktrin filsafat Suhrawardian dikawinkan dengan doktrin mistik Ibnu Arabi, dan melahirkan sistem filosofis yang sangat pelik. Sistem filsafat ini kemudian populer dengan istilah irfan (gnosis) atau ilmu hudhuri (knowledge by presence), dan utamanya bermuara pada pemikiran filsafat Shadr Al-Din al-Syirazi (Mulla Shadra).<br />C. Definisi Kebudayaan Islam<br />Kebudayaan merupakan hasil karya cipta, rasa dan karsa seseorang, yang dalam bentuk ungkapan tentang semangat mendalam yang direfleksikan dalam bentuk seni, sastra, religi dan moral.<br />Sedangkan kebudayaan Islam adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia (segala tindakan dan sikap seseorang) untuk merealisasikan pokok ajaran Islam dalam kehidupan, yang diperoleh dan dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi pekerti yang didasari oleh Alquran dan hadits dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan. Kebudayaan islam juga dapat didefinisikan sebagai ungkapan suatu masyarakat terhadap seni, sastra, religi dan moral untuk merealisasikan dan mengkaji lebih dalam tentang pokok-pokok ajaran Islam dalam kehidupan, yang didasari oleh qur’an dan hadits, dengan tujuan untuk mencapai tujuan bersama.<br />Ajaran Islam yang bersumber pada Al Qur’an adalah wahyu Allah yang diperuntukkan bagi umat manusia, sebagai pedoman hidupnya di dunia, agar selamat kehidupan di dunia dan akhiratnya (Al Qur’an: S. Al Baqoroh 2 dan 185). Adapun kebudayaan adalah hasil karya cipta, rasa dan karsa manusia dalam berinteraksi hidup di dunia, yang dalam bentuk ungkapan tentang semangat mendalam yang direfleksikan dalam bentuk seni, sastra, religi dan moral. Oleh sebab itu, kebudayaan merupakan ro’yun yang sangat membutuhkan tuntunan dari Allah SWT yang menciptakan manusia, agar kehidupan manusia itu selaras dan selamat.<br />Adapun yang dimaksud dengan kebudayaan Islam adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia (segala tindakan dan sikap seseorang) untuk merealisasikan pokok ajaran Islam dalam kehidupan, yang diperoleh dan dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi pekerti yang didasari oleh Al Quran dan hadits dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan. Baik secara langsung atau tidak langsung, pada masyarakat Islam yang menjalankan ajaran Islam dengan baik dan benar, akan muncul Kebudayaan Islam. Sebagai contoh misalnya dalam bidang seni seperti munculnya bentuk Kaligrafi dan Qiro’atul Qur’an ( Ayat Qur’annya Wahyu Allah, sedang Kaligrafi dan Qiro’ahnya merupakan seni budaya, kreasi dari manusia ). Selain itu sebagai contoh pula antara lain dalam kehidupan, misalnya membudayaan pengucapan “Assalamu’alaikum” dalam masyarakat, membudayakan Ijab-Qobul atau Pernikahan bagi yang akan hidup berumahtangga, membudayakan etika Islami seperti penghormatan pada kedua orang tua, guru, orang yang lebih tua, adab bermusyawarah, cara makan dan minum, cara berpakaian, hubungan suami-isteri, etika jual-beli, dan masih banyak lagi. Dalam hal Kebudayaan, ajaran Islam dapat beradaptasi secara lentur dan ulet, artinya lentur dapat menyesuaikan dengan budaya lokal yang diperkaya dengan ajaran Islam, sedangkan ulet artinya selektif terhadap budaya lokal yang mengandung larangan dalam Islam (seperti: budaya yang ada kandungannya maksiat, syirik, dan dzolim yang diharamkan dalam Islam) semua itu akan dihindari bila akan bersentuhan dengan budaya Islam.<br />Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Kebudayaan Islam adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang didalamnya mengandung ajaran Islam, dan juga di dalamnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Munculnya budaya Islam merupakan pengejawantahan dari sifat Rahmat lil alamin dari ajaran Islam, yang akan menyejahterakan lahir-batin kehidupan umat manusia.<br />D. Filsuf-Filsuf Islam dan Pemikirannya<br />1. Al Kindi<br />Al Kindi berusaha memadukan anatara filsafat dan agama. Filsafat berdasarkan akal pikiran adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth), al Qur¡¦an yang membawa argument-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan berteologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan Islam mewajibkan mempelajari Teologi. Meskipun pada beberapa hal Al-Kindi sependapat dengan Aristoteles dan Plato, namun dalam hal-hal tertentu Al-Kindi memiliki pandangan tersendiri. Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa waktu dan benda adalah kekal. Dan untuk membuktikan hal tersebut Al-Kindi telah menggunakan pendekatan matematika. <br />Al-Kindi tidak sepaham pula dengan Plato dan Aristoteles yang menyatakan bahwa bentuk merupakan sebab dari wujud, serta pendapat Plato yang menyatakan bahwa cita bersifat membiakkan. Menurut Al-Kindi alam semesta ini merupakan sari dari sesuatu yang wujud (ada). Semesta alam ini merupakan kesatuan dari sesuatu yang berbilang, ia juga bukan merupakan sebab wujud. <br />Bertemunya filsafat dan agama dalam kebenaran deamn kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama (the first Truth) bagi Al kindi ialah Tuhan. <br />Keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga hal yaitu : <br />1. Ilmu agama merupakan bagaian dari filsafat <br />2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan filsafat, saling berkesuaian <br />3. Menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama <br /><br />• Filsafat Metafisika <br />Tuhan dalam filsafat al kindi tidak mempunyai hakiakat dalam arti aniah atau mahaniah. Tidak aniah karena kerena Tuhan tidak termasuk dealam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah pencipta alam. Ia tidak tersususn dari materi dan bentuk, juga tidak mempunya hakiakat dalam bentuk mahaniah, karena Tuhan bukan merupakan gensus dan species. Tuhan hanya satu, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Tuhan adalah unik, Ia semata-mata satu. Hanya Ia lah yang satu dari pada-Nya mengandung arti banyak <br />• Filsafat Jiwa <br />Menurut Al Kindi, roh itu tidak tersususn, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, Ilahiah, terpisah sdan berbeda dari tubuh. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Keadaan badan (jasmanni) mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah (passion). Roh menentang keinginan hawa nafsu dan passion. <br />2. Al Faraby<br />Al Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat fal safah al taufiqhiyah atau wahdah ala falsafah yang bebrkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. <br />• Talfiq <br />Dalam ilmu logika dan fisika Ia dipengaruhi oleh Aristoteles, dalam masal;ah akhlak dan politik ia dipengaruhi oleh Plato, sedangkan dalam persoalan metafisika ia di pengaruhi oleh Plotinus. Al farabi berpandapat bahwa pada hakikatnya filsafat itu adalah satu kesatuan, oleh karena itu para filosof besar harus menyatujui bahwa satu-satunya tujuan adalah mencari kebenaran. <br />• Metafisika <br />Wajib al wujud a dalah tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada.jika wujud ini tidak ada, maka timbul kemustahilan, karena wujud lain untuk adanya tergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Sedangkan mumkin al wujud adalah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Mumkin al wujud tidak akan berubah menjadi actual tanpa adanya wuijud yang menguatkan, dan dan yang menguatkan itu bukan dirinya tetapi wajib al wujud. <br />• Jiwa <br />Pendapat al Farabi tentang jiwa dip[engaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa, tidak berpindah-pindah dari sutau badan ke badan yang lainnya. Jiwa manusia disebut al nafs al nathiqoh, yang bersal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalaq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa dicuiptakan tatkala jasad siap menerimanya. <br />• Politik <br />Pemikiran al Farabi tentang politik yang amat penting ialah tentang politik yang dia tuangkan kedalam dua karyanya, al siyasah al madaniyyah (pemerintahan politik) dan ara¡¦ ala madinah al fadhilah (pendapaf-pendapat tentang Negara utama). Menurut al Farabi yang terpenting dalam Negara adalah pimpanan atau penguasanya, bersama sama bawahannya sebagaimana halnya jantung dan organ tubuh yahng lebih rendah secara berturut-turut. <br />• Moral <br />Al Farabi menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga Negara. Yakni : <br />1. keutamaan teoritis yaitu prinsip-prinsip pengetahuna yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan cara kontemplasi, penelitian,dan melalui belajar dan mengajar. <br />2. keutamaan pemikiran yaitu yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. <br />3. keutamaan akhlak , bertujuan mencari kebaikan <br />4. kautamaan amaliyah, diperoleh dengan dua cara, yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang. <br />• Teori Kenabian <br />Teori kenabian yang di ajukan al Farabidi motifisir pemikiran filosof pada masanya yang mengingkari kesistensi kenabian oleh Ahmad ibn Ishaq al Ruwandi yang berkebangsaan yahudidab Abu baker Muhammad ibn Zakariya al Razi. Menurut mereka para sufi berkemampuan untruk mengadakan komunikasi dengan aql Fa¡¦al. <br />Al-Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second Analysis telah diterjemahkan Al-Farabi kedalam Bahasa Arab. Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun induktif. Disamping itu beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al-Farabi diberi gelar Guru Kedua, sedang gelar guru pertama diberikan kepada Aristoteles. <br />Kontribusi lain dari Al-Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usahanya mengklassifikasi ilmu pengetahuan. Al-Farabi telah memberikan definisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al-Farabi mengklassifikasi ilmu kedalam tujuh cabang yaitu : logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik dan ilmu fiqhi (hukum). <br />Ilmu percakapan dibagi lagi kedalam tujuh bagian yaitu : bahasa, gramatika, sintaksis, syair, menulis dan membaca. Bahasa dalam ilmu percakapan dibagi dalam : ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan yang benar, aturan membaca dengan benar dan aturan mengenai syair yang baik. Ilmu logika dibagi dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori dan diakhiri dengan syair (puisi). <br />Matematika dibagi dalam tujuh bagian yaitu : aritmetika, geometri, astronomi, musik, hizab baqi (arte ponderum) dan mekanika. <br />Metafisika dibagi dalam dua bahasan, bahasan pertama mengenai pengetahuan tentang makhluk dan bahasan kedua mengenai filsafat ilmu.<br />Politik dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika dan politika. Perkataan politieia yang berasal dari bahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi madani, yang berarti sipil dan berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota. Kata ini kemudian sangat populer digunakan untuk menyepadankan istilah masyarakat sipil menjadi masyarakat madani. <br />Ilmu agama dibagi dalam ilmu fiqh dan imu ketuhanan/kalam (teologi).<br />Buku Al-Farabi mengenai pembagian ilmu ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin untuk konsumsi Bangsa Eropah dengan judul ada Divisione Philosophae. Karya lainnya yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin berjudul ada Scientiis atau ada Ortu Scientearum. Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia, optik dan geologi.<br />3. Ibnu Sina<br />• Tentang Wujud <br />Dari Tuhanlah kemajuan yang mesti, mengalir intelegensi pertama sendirian karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu yang dapat mewujud. Tetapi sifat ontelegensi pertama tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan kemungkinannnya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, intelgensi pertama memunculkan dua kewujudan yaitu : <br />a. Intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas. <br />b. Lingkungan pertama dan tertingi berdasarkan segi terendah adanya, kemungkinan alamiyah. Dua proses pamancaran inii berjalan terus sampai kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosuf muslim disebut sebagai malaikat Jibril. <br />• Al Tawfiq (rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat <br />Sebagaimana Al Farabi, Ibn Sina juga mengusahakan pemanduan antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filsof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni malaikat Jibril yang disebut juga sebagai akal kesepuluh atau akal aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya. Bagi nabi, tejadinya hubungan dengan malaikat Jibril melalui akal materiil, yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyyat), sedangkan filosof melalui akal mustafad. <br />• Emanasi <br />Emanasi Ibn Sina menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet, sembilan akal mengurusi sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Berbeda dengan pendahulunya Al Farabi, masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak bisa langsung menggerakan planet yang bersifat materi. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal ke sepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi beserta isinya. <br />• Jiwa <br />Secara garis besar pembahasan Ibn Sina tentang jiwa terbagi sebagai berikut : <br />a. Jiwa tumbuh-tumbuhan, mempunya tiga daya : makan, tumbuh , dan berkembang biak. <br />b. Jiwa binatang, mempunyai dua daya : gerak (al-mutaharrikat) dan menangkap (al-mudriakt). <br />c. Jiwa manusia, mempunyai dua daya : praktis (yang berhubungan dengan badan), teoritis (yang hubungannya dengan hal-hal abstrak) <br />• Kenabian <br />Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina membagi manusia dalam empat kelompok : mereka yang kecakapan teoritisnya sudah mencapai tingkatan penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkan lagi guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang sedemikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam, mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang dan kemampun menimbulkan gejala-gejala aneh di dunia. Kemudian ia mempunyai daya kekuatan intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang mengungguli sesamanya hanya dengan ketajaman daya praktis mereka. <br />• Tasawuf <br />Ibnu Sina memulai tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma¡¦rifat dari akal af¡¦al. Dalam pemahaman Ibn Sina jiwa-jiwa manusia tidak beda dengan lapangan ma¡¦rifahnya dan ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal af¡¦al. <br />Mengenai Tuhan dengan manusia, bertempatnya Tuhan dihati manusia tidak diterima oleh Ibn Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian perhubungan antara manusia dengan Tuhan saja. Karena manusia mendapat sebagian pencaran dari hubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak langsung kaluar dari Allah, tetapi melalui akal af¡¦al. <br />4. AlGhazali<br />• Epistimologi <br />Pada mulanya ia berangggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indra. Tetapi kemudian ternyata bahwa baginya panca indra juga berdusta. Karena tidak percaya pada panca indra, al Ghazali kemudian meletakan kepercayaannya kepada akal. Alasan lain yang membuat al Ghazali terhadap akal goncang, karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang mengunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal. <br />Lalu al Ghazali mancari ilm al yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Tiga bulan kemudian Allah memberikan nur yang disebut juga oleh Al Ghazali sebagai kunci ma¡¦rifat ke dalam hatinya. Dengan demikian bagi Al Ghazali intuisi lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini. <br />• Metafisika <br />Lain halnya dengan lapangan metafisika (ketuhanan) al Ghazali memberikan reaksi keras terhadap neo platonisme Islam, menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filsuf, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Menurut al Ghazali, para pemikir bebas tersebut ingin menanggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemuajan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka. <br />Menurut Al Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat, kalau terjadi tambahan atau pertalian dengan zat, zat Tuhan tetap dalam keadaannya. <br />Al Ghazali membagi manusia kepada tiga golongan, yaitu : <br />a. kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali. <br />b. kaum pilihan, yang akalnya tajam dan berfikirnya secara mendalam. <br />c. kaum penengkar. <br />• Moral <br />Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari ahklak, yaitu <br />a. Mempelajari akhlak sebagai studi murni teoritis. <br />b. Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan prilaku sehari-hari. <br />c. Karena akhlak merupakan subjek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral. <br />Kebahagiaan di surga ada dua tingkat, yang rendah dan yang tinggi. Yang rendah terdiri dari kesengan indrawi seperti makan dan minum, sedangkan yang tertingi ialah berada dekat dengan Allah dan menatap wajah-Nya yang Agung senantiasa. <br />• Jiwa <br />Jiwa berada di alam spiritual, sedangkan jasad di alam materi. Setelah kematian jasad musnah tapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya. Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adala setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bentuannya jiwa bisa mendapatkan bekal hidup kekalnya. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat baginya untuk utnuk mencari bekal dan kesempurnaan, karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia haus dirawat baik-baik. Menurut al Ghazali setiap perbuatan akal menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualiatas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan dengan sadar. <br />5. Ibnu Thufail<br />• Filsafat dan Agama <br />Menurutnya filsafat dan agama adalah selaras, bukan merupakan gambaran dari hakikat yang satu. Yang dimaksud agama disini adalah batin dan syari¡¦at. Ia juga menyadari adanya perbedaan tingkat pemahaman pada manusia. Ia menganggap tidak semua orang dapat mencapai kepada wajib al wujud dengan jalan berfilsafat seperti yang ditempuh oleh hayy. ¡¥Asal¡¦ ¡¥salaman¡¦ dan masyarakat awam tidak mungkin mengetahui al haqq, karena keterbatasan akalnya. <br />• Metafisika <br />Bagi Ibn Thufail, dalil adanya Allah adalah gerak alam. Sesuatu yang bergerak tidak mungkin terjadi sendiri tanpa ada yang penggerak di luar alam, dan berbeda dengan yang digerakkan. Penggerak itu adalah Allah. <br />Ibn Thufail membagi sifat Allah kepada dua macam : <br />a. sifat yang menetapkam wujud zat Allah, seperti ilmu, qudrat dan sifat-sifat ini adalah zat-Nya sendiri. <br />b. Sifat yang menfikan hal kebendaan dari zat Allah, sehingga Allah maha suci dari ikatan hal kebendaan. <br />• Epistimologi <br />Ibn Thufail menunjukkan jalan untuk sampai kepada objek pengetahuan yang maha tingi atau Tuhan. Jalan pertama melalui wahyu, dan jalan kedua adalah melalui filsafat. Ma¡¦rifat melalui akal ditempuh dengan jalam keterbukaan, mengamati, meneliti, mancari, mencoba, membandingkan, klasifikasi, generalisasi dan menyimpulkan. Jadi ma¡¦rifah adalah sesuatu yang dilatih mulai dari yang kongkrit berlanjut kepada yang abstrak. Dan khusus menuju global. Seterusnya dilanjutkan dengan perenungan yang terus menerus. Ma¡¦rifah melalui agama terjadi lewat pemahaman wahyu dan memahami segi batinnya dzauq. Hasilnya hanya bisa dirasakan, sulit untuk dikatakan. Tidak heran kalau muncul syatahat dari mulut seorang sufi. Jadi proses yang dilalui ma¡¦rifat semacam ini tidak mengikuti deduksi atau induksi, tetapi bersifat intuitif lewat cahaya suci. <br />• Jiwa <br />Ada tiga kategori jiwa, yaitu : <br />a. jiwa fadhilah, yakni kekal dalam kebahagiaan karena menganal Tuhan dan terus mengerahkan perhatian dan renungan kepadanya. kelak jiwa ini akan di tempakan di sorga. <br />b. Jiwa fasiqah, yakni jiwa yang kekal dalam kesengsaraan dan tempatnya dineraka. Karena pada mulanya jiwa ini telah menganal Allah, tetapi kemudian melupakannya dengan melakukan berbagai maksiat. <br />c. Jiwa jahiliyyah, yakkni jiwa yang musnah karena tidak pernah menganal Allah sama sekali, jiwa ini sama halnya dengan hewan melata. <br />Ibn Thufail menawarkan tiga jenis amaliyah yang harus diterapkan dalam hidup : <br />„« amaliyah yang menyerupai hewan (amaliyah yang dibutuhkan dan juga dapat menjadi penghalang untuk meningkatkan amaliyah berikutnya yang lebih tinggi). <br />„« Amaliyah yang menyerupai benda angkasa, yakni melakukan hubungan baik dengan dibawahnya, dengan dirinya, dengan Tuhannya. <br />„« Amaliyah yang menyerupai al wajib al wujud, amaliyah ini akan mampu mengantar kepada kebahagiaan abadi sebagai sarana akhir dari prinsip moral. <br />6. Ibn Rusyd <br />Aliran filsafat Ibn Rusyd adalah rasional. Ia menjunjung tinggi akal fikiran dan menghargai peranan akal, karena dengan akal fikiran itulah manusia dapat menafsirkan alam maujud. Akal fikiran bekerja atas dasar pengertian umum (ma¡¦ani kulliyah) yang didalamnya tercakup semua hal ihwal yang bersifat partial (juz¡¦iyah). Ia menjelaskan bahwa kuliyyat adalah gambaran akal, tidak berwujud kenyataan diluar akal. <br />• Metode-metode pembuktian kebenaran <br />Metode-metode yang dapat dilakukan manusia untuk membuktikan kebenaran ada tiga macam : <br />a. Metode Demonstrasi (al burhaniah) <br />b. Metode Dialektik (al Jadaliyyah) <br />c. Metode Retorika (al khatabiyyah) <br />• Metafisika <br />Dalam masalah ketuhanan ia berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama (muharik al awal). Sifat positif kepada Allah adalad akal dan ma¡¦qul. Wujud Allah aialah esa-Nya. Wujud dan keesaannya tidak berbeda dari zat-Nya. Sebagai orang berfikir rasional, ibn Rusyd menafsirkan agama pun dengan penafsiran rasional. Namun ia tetap berpegang kepada sumber agama, yakni al Qur¡¦an. Dalam mengenal sang pencipta tidak mungkin berhasil kecuali dengan melakukan pengamatan terhadap wujud yang diciptakan Allah. <br />• Kenabian <br />Ibn Rusyd tdak mengatakan bahwa nabi Muhammad saw tidak mengaku dirinya adalah nabi dengan mengemukakan hal-hal yang menyimpang dari hukum alam (mukjizt) sebagai tantang terhadap lawan-lawannya. Maka Al Qur¡¦an merupakan mukjizat terbesar, karena syari¡¦at yang dimuatnya berupa kepercayaan dan amalan yang tidak mungkin bisa dicari dan pelajari kecuali dengan wahyu. <br />Ibn Rusyd mengadakan pemisahan anatara dua macam mukjizat. Pertama, mukjizat Iuaran (al barrani), yaitu yang tidak sesuai dengan sifat yang karenannya seorang nabi . kedua, mukjizat yang sesuai dengan (al-munasib) sifat kenabian tersebut, yaitu syari¡¦at yang yang dibawanya untuk kebahagiaan umat. <br />• Tingkat Kemampuan Manusia <br />Pembenaran atau pembuktian sesuatu memang dipengaruhi oleh kapasitas individual. Diantaranya ada yang melakukan pembuktian (kebenaran) dengan cara burhan (demontrasi), ada juga lewat dialektik (jadali) seteguh ahli burhan melakukan demontrasi karena memang kemampuannya memang hanya sampai disitu, dam ada lagi melalui dalil retorik (khatabi) seteguh ahli burhan melakukan pembuktian dengan dalil-dalil demonstratif. <br />• Alam semesta antara qadim dan hadits <br />Kondisi benda-benda wujud yang tertangkap indra, seperti air, udara, hewan, bumi, dan tumbuh-tumbuhan terbagi beberapa kondisi yaitu : wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya sendiri, tetapi berasal dari sesuatu yang berbeda, yaitu penyebab gerak (sebab fa¡¦il, Officent cause), tercipta dari bahan (materi) tertentu, dan bahwa wujud ini keberadaannya didahului oleh zaman. Tingkat wujud semacam ini telah disepakati oleh semua pihak, baik pengikut Asy¡¦ari maupun para filsuf klasik, untuk menyebutnya sebagai (muhdatsah) tercipta setelah tidak ada. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Hoesin, Oemar Amin. Filsafat Islam<br />M.A., Prof. Dr. H. Sirajudin Zan. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada<br />Wiyastini, Dra. 1984. Unsur-unsur Filsafat Islam. UGM<br />Rahardjo, M. Dawam. Krisis Pradaban Islam<br />Abdurrohim. Pasang Surut Filsafat Islam Dan Benturannya Dengan OrtodoksiAlumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-27614243258953648462010-01-10T08:15:00.000-08:002010-01-10T08:17:37.060-08:00Asy'ariPaham teologi Asy'ari termasuk paham teologi tradisional,<br />yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang<br />menggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang<br />leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Mu'tazilah<br />dan Salafiyah, tetapi "benang merah" sebagai jalan tengah<br />yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak<br />Mu'tazilah, lain kali cenderung ke Salafiyah, dan lain kali<br />lagi, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang<br />bertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu. [1]<br />Untuk meninjau pemikiran-pemikiran al-Asy'ari lebih baik<br />memaparkan lebih dulu sejarah hidupnya meski secara ringkas.<br />Dengan pemaparan ini akan terlihat gambaran latar belakang<br />pemikirannya. Sebab suatu pemikiran merupakan hasil refleksi<br />zaman dan kondisi dari suatu masyarakat. Dan al-Asy'ari juga<br />tidak lepas dari konteks zaman dan maksyarakatnya sendiri.<br />Sebenarnya, nama asli Imam Asy'ari adalah Ali Ibn Ismail [2]<br />-keluarga Abu Musa al-Asy'ari. [3] Panggilan akrabnya Abu<br />al-Hasan [4]. Dia dilahirkan di Bashrah pada 260 H./875 M<br />[5] -saat wafatnya filsuf Arab muslim al-Kindi. [6] Ia wafat<br />di Baghdad pada tahun 324 H./935 M.<br />Abu al-Hasan al-Asy'ari pada mulanya belajar membaca,<br />menulis dan menghafal al-Qur'an dalam asuhan orang tuanya,<br />yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil.<br />Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadits, Fiqh, Tafsir<br />dan bahasa antara lain kepada al-Saji, Abu Khalifah<br />al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya'kub, Abdur Rahman<br />Ibn Khalf dan lain-lain. [7] Demikian juga ia belajar Fiqih<br />Syafi'i kepada seorang faqih: Abu Ishak al-Maruzi (w. 340<br />H./951 M.) -seorang tokoh Mu'tazilah di Bashrah. Sampai umur<br />empat puluh tahun ia selalu bersama ustaz al-Juba'i, serta<br />ikut berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran<br />Mu'tazilah. [9]<br />Pada tahun 300 H./915 M dalam usia 40 tahun, Abu al-Hasan<br />al-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Untuk hal<br />ini terdapat beberapa pendapat mengenai sebab-sebab<br />meninggalkan atau keluar dari Mu'tazilah. Sebab klasik yang<br />biasa disebut perpisahan dia dengan gurunya karena<br />terjadinya dialog antara keduanya tentang salah satu ajaran<br />pokok Mu'tazilah, yaitu masalah "keadilan Tuhan." Mu'tazilah<br />berpendapat, "semua perbuatan Tuhan tidak kosong dari<br />manfaat dan kemashlahatan. Tuhan tidak menghendaki sesuatu,<br />kecuali bermanfaat bagi manusia, bahkan Dia mesti<br />menghendaki yang baik dan terbaik untuk kemashlahatan<br />manusia. Paham ini di sebut al-Shalah wa 'l-Ashlah. [10]<br />Dialog tersebut berlangsung sebagai berikut:<br />Al-Asy'ari (A) - Bagaimana pendapat tuan tentang nasib tiga<br />orang bersaudara setelah wafat; yang tua mati dalam<br />bertaqwa; yang kedua mati kafir; dan yang ketiga mati dalam<br />keadaan masih kecil.<br />Aldubba'i (J) - yang taqwa mendapat terbaik; yang kafir<br />masuk neraka; dan yang kecil selamat dari bahaya neraka.<br />A - Kalau yang kecil ingin mendapatkan tempat yang lebih<br />baik di Sorga, mungkinkah?<br />J - Tidak, karena tempat itu hanya dapat dicapai dengan<br />jalan ibadat dan kepatuhan kepada Tuhan. Adapun anak kecil<br />belum mempunyai ibadat dan kepatuhan kepada-Nya.<br />A- Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukan<br />salahku. Sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan<br />mengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh yang<br />taqwa itu.<br />J - Allah akan menjawab kepada anak kecil itu, Aku tahu,<br />jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat maksiat dan<br />engkau akan mendapat siksa; maka Saya (Allah - Red) matikan<br />engkau adalah untuk kemaslahatanmu.<br />A - Sekiranya saudaranya yang kafir mengatakan, "Ya Tuhanku<br />Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa<br />depannya, mengapa Engkau tidak jaga kepentinganku?<br />Al-Jubba'i menjawab, "Engkau gila, (dalam riwayat lain<br />dikatakan, bahwa Al-Jubba'i hanya terdiam dan tidak<br />menjawab). [11]<br />Dalam percakapan di atas, al-Jubba'i, jagoan Mu'tazilah itu,<br />tampaknya dengan mudah saja dapat ditumbangkan oleh<br />al-Asy'ari. Tetapi dialog ini kelihatannya hanyalah sebuah<br />ilustrasi yang dibuat para pengikut al-Asy'ari sendiri untuk<br />memperlihatkan perbedaan logikanya dengan logika orang-orang<br />Mu'tazilah.<br />Bagi Mu'tazilah, si anak kecil tentu tidak akan mengajukan<br />protes kepada Allah, karena dia sendiri tahu, bahwa sesuai<br />dengan keadilan Tuhan, tempat yang cocok untuknya memang di<br />sana. Kalau Tuhan menempatkan anak kecil sederajat dengan<br />tempat orang yang taqwa, tentu dia sendiri akan merasakan<br />bahwa Tuhan sudah tidak adil lagi terhadap dirinya. Sebab,<br />tempatnya memang bukanlah seharusnya sederajat dengan<br />orang-orang yang taqwa.<br />Di alam akhirat, menurut Mu'tazilah, tidak ada lagi<br />perdebatan tentang keadilan Tuhan. Di sana, manusia sudah<br />mendapati al-Wa'ad wa al-Wa'id. Dia sudah menepati janji.<br />Yang taqwa mendapat sorga, yang kafir mendapat neraka, dan<br />jika di sana terdapat yang meninggal dunia dalam keadaan<br />masih kecil, baik anak-anak orang mukmin atau kafir, maka<br />bagi mereka tidak ada alasan untuk disiksa, karena Tuhan<br />Maha Suci dari penganiayaan. [12]<br />Bagi yang kafir lebih tidak punya alasan lagi. Sebab, Tuhan<br />lebih memperhatikan kemaslahatannya di dunia. Tuhan tidak<br />menghendaki kekafirannya. Berarti, jika ia kafir sama<br />artinya dengan kehendak diri sendiri. Sementara, dia sendiri<br />sudah tahu akibat kekafirannya, karena ia diberi akal dan<br />petunjuk. [13] Jadi, kalau yang kafir harus menyalahkan<br />Tuhan atas kehendak dan perbuatannya sendiri, maka ia<br />dianggap oleh Memorandum suatu pemikiran yang tidak<br />rasional.<br />Sebab lain yang biasa disebutkan adalah meninggalkan<br />ajaran-ajaran Mu'tazilah karena pernah bermimpi melihat<br />Rasulullah saw sebanyak tiga kali. Mimpi itu terjadi pada<br />bulan Ramadhan. Mimpi pertama terjadi pada tanggal 10; mimpi<br />kedua pada tanggal duapuluh, dan mimpi ketiga pada tanggal<br />tigapuluh. [14] Dalam mimpi yang terjadi pada bulan Ramadlan<br />itu Rasulullah menyampaikan bahwa madzhab ahli haditslah<br />yang benar, karena itulah madzhabnya yang berasal dari saya.<br />[15]<br />Diriwayatkan bahwa al-Asy'ari sebelum mengambil keputusan<br />untuk keluar dari Mu'tazilah, ia mengisolir diri di rumahnya<br />selama limabelas hari. Sesudah itu ia pergi ke mesjid lalu<br />naik mimbar dan menyampaikan:<br />"Saya dulu mengatakan, bahwa al-Qur'an adalah makhluk; Allah<br />swt. tidak dapat dilihat dengan pandangan mata orang mukmin<br />di akhirat dan perbuatan jahat adalah perbuatan saya<br />sendiri. Sekarang saya taubat dari semuanya itu. Saya<br />lemparkan keyakinan-keyakinan lama saya, sebagaimana saya<br />lemparkan baju ini (isyarat pada jubahnya). Dan saya keluar<br />dari kekejian dan skandal Mu'tazilah." [16]<br />Terlepas dari soal sesuai atau tidaknya uraian di atas<br />dengan fakta sejarah; maka dari sisi lain dapat pula kita<br />ungkapkan sebab yang mendorong al-Asy'ari meninggalkan faham<br />Mu'tazilah. Sebab itu ialah rasa skeptis dan<br />ketidakpercayaannya lagi terhadap kemampuan akal,<br />sebagaimana yang pernah pula dialami oleh al-Ghazali di<br />kemudian hari. Pada kedua tokoh ini terdapat suatu indikasi<br />kesamaan yang sangat mirip.<br />Al-Asy'ari, sebagai contoh pendiri aliran, setelah belajar<br />pada Mu'tazilah, kemudian merasa tidak puas, lantas<br />menyerangnya. Demikian juga halnya dengan al-Ghazali,<br />sebagai benteng pertahanan yang kokoh terhadap aliran<br />al-Asy'ari, setelah ia belajar filsafat, kemudian merasa<br />tidak puas, lalu menyerang pula. Al-Asy'ari memakai<br />ungkapan-ungkapan yang pedas sekali dalam menyerang<br />Mu'tazilah, dengan tuduhan sebagai golongan sesat,<br />penyeleweng, dan majusinya umat. Begitu pula al-Ghazali<br />menyerang para filsuf, dengan tuduhan sebagai golongan<br />bid'ah dan kufur. Al-Asy'ari melakukan sanggahan terhadap<br />Mu'tazilah setelah ia mengetahui benar akan aliran<br />Mu'tazilah itu. Setelah itu ia menulis sebuah buku yang<br />bernama Maqalat al-Islamiyyin yang berisikan kepercayaan<br />aliran-aliran. Dan untuk bantahannya ia menulis lagi sebuah<br />buku yang bernama al-Ibanah. Demikian juga halnya dengan<br />al-Ghazali, setelah mengkaji filsafat secara mendalam,<br />kemudian ia tulis pemikiran-pemikiran filsuf itu dalam<br />sebuah buku yang bernama Maqasid al-Falsafah. Setelah itu,<br />baru ia melakukan bantahan-bantahan terhadap para filsuf<br />dengan mengarang sebuah buku yang bernama Tahafut<br />al-Falasifah (kesalahan para filsuf).<br />Sebagaimana diketahui, pemegang janji rasional pada masa<br />al-Asy'ari adalah para tokoh Mu'tazilah, karena itu<br />sanggahannya tertuju langsung pada Mu'tazilah. Sementara<br />para filsuf yang dinilai sebagai pewaris pemikiran rasional<br />Mu'tazilah, maka al-Ghazali sebagai pembela ikhlas terhadap<br />aliran al-Asy'ari harus dengan tegas pula melakukan<br />sanggahan terhadap filsuf.<br />Pemikiran al-Asy'ari yang asli baru dapat diketahui setelah<br />ia menyatakan pemisahan dirinya dari Mu'tazilah dan<br />pengakuannya menganut paham aqidah salafiyah aliran Ahmad<br />bin Hambal. [17] Yaitu keimanan yang tidak didasari<br />penyelaman persoalan gaib yang mendalam. Di sisi lain, ia<br />hanya percaya pada akidah dengan dalil yang ditunjuk oleh<br />nash, dan dipahami secara tekstual sebagaimana yang tertulis<br />dalam Kitab suci dan sunnah Rasul. Fungsi akal hanyalah<br />sebagai saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil al-Qur'an.<br />[18] Jadi akal terletak di belakang nash-nash agama yang<br />tidak boleh berdiri sendiri. Ia bukanlah hakim yang akan<br />mengadili. Spekulasi apapun terhadap segala sesuatu yang<br />sakral dianggap suatu bid'ah. Setiap dogma harus dipercayai<br />tanpa mengajukan pertanyaan bagaimana dan mengapa.<br />Sekarang permasalahannya ialah, sampai seberapa jauh<br />al-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah dan<br />keikhlasannya terhadap ajaran Salafiyah. Untuk mengetahui<br />ajaran-ajaran al-Asy'ari, kita dapat melihat pada<br />kitab-kitab yang ditulisnya, terutama:<br />1.Maqalat al-Islamiyyin, merupakan karangan yang pertama<br />dalam soal-soal kepercayaan Islam. Buku ini menjadi sumber<br />yang penting, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya.<br />Buku ini terdiri -dari tiga bagian:<br />a.Tinjauan tentang golongan-golongan dalam Islam<br />b.Aqidah aliran Ashhab al-Hadits dan Ahl al-Sunnah, dan<br />c.Beberapa persoalan ilmu Kalam.<br />2.Al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah, berisikan uraian tentang<br />kepercayaan Ahl al-Sunnah dan pernyataan penghargaannya<br />terhadap persoalan-persoalan yang banyak dan penting. Dalam<br />buku ini ia menyerang dengan pedas aliran Mu'tazilah.<br />3.Kitab al-Luma' fi al-Radd 'ala ahl al-Zaigh wa al-bida',<br />berisikan sorotan terhadap lawan-lawannya dalam beberapa<br />persoalan ilmu Kalam.<br />Para ahli mempertanyakan tentang perbedaan kandungan yang<br />terdapat pada kedua kitabnya al-Ibanah dan al-Luma'. Yang<br />pertama, peranan naql lebih tinggi ketimbang akal. Dalam<br />arti, Salafiahnya lebih dominan dibandingkan Mu'tazilah.<br />Sedangkan buku kedua (al-Luma'), peranan akal lebih tinggi<br />dalam memahami nash-nash. Di sini terlihat adanya anjuran<br />kembali untuk memahami nash-nash agama dengan metode ilmu<br />kalam. [19]<br />Perbedaan ini bisa terjadi, karena al-Asy'ari pada kitabnya<br />al-Ibanah ditulisnya langsung setelah pernyataannya keluar<br />dari Mu'tazilah. Jadi, secara psikologis, bukunya dalam<br />rangka menonjolkan sikap loyalnya terhadap kaum Salafi,<br />sebagai rekan barunya. Dan sikap kebenciannya terhadap<br />Mu'tazilah karena penilaiannya sebagai musuh yang sedang<br />dihadapinya, meski dulu teman akrabnya. Sebenarnya, ini<br />dapat dipahami. Sebab, seseorang yang selama ini dijadikan<br />teman baik, oleh karena suatu hal berubah menjadi musuh,<br />maka ia akan memperlihatkan sikap bencinya terhadap musuh<br />itu. Dan sebaliknya akan memperlihatkan sikap loyalnya<br />terhadap teman baru. Karena itu, kitab al-Ibanah<br />mencerminkan tingkat kesunyian secara penuh. Sebaliknya,<br />menampakkan sikap bencinya terhadap Mu'tazilah lebih nyata.<br />Karena itu, kitab al-Ibanah menurut para ahli ditulis<br />langsung setelah al-Asy'ari meninggalkan faham Mu'tazilah.<br />III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (2/3)<br />SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH<br />oleh Zainun Kamal<br />Lain halnya dengan kitabnya al-Luma', yang ditulis setelah<br />kitab al-Ibanah. Ia sudah mesti mengambil sikap yang jelas.<br />Maka di sini terlihat kembali kajian keagamaan al-Asy'ari<br />dengan dalil-dalil rasional dan membangun ilmu kalamnya<br />sendiri. Dengan demikian, ketika menulis kitab al-Luma',<br />argumentasi rasional al-Asy'ari menonjol kembali dalam<br />memahami nash-nash agama dan terlihat interpretasi<br />metaforisnya (ta'wil). Kecenderungannya pada metode kaum<br />Mu'tazilah inilah yang menyebabkan kaum Hambali menolak<br />paham teologi al-Asy'ari.<br />Hal itu memperlihatkan gambaran yang agak mirip dengan sikap<br />al-Ghazali yang mencoba menyerang para filsuf, tetapi<br />kenyataannya ia tetap mempergunakan metode falsafah dalam<br />kajian keislaman, khususnya logika Aristoteles. Inilah yang<br />dikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa al-Ghazali telah masuk ke<br />dalam kandang falsafah, kemudian berusaha keluar, dan<br />berputar-putar mencari pintunya, tetapi sudah tidak berdaya<br />lagi untuk keluar.<br />Sebagai penentang Mu'tazilah, sudah barang tentu al-Asy'ari<br />berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan<br />sendiri merupakan pengetahuan ('Ilm). Yang benar, Tuhan itu<br />mengetahui (Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuanNya,<br />bukanlah dengan Zat-Nya. Demikian pula bukan dengan<br />sifat-sifat seperti, sifat hidup, berkuasa, mendengar dan<br />melihat. [20]<br />Disini terlihat, al-Asy'ari menetapkan sifat kepada Tuhan<br />seperti halnya kaum Salafi. Namun cara penafsirannya cukup<br />berbeda. Kaum Salafi hanya menetapkan sifat kepada Allah,<br />sebagaimana teks ayat, tanpa melakukan pembahasan mendalam.<br />Mereka hanya menerima arti dengan jalan kepercayaan, bahwa<br />sifat-sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Begitu<br />hati-hatinya mereka dalam menjaga persamaan Allah dengan<br />makhluk-Nya, sehingga mereka mengatakan, "Siapa yang<br />tergerak tangannya, lalu ketika membaca ayat yang berbunyi<br />"Aku (Allah) ciptakan dengan tangan-Ku," lalu ia langsung<br />mengatakan, wajib dipotong tangannya." [21]<br />Lain halnya dengan al-Asy'ari, baginya arti sifat tidak jauh<br />berbeda dengan pengertian sifat bagi Muitazilah. Bagi<br />al-Asy'ari, sifat berada pada Zat, tetapi sifat bukan Zat,<br />dan bukan pula lain dari Zat. Ungkapan al-Asy'ari yang<br />seperti ini, kata Dr. Ibrahim Madkour, tidak terlepas dari<br />paradoks. [22]<br />Bagi Mu'tazilah, sifat sama dengan Zat. Sifat tidak<br />mempunyai pengertian yang sebenarnya. Jika dikatakan, yang<br />mengetahui ('Alim), maka artinya menetapkan pengetahuan<br />('Ilm) bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah Zat-Nya<br />sendiri. Dalam hal ini, menetapkan sifat hanya sekedar untuk<br />memahami bahwa Allah bukanlah jahil. Seperti juga mengatakan<br />yang berkuasa (qadir) adalah menetapkan kekuasaan (qudrah)<br />bagi Allah. Kekuasaan itu adalah Zat-Nya sendiri. Artinya,<br />menafsirkan kelemahan Allah. [23]<br />Masih berbicara tentang tauhid, pemikiran al-Asy'ari yang<br />lain ialah, bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu,<br />al-Asy'ari membawakan argumen rasio dan nash. Yang tidak<br />dapat dilihat, kata al-Asy'ari, hanyalah yang tak punya<br />wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan<br />oleh karena itu dapat dilihat. [24]<br />Argumen al-Qur'an yang dimajukannya antara lain,<br />"Wajah-wajah yang ketika itu berseri-seri memandang kepada<br />Allah" (QS. al-Qiyamah: 22-23).<br />Menurut al-Asy'ari kata nazirah dalam ayat itu tak bisa<br />berarti memikirkan seperti pendapat Mu'tazilah, karena<br />akhirat bukanlah tempat berfikir; juga tak bisa berarti<br />menunggu, karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yang<br />menunggu adalah manusia. Lagi pula, di sorga tidak ada<br />penungguan, karena menunggu mengandung arti dan membuat<br />kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah mesti<br />berarti melihat dengan mata kepala. [25]<br />Sungguhpun al-Asy'ari berpendapat, bahwa orang-orang mukmin<br />nanti dapat melihat Tuhan di Akhirat dengan mata kepala,<br />namun pemahamannya bukanlah bersifat harfiyah. Tetapi<br />menghendaki suatu penafsiran lagi yaitu, bahwa melihat Tuhan<br />itu tidak mesti mempunyai tempat dan terarah pada tujuan,<br />tetapi hanya merupakan suatu penglihatan pengetahuan dan<br />kesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkan<br />bagi kita sekarang, bagaimana bentuk mata itu nantinya. [26]<br />Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapat<br />dilihat nanti di akhirat, maka al-Asy'ari memerlukan pula<br />untuk menafsirkan atau menta'wilkan ayat yang berikut ini:<br />Artinya: "Penglihatan tak dapat menangkap-Nya tetapi ia<br />dapat mengangkat penglihatannya." (al-An'am: 103) Ayat<br />tersebut di atas diartikan oleh al-Asy'ari, bahwa yang<br />dimaksud tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan<br />bukan di akhirat. Dan juga diartikan tidak dapat melihat<br />Tuhan di akhirat bagi orang kafir. [27]<br />Apa yang telah kita ungkapkan di atas, adalah merupakan<br />sebagian dari pemikiran al-Asy'ari tentang tauhid. Sekarang<br />kita berpindah kepada pemikirannya tentang keadilan. Sengaja<br />dirangkaikan keadilan dengan tauhid, karena pembahasan<br />tentang tauhid hanyalah merupakan filsafat ketuhanan semata,<br />sedangkan keadilan adalah merupakan filsafat hubungan khaliq<br />dengan makhluknya.<br />Al-Asy'ari, seperti Mu'tazilah, meyakini bahwa Allah adalah<br />Maha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak bahwa kita<br />mewajibkan sesuatu kepada Allah. Dan juga menolak faham<br />al-Shalah wa al-Ashlah Mu'tazilah, artinya, Tuhan wajib<br />mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan<br />manusia. Allah, kata al-Asy'ari, bebas memperbuat apa yang<br />kehendaki-Nya. [28]<br />Al-Asy'ari meninjau keadilan Tuhan dari sudut kekuasaan dan<br />kehendak mutlak Tuhan. Keadilan diartikannya "menempatkan<br />sesuatu pada tempat yang sebenarnya," yaitu seseorang<br />mempunyai kekuasaan mutlak atas harta yang dimilikinya serta<br />mempergunakannya sesuai dengan pengetahuan pemilik. [29]<br />Tidak dapat dikatakan salah, kata al-Asy'ari, kalau Tuhan<br />memasukkan seluruh umat manusia ke dalam sorga, termasuk<br />orang-orang kafir, dan juga tidak dapat dikatakan Tuhan<br />bersifat dzalim, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam<br />neraka. [30] Karena perbuatan salah dan tidak adil menurut<br />pendapatnya adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan<br />karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum,<br />maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.<br />[31]<br />Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak,<br />dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap<br />makhluk-Nya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di hari<br />kiamat, menjatuhkan hukuman bagi orang mukmim, atau<br />memasukkan orang kafir ke dalam sorga, maka Tuhan tidaklah<br />berbuat salah dan dzalim. Tuhan masih tetap bersifat adil.<br />[32] Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan<br />hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan.<br />Paham keadilan al-Asy'ari ini mirip dengan paham sebagian<br />umat yang merestui seorang raja yang absolut diktator. Sang<br />raja yang absolut diktator itu, memiliki hal penuh untuk<br />membunuh atau menghidupkan rakyatnya. Kemudian digambarkan,<br />bahwa sang raja itu diatas dari undang-undang dan hukum,<br />dalam arti, dia tidak perlu patuh dan tunduk kepada<br />undang-undang dan hukum. Karena undang-undang dan hukum itu<br />adalah bikinannya sendiri.<br />Dari asumsi itu, kemudian al-Asy'ari menganalogikan bahwa<br />Allah adalah memiliki kemerdekaan mutlak. Dia memperbuat<br />sekehendak-Nya terhadap milik-Nya. Maka tidak seorangpun<br />yang dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah mengenai<br />kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ini, maupun di<br />akhirat. [33] Kalau Allah menganiaya seluruh umat manusia,<br />baik di dunia atau di akhirat, maka tidak seorangpun yang<br />akan sanggup mempersalahkan dan menuntut-Nya. Persis seperti<br />seorang raja yang absolut diktator, kalau ia menganiaya<br />seluruh rakyatnya, maka tak seorangpun yang sanggup<br />menentangnya. Karena manusia, bagi al-Asy'ari, selalu<br />digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya<br />dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan<br />absolut mutlak. [34] Karena manusia dipandang lemah, maka<br />paham al-Asy'ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham<br />Jabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will).<br />Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak<br />dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan<br />dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asyari memakai<br />istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-Kasb dapat<br />diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia<br />dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang<br />faham kasb ini, al-Asy'ari memberi penjelasan yang sulit<br />ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia<br />dalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkap<br />bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi,<br />dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif<br />dalam perbuatannya. [35] Kasb, kata al-Asy'ari, adalah<br />sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muhtasib) dengan<br />perantaraan daya yang diciptakan. [36]<br />Melihat kepada pengertian, "sesuatu yang timbul dari yang<br />berbuat" mengandung atas perbuatannya. Tetapi keterangan<br />bahwa "kasb itu adalah ciptaan Tuhan" menghilangkan arti<br />keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif<br />dalam perbuatan-perbuatannya.<br />Argumen yang dimajukan oleh al-Asy'ari tentang diciptakannya<br />kasb oleh Tuhan adalah ayat:<br />"Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu." (QS.<br />al-Shaffat 37:96)<br />Jadi dalam paham al-Asy'ari, perbuatan-perbuatan manusia<br />adalah diciptakan Tuhan. [37] Dan tidak ada pembuat (agent)<br />bagi kasb kecuali Allah. [38] Dengan perkataan lain, yang<br />mewujudkan kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy'ari,<br />sebenarnya adalah Tuhan sendiri.<br />Bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan,<br />dapat dilihat dari pendapat al-Asy'ari tentang kehendak dan<br />daya yang menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy'ari<br />menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin<br />dikehendaki. Tidak satupun didalam ini terwujud lepas dari<br />kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki<br />sesuatu, ia pasti ada, dan jika Tuhan tidak menghendakinya<br />niscaya ia tiada. [39] Firman Tuhan:<br />"Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki" (QS.<br />al-Insan 76:30).<br />Ayat ini diartikan oleh al-Asy'ari bahwa manusia tak bisa<br />menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia<br />supaya menghendaki sesuatu itu. [40] Ini mengandung arti<br />bahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan,<br />dan kehendak yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidak<br />lain dari kehendak Tuhan.<br />Dalam teori kasb, untuk terwujudnya suatu perbuatan dalam<br />perbuatan manusia, terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan<br />Tuhan dan perbuatah manusia. Perbuatan Tuhan adalah hakiki<br />dan perbuatan manusia adalah majazi (sebagai lambang).<br />Al-Baghdadi mencoba menjelaskan kepada kita sebagai berikut.<br />Tuhan dan manusia dalam suatu perbuatan adalah seperti dua<br />orang yang mengangkat batu b esar ; yang seorang mampu<br />mengangkatnya sendirian, sedangkan yang seorang lagi tidak<br />mampu. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu<br />besar itu, maka terangkatnya batu itu adalah oleh yang kuat<br />tadi, namun tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu<br />tidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia.<br />Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantaraannya daya<br />Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat<br />sebagai pembuat. [43]<br />III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (3/3)<br />SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH<br />oleh Zainun Kamal<br />Buat sementara dapat kita simpulkan bahwa dalam paham<br />al-Asy'ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya,<br />daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi daya yang berpengaruh<br />dan efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah<br />daya Tuhan, sedangkan daya manusia tidaklah efektif kalau<br />tidak disokong oleh daya Tuhan.<br />Karena manusia dalam teori kasb al-Asy'ari tidak mempunyai<br />pengaruh efektif dalam perbuatannya, maka banyak para ahli<br />menilai bahwa kasb adalah sebagai jabariyah moderat, bahkan<br />Ibn Hazm (w. 456 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai,<br />sebagai jabariyah murni. [44] Harun Nasution juga<br />berpendapat demikian. Alasannya karena menurut al-Asy'ari<br />kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya<br />Tuhan, dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan dan<br />bukan perbuatan manusia. [46]<br />Ibn Taimiyyah menilai al-Asy'ari telah gagal dengan konsep<br />kasb-nya yang hendak menengahi antara Qaddariyyah dengan<br />Jabbariyah. Sebab, menurut Ibn Taimiyyah, Kasb-nya<br />al-Asy'ari itu telah membawa para pengikutnya berfaham<br />Jabariyah murni, yang mengingkari sama sekali adanya<br />kemampuan pada manusia untuk berbuat. Memang, seperti yang<br />sudah kita uraikan di atas, al-Asy'ari menegaskan bahwa kasb<br />manusia itu tidak mempunyai efek nyata dalam mewujudkan<br />perbuatan manusia itu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah<br />menilai konsep kasb yang ditetapkan al-Asy'ari itu tidak<br />masuk akal. [46]<br />PENGARUH KALAM AL-ASY'ARI<br />Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam faham teologi<br />al-Asy'ari manusia selalu digambarkan sebagai seorang yang<br />lemah, yang tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat<br />berhadapan dengan kekuasaan yang absolut, apalagi berhadapan<br />dengan kekuasaan mutlak Allah.<br />Teologi ini timbul merupakan refleksi dari status sosial dan<br />kultural masyarakat pada masanya, yaitu keadaan masyarakat<br />Islam pada abad ke-9 M. [47] dimana raja-raja selalu<br />berkuasa dengan diktator dan mempunyai hak penuh untuk<br />menghukum siapa saja yang diinginkannya, sang raja tidak<br />perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Sebab<br />undang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri.<br />Karena teologi al-Asy'ari didirikan atas kerangka landasan<br />yang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yang<br />lemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu ia<br />dengan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang<br />bersifat sederhana dalam pemikiran.<br />Kunci keberhasilan teologi al-Asy'ari ialah karena sejak<br />awal berdirinya ia telah berpihak kepada awwamnya - umat<br />Islam, yang jumlahnya selalu mayoritas di dunia Sunni.<br />Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan<br />ajaran-ajaran Mu'tazilah.<br />Sejarah menunjukkan, bahwa aliran al-Asy'ari telah berhasil<br />menarik rakyat banyak di bawah naungannya berkat campur<br />tangan khalifah al-Mutawakkil, ketika yang terakhir ini<br />membatalkan aliran Mu'tazilah sebagai paham resmi pada waktu<br />itu. Kemudian setelah wafatnya al-Asy'ari pada tahun 935M.<br />Ajarannya dikembangkan oleh para pengikutnya, antara lain,<br />al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Akhirnya, aliran<br />itu mengalami kemajuan besar sekali, sehingga mayoritas umat<br />Islam menganutnya sampai detik ini.<br />Salah satu faktor penting bagi tersebarnya teologi<br />al-Asy'ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnya<br />terhadap Dinasti yang berkuasa, sebagai konsekuensi logis<br />dari paham manusia lemah dan patuh kepada penguasa. Dengan<br />demikian, ia sering mendapat dukungan, bahkan menjadi aliran<br />dari Dinasti yang berkuasa. Sungguhpun demikian, paham<br />al-Asy'ari ini juga telah membawa dampak dan pengaruh<br />negatif. Ia telah menghilangkan kesadaran pemikiran<br />rasionalisme di dunia Islam. Hilangnya pemikiran<br />rasionalisme tersebut telah menyebabkan kemunduran umat<br />Islam selama berabad-abad.<br />Karena akal manusia, menurut al-Asy'ari, mempunyai daya yang<br />lemah, akibatnya, menjadikan penganutnya kurang mempunyai<br />ruang gerak, karena terikat tidak saja pada dogma-dogma,<br />tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti dzanni,<br />yaitu ayat-ayat yang sebenarnya boleh mengandung arti lain<br />dari arti letterlek, tetapi mereka artikan secara letterlek.<br />Dengan demikian para penganutnya teologi ini sukar dapat<br />mengikuti dan mentolerir perubahan dan perkembangan yang<br />terjadi dalam masyarakat modern. Selain itu, ia dapat<br />merupakan salah satu dari faktor-faktor yang memperlambat<br />kemajuan dan pembangunan. Bahkan, lebih tegas lagi, Sayeed<br />Ameer Ali mengatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam<br />sekarang ini salah satu sebabnya karena formalisme<br />al-Asy'ari. [49]<br />Paham bahwa semua peristiwa yang terjadi, termasuk perbuatan<br />manusia, adalah atas kehendak Tuhan menghilangkan makna<br />pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, dan<br />lebih dari itu, menjadikan manusia-manusia yang tidak mau<br />bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahannya. Peristiwa<br />terowongan Mina adalah salah satu bukti nyata dari faham<br />Fatalisme. Dengan dalih peristiwa itu terjadi atas kehendak<br />Tuhan semata, sehingga tidak ada yang mau bertanggungjawab<br />atasnya.<br />Paham fatalisme yang berkembang dalam masyarakat, seperti<br />rezeki, jodoh dan maut adalah di tangan Tuhan, menjadikan<br />manusia-manusia yang enggan merubah nasibnya sendiri dan<br />merubah struktur masyarakat. Dan ia selalu mempersalahkan<br />takdir atas kemiskinan, kebodohan dan kematian massal yang<br />terjadi.<br />Untuk menutup tulisan ini, suatu kesimpulan dapat diambil<br />bahwa faham teologi al-Asy'ari mempunyai basis yang kuat<br />pada suatu masyarakat yang bersifat sederhana dalam cara<br />hidup dan berpikir, serta jauh dari pengetahuan. Tetapi<br />teologi ini akan menjadi lemah disaat berhadapan<br />perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru.<br />CATATAN<br />1.Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah II, Mesir,<br />tahun 1976, h. 46<br />2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail<br />Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa<br />al-Asy'ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-lbanah 'an<br />Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir,<br />1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat<br />juga Abu al-Hasan al-Asy'ari, maqalat al-Islamiyyin wa<br />Ikhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir,<br />1969, h. 3<br />3.Abu Musa al-Asy'ari adalah salah seorang sahabat<br />Rasul-Allah saw. dan salah seorang hakim yang mewakili Ali<br />Ibn Abi Thalib waktu terjadinya arbitrase antara Ali dan<br />Muawiyah, lihat Hamudah Guramah, Abu al-Hasan al-Asy'ari,<br />Mesir, 1973 h. 60<br />4.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 10<br />5.Terdapat beberapa variasi pendapat dalam menetapkan tahun<br />lahirnya: 270 H./885 M. Ibn Atsir, dalam al-Lubab I. h. 52<br />270 H./881 M. Al-Makrizi, dalam al-Khutbath III, h. 303<br />(dikutip dari Fanqiyah, Ibid., h. 13 Penulis lebih cenderung<br />menetapkan sejarah lahirnya pada ketika memisahkan diri dari<br />Mu'tazilah adalah pada tahun 300 H. Sedangkan usianya waktu<br />itu sudah umum diketahui empat puluh tahun. (lihat M. Ali<br />Abu Rayyan, Tarikh al-Fikri al-Falsafi Fi al-lslam,<br />Iskandariyah, 1980, h. 310<br />6.Hamuddh, Al-Asy'ari, hal. 60<br />7.Fauqiyah, Al-Ibanah, hal. 29<br />8.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982 h.<br />36<br />9.Louis Gardet & J. Anawati, Falsafat al-Fikrial-Dini Bain<br />al-Islam wa al-Masihiyah I (terj.) Bairut, 1976, h 93<br />10.Zuhdi Jar Allah, Al-Mu'tazilah. Bairut, 1974, h. 102<br />11.Lihat Rayyan, Tarikh, h. 312 Gardet & Anawati, Falsafah,<br />h. 94. Madkour, Fi al-Falsafah, h. 116, Subhi Fi Ilm<br />al-Kalam II, h. 73, Dan Hamudah, al-Asy'ari, h.65<br />12.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982, h.<br />159.<br />13.Bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kehendak dan<br />perbuatannya sendiri menurut pendapat Mu'tazilah, dapat<br />dilihat pada, Mahmud Kasim, Dirasat Fi al-Falsafah<br />al-Islamiyyah, Mesir, 1973 h. 164-165<br />14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31<br />15.Ibid., h. 34<br />16.Ibid., dan lihat juga Subhi, Fi Ilm al-Kalam II,<br />Iskandiyah, h. 41<br />17.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-Ibanah'an Ushul al-Dinayah,<br />Mesir,1397 H. H.8<br />18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35<br />19.Hasan Mahmud al-Asy'ari, dalam, Dirasat Arabiyah wa<br />Islamiyah I, Dar el Ulum, Kairo, 1985, h. 38<br />20.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Kitab al-Luma' Fi al-Rad'ala ahl<br />al-Zaigh wa al-Bida', Kairo, 1965, h. 30<br />21.Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal I, Ed. Abd. Aziz<br />M.M. Wakil, Kairo, 1968, h. 104<br />22.Madkour, Fi al-Fasafah II, h. 50<br />23.Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 51<br />24.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 17. Lihat juga, Al-Syahrastani,<br />Al-Mihal I, h. 100<br />25.Al-Asy'ari, Ibid, h. 13<br />26.Al-Syahrastani, Al-Milal I, h. 100. Lihat juga Madkour,<br />27.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 16<br />28.Al-Sahrastani, Al-Milal I, h. 102, 113<br />29.Ibid., h. 101<br />30.Ibid<br />31.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 71<br />32.Ibid., lihat juga Mahmud Kasim, Dirasat, h. 167<br />33.Mahmud Kasim, h. 168<br />34.Ibid.<br />35.Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah,<br />Kairo, tt., h.205<br />36.Al-Asy'ari, al-Luma', h. 76<br />37.Ibid., h. 70<br />38.Ibid., h. 72<br />39.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 51<br />40.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 57<br />41.Ibid, h. 41<br />42.Abd al-Rahman Badawi, Madzahib al-Islamiyin, Bairut,<br />1971, h. 562<br />43.Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul al Din, Bairut,<br />1981, h. 133-134<br />44.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, h. 205<br />45.Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983 h.<br />112<br />46.Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah II, h. 16-17<br />47.Mahmud Kasim, Dirasat, h. 34Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-16544819659921889112010-01-10T08:10:00.000-08:002010-01-10T08:14:04.594-08:00TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAHDengan mengatakan innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat (amal<br />ditentukan niyatnya), maka sesungguhnya Nabi Muhammad saw<br />sedang berteori bagaimana suatu amal, harus dikritik atau,<br />dalam bahasa manajemennya, dievaluasi. Niat, seperti<br />diketahui, adalah kesadaran tentang tujuan suatu amal<br />dilakukan. Dan amal berdimensi ganda, pertama yang bersifat<br />ke dalam dan personal, dan kedua yang bersifat keluar dan<br />sosial. Tujuan amal yang bersifat "kedalam" landasannya<br />adalah "iman," sedang tujuan yang bersifat "ke luar"<br />landasannya adalah "realitas kehidupan."<br />Syahdan, kritik amal atas dasar niat yang bersifat kedalam<br />sama sekali bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan dan<br />pribadi yang bersangkutan, dan waktunya, menurut agama,<br />bukan di sini, di dunia ini, tapi di sana, di alam akhirat<br />nanti. Yang ada pada wewenang kita, sebagai makhluk sosial,<br />adalah kritik atau evaluasi amal dari sudut niat (tujuan)nya<br />yang bersifat "keluar," yaitu mengapa dan dalam konteks<br />sosial yang bagaimana suatu amal telah dilakukan. Dalam<br />hubungan ini innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat akan berarti,<br />amal itu diikat dan ditentukan oleh konteksnya, oleh<br />realitas kehidupan yang mendorong kehadirannya. Tak ada<br />suatu amal yang muncul begitu saja lepas dari kaitan sebab<br />akibat yang melingkupinya. Dan hanya dalam kaitan sebab<br />akibat itulah suatu amal bisa dinilai, dikritik atau<br />dievaluasi. Dengan menerima dasar penilaian atau kritik yang<br />demikian ini, maka bisa dikemukakan beberapa acuan sebagai<br />berikut.<br />Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal<br />pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah,<br />justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga<br />bersifat relatif dan berubah. Kedua, bobot dan relevansi<br />suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian<br />benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada<br />kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang<br />diresponsnya. Ketiga, karena setiap amal adalah respons<br />terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan<br />relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas<br />realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi<br />realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan<br />relevansi pemikiran yang diresponinya.<br />Sementara itu, realitas yang menjadi pijakan amal pemikiran,<br />dapat kita kelompokkan dalam dua katagori, yaitu realitas<br />teoritik dan realitas empirik. Yang pertama adalah realitas<br />yang terdapat dalam dunia ide yang dipikirkan. Sedang yang<br />kedua adalah realitas yang ada dalam dunia kenyataan yang<br />dirasakan. Memang, keduanya tak harus selalu terpisah; yang<br />satu terhadap yang lain bisa saling pengaruh mempengaruhi.<br />Tapi yang saya maksudkan adalah, sebagian amal pemikiran<br />benar-benar lahir dengan titik tolak keprihatinan pada<br />realitas teoritis (baru kemudian, jika dirasa perlu,<br />bergerak ke realitas empiris), sedang sebagian amal<br />pemikiran yang lain, titik tolaknya adalah keprihatinan<br />terhadap realitas empiris (baru kemudian realitas yang<br />bersifat teoritis).<br />Pemikiran kategori pertama, karena titik tolak<br />keprihatinannya pada realitas abstrak dan umumnya terbatas<br />hanya pada concern kalangan tertentu, maka dampak sosialnya<br />pun cenderung abstrak dan terbatas pada kalangan tertentu<br />saja. Sebaliknya, pemikiran yang lahir dari keprihatinan<br />pada realitas riil yang dirasakan orang banyak, dengan<br />sendirinya, juga akan cenderung pada hal-hal yang konkrit<br />yang bisa mengena pada kepentingan orang banyak.<br />Demikianlah, pemikiran katagori pertama, akan cenderung<br />bercorak elitis, sedang yang kedua akan bercorak populis.<br />PEMIKIRAN TEOLOGI MU'TAZILAH<br />Fakta sejarah, bahwa pemikiran-pemikiran keagamaan (fiqh<br />atau teologi) sebagai amal yang ditawarkan para pemikir<br />Muslim sejak abad pertengahan adalah lahir dari suatu pola<br />keprihatinan yang serupa, yaitu bagaimana ajaran agama bisa<br />dipahami umat secara benar. (Suatu pemikiran yang jelas<br />berangkat dari keprihatinan teoritik). Seperti selalu<br />diulang-ulang para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abad<br />pertama Hijriah, telah terjadi dua perkembangan yang sangat<br />signifikan dalam sejarah umat Islam. Pertama, kenyataan<br />bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh<br />jadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, dimana<br />satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain,<br />tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini<br />yang terjadi dua kali, dikenal dengan sebutan fitnah kubra,<br />"cobaan besar." Perkembangan kedua adalah masuknya bangsa<br />Parsi dan sekitarnya kedalam Islam berikut pemikiran dan<br />keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam<br />benak masing-masing.<br />Dengan kedua perkembangan itulah muncul<br />pertanyaan-pertanyaan teologis. Bagaimana hukumnya orang<br />Islam yang melakukan dosa besar (seperti membunuh sesama<br />Muslim tanpa hak). Siapakah yang sesungguhnya<br />bertanggungjawab atas tindakan manusia: dirinyakah, atau<br />kekuatan-kekuatan itu, dan dalam kontrol siapakah ia.<br />Menurut ajaran Islam, ada dua jenis balasan sejati di<br />akhirat nanti, yaitu balasan sorga dan balasan neraka.<br />Berkaitan dengan tanggungjawab perbuatan manusia tadi,<br />faktor apakah yang memastikan orang memperoleh penyelamatan<br />Tuhan dengan masuk sorga, apakah faktor itu adalah "amal<br />perbuatannya" ataukah "rahmat Tuhan" semata yang diberikan<br />kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pertanyaan ini<br />muncul -besar kemungkinan karena menurut doktrin Kristiani<br />yang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkungan<br />umat Islam- "penyelamatan Tuhan" itu tak ada sangkut pautnya<br />dengan amal perbuatan manusia, tapi semata-mata atas dasar<br />"rahmat" yang disediakan melalui pintu tunggalnya: Yesus.<br />Syahdan, dari keprihatinan atas pertanyaan-pertanyaan inilah<br />para pemikir Islam ketika itu merasa ditantang merumuskan<br />jawabannya yang benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang<br />shahih. Karuan saja, karena ajaran-ajaran Islam itu pun<br />harus diolah terlebih dahulu melalui subyektifitas<br />masing-masing pemikir, maka jawaban pun hadir dalam corak<br />dan pendekatan yang demikian berbeda-beda. Masing-masing<br />jawaban tumbuh sebagai aliran pemikiran yang berdiri<br />sendiri. Tersebutlah, di kemudian hari nama-nama: Khawarij,<br />Murjiah, Mu'tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Asy'ariyah,<br />Maturidiya, Khasywiyah dan sebagainya. Yang menarik adalah<br />bahwa masing-masing aliran ini, karena merasa berpedoman<br />pada pegangan mutlak yang ada di tangan, mengaku sebagai<br />satu-satunya yang benar, yang lainnya adalah salah.<br />Berbicara tentang awal mula sejarah Muitazilah, orang akan<br />selalu merujuk pada episoda diskusi Hasan al-Bashri (w. 110<br />H/ 728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan<br />para muridnya diseputar tema Muslim yes, Muslim no yang baru<br />pada taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya<br />seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah<br />termasuk orang dalam (in group, minna) atau termasuk orang<br />luar (out group, minhum). Maka terhadap pertanyaan yang<br />terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu<br />adalah jawaban-jawaban berikut. Pertama, dengan melakukan<br />dosa besar, seorang Muslim telah terpental dari kelompok<br />(komunitas) alias menjadi "kafir" dan karena itu -sesuai<br />dengan hukum riddah- halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini<br />diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan Khawarij.<br />Jawaban kedua mengatakan bahwa Muslim yang melakukan dosa<br />besar masih tetap tergolong Muslim, dan bagaimana dengan<br />dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di hari akhirat<br />nanti. Jawaban inilah yang agaknya dicondongi mayoritas umat<br />Islam yang disebut sebagai kelompok Murji'ah (artinya:<br />menangguhkan).<br />Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasa<br />harus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderungan<br />umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "di<br />dalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benar<br />jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya<br />yang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasan<br />berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!. Kata<br />i'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yang<br />hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada<br />Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.<br />Tapi kalau pertanyaan tentang "status pendosa besar" ini<br />banyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaan<br />tentang "kebebasan manusia," terasa lebih bersifat murni<br />teologis. Dan sebenarnya pada kisaran inilah Mu'tazilah<br />benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi yang tersendiri<br />diantara aliran-aliran teologi yang lain. Berbeda dengan<br />aliran teologi lainnya, Mu'tazilah secara tegas mengatakan<br />bahwa "manusia sepenuhnya memiliki kebebasannya sendiri<br />bertindak." Baginya, hanya dengan prinsip kebebasan inilah,<br />manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban di<br />kemudian hari. Prinsip "janji dan ancaman" (al-wa'du wa 'l<br />wa'id) yang akan dilaksanakan di hari kemudian tak bisa<br />dipahami tanpa adanya prinsip "kebebasan" tadi. Dan<br />sebaliknya, prinsip kebebasan juga hanya akan berarti kalau<br />ada "janji dan ancaman" yang setimpal di hari kemudian.<br />III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (2/2)<br />oleh Masdar F. Mas'udi<br />Mu'tazilah yakin bahwa pembalasan di akhirat semata-mata<br />ditentukan oleh "amal perbuatan manusia" yang diambilnya<br />sendiri secara bebas merdeka. Sebagai yang Maha adil Tuhan<br />harus membalas keburukan atas setiap tindakan buruk dan<br />harus membalas kebaikan atas semua tindakan yang baik. Dan<br />sebagai yang Maha adil, Dia tak bisa tidak kecuali harus<br />bertindak yang terbaik bagi manusia.<br />Sementara itu, manusia yang bebas dan bertanggungjawab itu,<br />pastilah manusia yang memiliki kemampuan yang memungkinkan<br />dirinya menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.<br />Kemampuan itu menurut keyakinan Mu'tazilah sudah diberikan<br />Tuhan, berupa akal yang lebih dipahami sebagai rasio atau<br />nalar. Dengan nalarnya, manusia tumbuh sebagai makhluk yang<br />mandiri dan tidak lagi tergantung pada pihak lain dalam<br />menentukan jalan hidupnya. Baik atau buruk (al-hasan wa<br />'l-qabh) bukanlah sesuatu yang harus didiktekan siapa pun<br />juga, diluar diri manusia sendiri.<br />Pada poin inilah Mu'tazilah dimasyhurkan sebagai aliran<br />pemikiran yang rasionalistik, yang cenderung mengunggulkan<br />otoritas "akal" (nalar) atas "naqal," suatu pendirian yang<br />oleh mayoritas Muslim dipandang sangat membahayakan keutuhan<br />doktrin. Apakah dengan begitu, Mu'tazilah tak lagi perlu?<br />Tak ada penegasan eksplisit tentang itu. Tapi, dengan<br />tesisnya bahwa al-Qur'an itu makhluk, maka sebenarnya<br />Mu'tazilah sudah berketetapan hati bahwa sebagai sesama<br />makhluk, al-Qur'an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang<br />dapat mendikte manusia.<br />Seperti diketahui, tesis tentang Qur'an tersebut erat<br />kaitannya dengan tesisnya yang lain tentang "Keesaan Tuhan"<br />yang dibangunnya dengan pendekatan murni filosofis. Secara<br />harfiyah prinsip yang tersebut terakhir ini bukan barang<br />baru bagi umat Islam pada jamannya, bahkan juga sebelumnya.<br />Tapi "keesaan Tuhan" dalam teori Mu'tazilah ini menjadi baru<br />karena yang ia maksudkan rupanya adalah pembebasan (tanzih)<br />Tuhan dari seluruh "sifat" bahkan yang secara eksplisit<br />tersebut dalam ajaran-ajaran wahyu (Qur'an). Sifat-sifat<br />atau atribut yang dikenakan kepada Tuhan bukanlah sesuatu<br />yang sebangun dengan hakikat-Nya. Keduanya memiliki<br />perbedaan yang substansial. Yakni, jika hakikat Tuhan itu<br />qadim, maka segala sesuatu selainnya, termasuk sifat-sifat<br />yang dikenakan kepadaNya, adalah hadits. Dengan menarik<br />postulat ini lebih jauh, maka Qur'an sebagai ekspresi salah<br />satu sifat-Nya (al-kalam) yang hadits dengan demikian juga<br />berkapasitas hadits, maka diciptakan (makhluq).<br />TIGA KRITIK<br />Adalah al-Asy'ari (w. 330 H/942 M), menurut catatan sejarah<br />yang pertama kali menyatakan kekecewaannya terhadap konsep<br />teologi Mu'tazilah yang rasionalistik itu. Konon, pada suatu<br />ketika, al-Asy'ari bertanya kepada guru besarnya,<br />al-Jubba'iy, yang adalah teolog Mu'tazilah terkemuka pada<br />zamannya, tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa yang<br />sama-sama masuk sorga karena imannya. Tapi, sesuai dengan<br />keadilan Tuhan dalam persepsi Mu'tazilah, orang yang mati<br />dewasa itu menempati kedudukan lebih tinggi dibanding<br />kedudukan si anak. Mengapa harus begitu? Tanya Asy'ari.<br />Karena yang dewasa telah sempat beramal kebaikan, sedang si<br />anak belum, jawab Jubbaiy. Kenapa harus terjadi si anak<br />tidak diberi usia yang cukup agar ia bisa berbuat kebaikan<br />seperti temannya yang dewasa? Kejar Asy'ari. Tuhan tahu,<br />jika si anak dibiarkan hidup, ia akan tumbuh menjadi manusia<br />durhaka. Sementara Tuhan harus berbuat yang terbaik untuk<br />manusia, kilah Jubbaiy. Kalau begitu, kejar Asy'ari lebih<br />lanjut, bagaimana jika orang-orang yang dijebloskan dalam<br />neraka protes, kenapa mereka tidak dimatikan saja ketika<br />masih muda, hingga tak sempat tumbuh jadi manusia durhaka?<br />Yang menarik dari diskusi ini bukan saja al-Jubbaiy<br />kehabisan akal menjawabnya, tapi seperti halnya Jubbaiy,<br />Asy'ari pun juga menggunakan akal (logika) untuk mendukung<br />argumentasinya. Bedanya adalah bahwa Jubbaiy (Mu'tazilah)<br />dengan logika akalnya bersikeras untuk mendefinisikan Tuhan<br />menurut batas-batas manusia, sedang Asy'ari, juga dengan<br />logika akalnya, justru ingin membebaskan-Nya tetap berada di<br />atas batas-batas manusia tadi.<br />Kalau kritik al-Asy'ari itu adalah juga kritik kita kepada<br />Mu'tazilah, maka kritik kita yang kedua adalah pada klaimnya<br />sebagai telah menemukan kebenaran tunggal yang harus<br />diterima semua pihak. Sesungguhnyalah kritik ini tidak saja<br />mengena pada Mu'tazilah, tapi juga pada semua aliran teologi<br />yang tumbuh pada masa-masa itu karena klaim yang sama. Hanya<br />bedanya, bahwa Mu'tazilah mengaku telah menemukan kebenaran<br />tunggal dan mutlak itu melalui logika akal, sedang<br />lawan-lawannya mengaku menemukan kebenaran mutlak itu<br />melalui huruf-huruf naqal. Yang tersebut terakhir ini dengan<br />sangat militan diwakili oleh golongan Khasywiyah yang<br />mengaku menjadi pengikut Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H/855<br />M).<br />Itulah sebabnya, salah satu ciri yang menonjol dari sejarah<br />pemikiran keagamaan saat itu adalah kesembronoannya yang<br />benar-benar diyakini dalam menuduh orang atau pihak lain<br />sebagai kafir, syirk, murtad dan sejenisnya hanya lantaran<br />pendapat yang berbeda.<br />Untuk kasus Mu'tazilah sikap intoleransi ini ditindak<br />lanjuti dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkarnya yang<br />merisaukan banyak pihak yang menjadi lawan polemiknya.<br />Seperti diketahui, dengan dalih itu, Mu'tazilah telah<br />melancarkan intrik terhadap orang lain untuk menerima<br />doktrin-doktrin teologinya dan menimpakan hukuman atas siapa<br />saja yang mencoba menolaknya. Tragedi teologis ini dikenal<br />dengan mihnah, atau inquition yang dilakukannya dengan<br />dukungan tangan-tangan kekuasaan dan birokrasi pemerintahan<br />yang karena alasan politik tertentu dapat dipengaruhinya.<br />Sementara itu, kritik yang ketiga, karena pada dasarnya<br />Mu'tazilah lahir dari keprihatinan pada realitas teoritis<br />bahkan yang berdimensi metafisik, maka isu-isu yang<br />digelutinya pun hampir tak punya sentuhan yang bermakna bagi<br />umat pada umumnya. (Kritik ini pun mengena pada aliran<br />teologi lainnya, karena dasar keprihatinannya yang serupa).<br />Seperti telah disinggung di atas, salah satu prinsip ajaran<br />yang dipropagandakan Mu'tazilah adalah tentang "keadilan"<br />suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu,<br />terutama jika diingat praktek kesewenang-wenangan yang<br />dilakukan kalangan penguasa. Tapi, lantaran dasar<br />keprihatinannya yang elitis tadi, maka rupanya keadilan yang<br />dimaksudkan adalah keadilan lain (yang bersifat eskatologis)<br />yang berkaitan dengan "peranan" Tuhan di hari kemudian. Dan<br />dalam kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakan<br />umat, kelompok Mu'tazilah ini justru bergandengan-tangan<br />dengan rejim yang berkuasa untuk melakukan tindak<br />sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya.<br />TAWARAN ALTERNATIF<br />Mencoba konsisten dengan kerangka teori "niat" seperti<br />tersebut di atas, maka bagi saya, sistem pemikiran teologis<br />atau apa saja atributnya yang relevan untuk dibangun, adalah<br />yang benar-benar berangkat dari lapisannya paling bawah.<br />(Dari dasar keprihatinannya ini, ia bisa disebut misalnya<br />"teologi populis," atau "teologi kerakyatan"). Sehingga<br />kalau realitas yang menggugah keprihatinannya adalah soal<br />keadilan, maka keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan<br />Tuhan yang harus ditegakkan di "sana," tapi keadilan yang<br />menjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan di "sini."<br />Saya pikir, kalau teologi abad pertengahan (seperti<br />Mu'tazilah maupun lawan-lawannya) yang mengabdi kepada<br />kepentingan doktrin disebut teologi dialektik, maka sebutan<br />yang sama pun bisa juga dikenakan pada teologi yang perlu<br />kita kembangkan ini. Tapi kalau dialektika teologi yang<br />mengabdi doktrin itu berwatak retorik (dialektika yang<br />terjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satu<br />doktrin dengan doktrin yang lain), maka dialektika teologi<br />baru itu bersifat empiris (dialektika yang terjadi dari<br />proses penghadapan kritis antara realitas kehidupan dengan<br />pesan-pesan universal). Dilihat dari sudut muaranya, beda<br />antara teologi dialektika retorik di satu pihak dengan<br />dialektika empiris di lain pihak, adalah yang tersebut<br />pertama muaranya adalah pada terbangunnya kesesuaian<br />realitas pemahaman dengan bunyi doktrin yang statis, sedang<br />yang tersebut terakhir concernnya pada kesesuaian antara<br />realitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis.<br />Yang pertama berwatak formal dengan orientasi pada bentuk<br />dan cenderung tertutup, sedang yang kedua berwatak<br />substansial yang berorientasi pada substansi dan bersifat<br />terbuka. Dengan watak keterbukaannya, teologi dialektika<br />empiris ini akan menerima perbedaan pendapat sebagai<br />realitas kehidupan yang wajar. Justru dengan pendapat yang<br />berbeda-beda itu, maka kemungkinan menemukan pilihan "yang<br />terbaik" menjadi tersedia. Dengan demikian, teologi<br />dialektika empiris ini secara vertikal berwatak populis,<br />sedang secara horizontal berwatak demokratis; dua sisi yang<br />selama ini seperti cenderung terpisah.Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-33220148841384207542010-01-10T08:09:00.000-08:002010-01-10T08:14:25.339-08:00Etika FilsafatPENDAHULUAN<br />Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, karena dia diberi akal. Akal inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya, membedakan manusia dengan binatang. Dengan akalnya manusia berpikir, bahkan sering dijumpai dalam komunikasi sehari-hari muncul istilah “orang itu tidak punya pikiran”, ini sebagai analogi bahwa pikiran sama dengan akal.<br /> Dengan akhirnya mencari tahu. Inilah asal mula pengetahuan, yaitu adanya keingintahuan manusia. Ketika manusia berpikir, dari mana dia ada, untuk apa dia ada, dan kemana setelah tiada? Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab dengan segera dan spontan, tetapi membutuhkan pemikiran secara mendalam, membutuhkan perenenungan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bersifat filsafat. Jawabannya membutuhkan pemikiran filsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam tentang segala sesuatu sejauh akal manusia dapat menjangkaunya.<br /> Pengertian Filsafat<br />Secara etimologis (ilmu asal usul kata) kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philosophia terdiri dari dua kata, yaitu philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta serta sophos yang berarti kearifan atau kebijaksanaan. Dari bahasa Yunani ini melahirkan kata dalam bahasa Inggris philosophy yang diterjemahkan sebagai cinta kearifan/kebijaksanaan. Cinta dapat diartikan sebagai suatu dinamika yang menggerakan subjek untuk bersatu dengan objeknya dalam arti dipengaruhi dan diliputi objeknya. Sedangkan kearifan atau kebijaksanaan dapat diartikan ketepatan bertindak. Dalam bahasa Inggris dapat ditemukan kata policy dan wisdom untuk menyebut kebijaksanaan. Namun yang sering dipergunakan dalam filsafat adalah kata wisdom dan lebih ditujukan pada pengertian keaifan.<br /> <br />PENGERTIAN FILSAFAT DAPAT DIBEDAKAN<br />1. Filsafat sebagai suatu sikap<br />Filsafat merupakan sifat terhadap kehidupan dan alam semesta. Bagaimana manusia yang berfilsafat dalam menyikapi hidupnya dan alam sekitarnya.<br />Contoh: seorang ibu yang tiba-tiba mendapat berita kematian putrinya yang pramugari.<br />Seorang ibu yang mampu berpikir secara mendalam dan menyeluruh dalam menghadapi musibah tersebut akan dapat bersikap dewasa, dapat mengontrol dirinya dan tidak emosional. Sikap kedewasaan secara kefilsafatan adalah sikap yang menyelidiki secara kritis, terbuka dan selalu bersedia meninjau persoalan dari semua sudut pandangan.<br />2. filsafat sebagai suatu metode<br />berfilsafat adalah berpikir secara reflektif, yaitu berpikir dengan memperhatikan unsur di belakang objek yang menjadi pusat pemikirannya.<br />3. filsafat sebagai kumpulan persoalan<br />banyak persoalan-persoalan abadi yang dihadapi oleh para filsuf. Usaha-usaha untuk memecahkannya telah dilakukan, namun ada persoalan-persoalan yang smpai hari ini belum juga terpecahkan.<br />Contoh: persoalan apakah ada ide-ide bawaan?<br />Hal ini telah dijawab oleh John Locke.<br />Contoh: berapa IP (indeks prestasi) yang Anda capai semester ini?<br />Pertanyaan yang demikian dapat langsung dijawab karena bersangkutan dengan fakta. Sedangkan pertanyaan yang berikut:<br />Apakah Tuhan itu ada?<br />Apakah kebenaran itu?<br />Apakah keadilan itu Ada perbedaan antara pertanyaan filsafat dengan pertanyaan bukan filsafat?<br />4. filsafat merupakan system pemikiran<br />Dalam sejarah filsafat telah dirumuskan system-sistem pemikiran dari Socrates, Plato, dan Aristoteles. Dengan demikian tanpa adanya nama-nama pemikir tersebut besert hasil pemikirannya, maka filsafat tidak dapat berkembang seperti sekarang.<br />5. filsafat merupakan analisis logis<br />para tokoh filsafat analitis berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan kekaburan-kekaburan dengan cara menjelaskan arti dari suatu istilah, baik yang dipakai dalam ilmu maupun dalam kehidupan sehari-hari.<br />6. filsafat merupakan suatu usaha untuk memperoleh pandangan secara menyeluruh<br />Filsafat mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai macam ilmu serta pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang menyeluruh.<br /> <br /><br />Hakikat dari sesuatu haruslah mempunyai sifat-sifat berikut:<br />a. umum, artinya dapat diterapkan secara luas.<br />b. Abstrak, artinya tidak dapat ditangkap dengan panca indera, dan hanya dapat ditangkap dengan akal.<br />c. Mutlak harus terdapat pada sesuatu hal, sehingga halnya menjadi ada.<br /> Menurut Descrates ada beberapa tahapan untuk memulai perenungan filsafat, yaitu:<br />a. menyadari adanya masalah<br />apabila seseorang menyadari bahwa ada sesuatu masalah, maka orang tersebut akan mencoba untuk memikirkan penyelesaiannya.<br />b. meragu-ragukan dan menguji secara rasional anggapan-anggapan<br />setelah selesai dirumuskan, mulailah mengkaji pengetahuan yang diperoleh melalui indera san meragukannya.<br />c. memeriksa penyelesaian-penyelesaian yang terdahulu<br />setelah menguji pengetahuan perlu mempertimbangkan penyelesaian-penyelesaian yang telah diajukan mengenai masalah yang bersangkutan.<br />d. mengajukan hipotesis<br />e. menguji konsekuensi-konsekuensi<br />mengadakan verifikasi terhadap hasil-hasil penjabaran yang telah dilakukan.<br />f. menarik kesimpulan<br />kesimpulan yang diperoleh dapat merupakan masalah baru untuk diuji kembali dan seterusnya.<br /> <br /><br />Teori-teori Filsafat<br />Pengertian teori (dari bahasa Inggris theory, bahasa Latin theoria, dan bahasa Yunani theoreo yang berarti melihat atau thorus yang berarti pengamatan) menurut kamus umum bahasa Indonesia (1995;1041) adalah:<br />1. pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian)<br />2. atas dan hokum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan <br />3. pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu<br /> <br />A. THALES (abad ke 6)<br />Menurut Thales arkhe dalam semesta adalah air. Semuanya berasal dari air dan semuanya kembali menjadi air (K. Bertens, 1975:26).<br />Alasan Thales mengemukakan air sebagai zat asali alam semesta, karena bahan makanan semua makhluk memuat zat lembab dan juga benih pada semua makhluk hidup. Teori tentang alam semesta ini barangkali terlalu sederhana, namun pada saat itulah untuk pertama kalinya manusia berpikir tentang alam semesta dengan menggunakan rasio.<br /> <br />B. HERAKLEITOS (abad ke 5 SM)<br />Menurut Herakleitos, perubahan merupakan satu-satunya kemantapan, It rest by changing. (K. Bestens, 1975: 42). Tidak ada sesuatu pun yang betul-betul ada, semuanya menjadi. Menjadi merupakan perubahan yang tiada henti-hentinya melalui 2 cara:<br />1. seluruh kenyataan merupakan arus sungai yang mengalir.<br />2. seluruh kenyataan adalah api.<br />Perkataan yang terkenal dari Herakleitos adalah panta rhei kai uden menei, semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal mantap.<br /> <br />C. PARAMENIDES ((515 SM)<br />Seluruh jalan kebenaran bersandar pada satu keyakinan: yang ada itu ada, itulah kebenaran.<br />Ada dua pengandaian yang dapat membuktikan kebenaran, yaitu:<br />1. orang dapat mengemukakan bahwa yang ada itu tidak ada.<br />2. orang dapat mengatakan bahwa yang serentak ada dan serentak juga tidak ada.<br />Kedua pengertian di atas sama-sama mustahil, yang tidak ada tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibicarakan.<br /> <br />D. SOCRATES<br />Menurut Socrates, manusia merupakan makhluk yang dapat mengenal, yang harus mengatur tingkah lakunya sendiri dan yang hidup dalam masyarakat. Teorinya tentang manusia bertitik tolak dari pengalaman sehari-hari dan dari kehidupan yang konkret.<br />Socrates berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:<br />1. apakah hidup yang baik?<br />2. apakah kebaikan itu, yang mengakibatkan kebahagiaan seorang manusia?<br />3. apakah norma yang mengizinkan kita menetapkan baik buruknya suatu perbuatan?<br />untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Socrates memulai dengan bertanya kepada siapa saja yang ditemuinya. Metode Socrates ini disebut dialektika, dari kata Yunani dialeqesthai berarti bercakap-cakap atau berdialog. Karena tujuan dari dialog adalah untuk menemukan pengertian tentang kebajikan, maka Socrates menamai metodenya dengan maieutika tekhne seni kebidanan).<br /> <br />E. PLATO (428 SM)<br />Dari pengertiannya tentang ide umum dan ide konkret, dapat disimpulkan bahwa menurut Plato realitas sebenarnya terdiri dari dua dunia. Satu dunia mencakup benda-benda jasmani yang dapat ditangkap oleh panca indera. Pada tahap ini semua realitas berada dalam perubahan. Contoh: baju yang sekarang dipakai rapid an bersih, besok sudah lusuh dan kotor. Karena itu ada suatu dunia lain, yaitu dunia ideal, yaitu dunia yang terdiri ide-ide. Dalam dunia ideal ini tidak ada perubahan, dan sifatnya abadi.<br />Plato memandang manusia sebagai makhluk yang terpenting di antara segala makhluk yang terdapat di dunia ini. Jiwa merupakan pusat atau intisari kepribadian manusia, dan jiwa manusia bersifat baka atau kekal.<br /> <br />F. ARISTOTELES (384 SM)<br />Sejak Aristoteles inilah pemikiran-pemikiran filsafat tersusun secara sistematis, yang dikelompokan dalam 8 bagian, yaitu:<br />1. logika<br />2. filsafat alam<br />3. psikologi<br />4. biologi<br />5. metafisiska<br />6. etika<br />7. politik dan ekonomi<br />8. retorika dan paetika<br />teori Aristoteles tentang gerak dapat dipahami melalui contoh berikut ini, yaitu air dingin menjadi panas. Gerak berlangsung antara dua hal yang berlawanan antara panas dan dingin. Namun ada sesuatu hal yang dulunya dingin kemudian menjadi panas. Dengan demikian ada 3 faktor dalam setiap perubahan, yaitu:<br />1. keadaan/cirri yang terdahulu, yaitu dingin<br />2. keadaan/cirri yang baru, yaitu panas<br />3. suatu substratum atau alas yang tetap, yaitu air.<br />Dalam pandangannya tentang penyebab tiap-tiap kejadian, baik kejadian alam maupun kejadian yang disebabkan manusia, Aristoteles menyebut ada 4 penyebab, yaitu:<br />1. penyebab efisien (efficient cause) yaitu sumber kejadian, factor yang menjalankan kejadian. Contoh: tukang kayu yang membuat meja makan.<br />2. penyebab final (final cause). Yaitu tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Contoh: meja makan dibuat untuk makan.<br />3. penyebab material (material cause). Yaitu bahan dari mana benda dibuat. Contoh: meja makan dibuat dari kayu.<br />4. penyebab formal (formal cause). Yaitu bentuk yang menyusun bahan. Contoh: bentuk meja ditambah pada kayu, sehingga kayu menjadi sebuah meja.<br /> <br />G. AL KINDI (796-873 SM)<br />Teorinya tentang pengetahuan terbagi dalam 2 bagian:<br />1. pengetahuan Ilahi (devine science)<br />pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan.<br />2. pengetahuan manusiawi (human scince)<br />pengetahuan yang didasarkan atas pemikiranAlumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-10558135947729006682010-01-10T08:07:00.000-08:002010-01-10T08:14:25.339-08:00Teori - Teori FilsafatTEORI KEBENARAN<br />(THEORY OF TRUTH)<br /><br /><br />PENGANTAR<br /><br />"Gnothi Seauthon..............!" demikianlah Sokrates, seorang filsuf besar Yunani, telah berbicara pada abad-abad sebelum masehi. Kenalilah dirimu sendiri, demikianlah kurang lebih pesan yang ingin ia sampaikan.<br />Manusia adalah mahluk berfikir yang dengan itu menjadikan dirinya ada. Prof. Dr. R.F Beerling, seorang sarjana Belanda mengemukakan teorinya tentang manusia bahwa manusia itu adalah mahluk yang suka bertanya. Dengan berfikir, dengan bertanya, manusia menjelajahi pengembaraannya, mulai dari dirinya sendiri kemudian lingkungannya bahkan kemudian sampai pada hal-hal lain yang menyangkut asal mula atau mungkin akhir dari semua yang dilihatnya. Kesemuanya itu telah menempatkan manusia sebagai mahluk yang sedikit berbeda dengan hewan. Sebagaimana Aristoteles, filsuf yunani yang lain, mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapat, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reason). W.E Hacking, dalam bukunya What is Man, menulis bahwa: "tiada cara penyampaian yang meyakinkan mengenai apa yang difikirkan oleh hewan-hewan, namun agaknya aman untuk mengatakan bahwa manusia jauh lebih berfikir dari hewan manapun. Ia menyelenggarakan buku harian, memakai cermin, menulis sejarah......."<br />William P. Tolley, dalam bukunya Preface To Philosophy A Tex Book, mengemukakan bahwa "our question are endless,......what is a man, what is a nature, what is a justice, what is a god ? Berbeda dengan hewan, manusia sangat concern mengenai asal mulanya, akhirnya, maksud dan tujuannya, makna dan hakikat kenyataan. ....Mungkin saja ia adalah anggota marga satwa, namun ia juga adalah warga dunia idea dan nilai ...."<br /> Dengan menempatkan manusia sebagai hewan yang berfikir, berintelektual dan berbudaya, maka dapat disadari kemudian bila pada kenyataannya manusialah yang memiliki kemampuan untuk menelusuri keadaan dirinya dan lingkungannya. Manusialah yang membiarkan fikirannya mengembara dan akhirnya bertanya. Berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran; mencari jawaban tentang alam dan Tuhan adalah mencari kebenaran tentang alam dan Tuhan. Dari proses tersebut lahirlah pengetahuan, teknologi, kepercayaan (atau mungkin agama ??)<br />Lalu apakah kebenaran itu ? atau apakah atau keadaan yang bagaimanakah yang dapat disebut benar ? Kebenaran acapkali diperdebatkan, namun makna sebenarnya acapkali ditinggal. “Jika anak kecil digigit anjing maka yang benar anak tersebut harus berganti menggigit anjing”, apakah ini juga suatu kebenaran ??<br /><br />TEORI KEBENARAN<br />TEORI KORESPONDENSI TENTANG KEBENARAN<br />Teori yang pertama ialah teori korespondensi [Correspondence Theory of Truth], yang kadang kala disebut The accordance Theory of Truth. <br />"Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya/faktanya" <br />Menurut teori ini dinyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian [correspondence] antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh terjadi merupakan kenyataan atau faktanya.<br />Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.<br />Sebagai contoh dapat dikemukakan : " Semarang adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah sekarang" ini adalah sebuah pernyataan; dan apabila kenyataannya memang Semarang adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, pernyataan itu benar, maka pernyataan itu adalah suatu kebenaran.<br />Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran itu bermula dari ARIESTOTELES, (384-322 S.M.) dan disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut :<br /><br />“VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI”<br />[kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan].<br /><br />Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970). Penganut teori ini adalah mazhab realisme dan materialisme. <br />Kritik: Apabila sudah diketahui kenyataan mengapa perlu dibuat perbandingan, padahal kebenaran sedang dimiliki?<br /><br />TEORI KONSISTENSI/KOHERENSI TENTANG KEBENARAN<br /><br />Teori yang kedua adalah Teori Konsistensi. The Consistence Theory Of Truth, yang sering disebut dengan The coherence Theory Of Truth<br />Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lalu, yakni fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri..<br />Berdasarkan teori ini, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan diakui benarnya terlebih dahulu. Jadi suatu proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu coherent [saling berhubungan] dengan proposisi yang benar, atau jika arti yang terkandung oleh proposisi tersebut koheren dengan pengalaman kita.<br />Contohnya:<br />Bungkarno, adalah ayahanda Megawati Sukarno Puteri, adalah pernyataan yang kita ketahui, kita terima, dan kita anggap benar. Jika terdapat penyataan yang koheren dengan pernyataan tersebut diatas, maka pernyataan ini dapat dinyatakan Benar. Kerena koheren dengan pernyataan yang dahulu: Misalnya. <br />- Bungkarno memiliki anak bernama Megawati Sukarno Putri<br />- Anak-anak Bungkarno ada yang bernama Megawati Sukarno Putri<br />- Megawati Sukarno Putri adalah keturunan Bungkarno<br /><br />Teori ini dianut oleh mazhab idealisme. Penggagas teori ini adalah Plato (427-347 S.M.) dan Aristoteles (384-322 S.M.), selanjutnya dikembangkan oleh Hegel dan F.H. Bradley (1864-1924). Kritik terhadap teori ini adalah “tidak mungkinkah terdapat kumpulan proposisi yang koheren yang semuanya salah”?.<br /><br /><br />TEORI PRAGMATISME TENTANG KEBENARAN<br /><br />Teori ketiga adalah teori pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic [pramatist] theory of truth. Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan. Falsafah ini dikembangan oleh William James di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini dinyatakan, bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat.<br />Dinyatakan sebuah kebenaran jika memilki “hasil yang memuaskan [satisfactory result], bila :<br />Sesuatu yang benar jika memuaskan keinginan dan tujuan manusia<br />Sesuatu yang benar jika dapat diuji benar dengan eksperimen<br />Sesuatu yang benar jika mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada.<br />Kritik: betapa kabur dan samarnya pengertian berguna (usefull) itu.<br /><br /><br /><br />TANGGAPAN<br /><br />Sulit untuk mengatakan apakah ketiga teori tentang kebenaran tersebut diatas adalah bertentangan atau saling melengkapi. Namun yang pasti, seharusnya kebenaran tidaklah menjadi klaim salah satu golongan saja. Sebagaimana Harold H. Titus mengatakan "The way of knowledge may be many rather then one ". Proses berfikir tidak boleh berhenti pada satu hal yang kelihatannya sudah pantas untuk diyakini, karena ketika keyakinan akan suatu obyek mulai tumbuh, maka seiring dengan itu proses berfikir tentang obyek tersebutpun akan berhenti. Keyakinan adalah penjara kebebasan berfikir, dan tulisan inipun dibuat agar pembaca terus berfikir.<br />Marxis, dalam sebuah penjelasannya mengungkapkan "apabila sensasi kita, persepsi kita, konsep dan teori kita bersesuaian dengan realitas obyektif, apabila itu semua mencerminkannya dengan cermat, maka kita katakan semua itu benar; pernyataan, putusan dan teori yang benar kita sebut kebenaran". <br /><br /><br />KESIMPULAN<br /><br />Pendapat siapa yang benar? Pernyataan siapa yang benar? Misal, definisi terorisme dan penerapnnya sangat sarat muatan politis. Kamus dan Ensiklopedi berbahasa Inggris sebagai produk pabrik ilmu pengetahuan Barat dapat dengan mudah mendikte pemikiran para pembaca yang tidak kritis untuk mengambil kesimpulan bahwa serangan militer Israel terhadap rakyat Palestina, misalnya, tidak dapat dikategorikan ke dalam teroris. Definisi itu baru dapat operasional jika didukung oleh kekuasaan. Siapa yang mempunyai pengetahuan akan memegang kekuasaan, siapa yang berkuasa dapat memproduk pengetahuan. “Pengetahuan adalah kekuasaan”, ujar Francis Bacon, bapak ilmu pengetahuan modern.<br />Harus ada kesamaan dalam menilai kebenaran suatu pemikiran. Kriteria kebenaran yang harus disepakati adalah; sebelum melangkah lebih jauh kita artikan dulu apa itu kebenaran. Kebenaran dalah kesesuaian objek dengan realita atau kesesuaian objek dengan pengetahuan parameter kebenaran <br /><br />1. Kebenaran bersifat universal <br />Kebenaran suatu pemikiran harus bernilai universal, artinya berlaku untuk kapanpun dan dimanapun. Jika tidak demikian maka peserta diskusi yang tempat dan waktu mendapatkan pengetahuan baru tersebut berbeda tidak dapat menerima kebenaran tersebut. <br /><br />2. Kebenaran bersifat mutlak <br />Tanpa pandangan tersebut, maka diskusi akan sis-sia. Apapun pengetahuan baru yang ada dalam sebuah diskusi tidak dapat diterima sebagai kebenaran. Sehingga semua perkataan yang dikemukakan dalam sebuah diskusi tidak berbeda dengan kebohongan, ketidakwarasan dan omong kosong. <br /><br />3. Kebenaran bersifat manusiawi <br />Artinya bahwa pengetahuan yang disampaikan secara alamiah dapat diterima atau dimengerti oleh manusia. Tak perlu ada rekayasa seperti melalui bujukan, paksaan atau paksaan. Jika ada rekayasa seperti itu maka perlu dipertanyakan kebenarannya. Kebenaran akan diterima jika hal itu memang sebuah kebenaran, diakui secara lisan atau tidak. <br /><br />4. Kebenaran bersifat argumentatif <br />Dalam sebuah diskusi, pembuktian terhadap kebenaran sebuah pendapat atau pengetahuan baru harus dimiliki. Argumentasi digunakan untuk menjelaskan proses mendapatkan pengetahuan baru tersebut sehingga orang lain dapat menilai kebenarannya dari proses tersebut. <br />Argumentasi adalah proses bergeraknya suatu pengetahuan yang menjadi patokan menuju pengetahuan baru (kesimpulan). Dalam menilai kebenaran dan keabsahan argumentasi, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama adalah kebenaran dari isi pengetahuan yang menjadi pijakan. Kedua adalah keabsahan penyusunan pengetahuan-pengetahuan pijakan menjadi suatu kesimpulan (proses pengambilan kesimpulan). <br /><br />5. Kebenaran bersifat ilmiah <br />Ini dimaksudkan agar kebenaran suatu pengetahuan dapat dibuktikan oleh orang lain bahwa pengetahuan tersebut sesuai dengan kenyataan yang ada. Kebenaran yang tidak dapat dibuktikan oleh orang lain tidak dapat didiskusikan. Artinya bahwa kebenaran tersebut tidak dapat dihukumi untuk orang lain <br /><br /><br />SUMBER RUJUKAN<br /><br />1. www.hindu-brawijaya.net/id/bulletin/artikel/pencariankebenaran.php<br />2. www.zfikri.wordpress.com/2007/09/02/teori-kebenaran/ <br />3. www.filsafat-ilmu.blogspot.com/2008/01/teori-kebenaran.html <br />4. www. blogs.unpad.ac.id/mumuhmz/2008/09/20/bahan-i-teori-kebenaran/Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-6596315363461364662010-01-10T08:05:00.000-08:002010-01-10T08:14:25.340-08:00RasionalismePENDAHULUAN<br />Rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa akal (renson) adalah alat penting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Alat jalan berfikir itu adalah kidah-kaidah logis.<br />Rasionalisme merupakan lawan dari empirisme yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiris, contoh yang paling jelas adalah pemahaman tentang logika dan matematika yang penemuan-penemuannya begitu pasti dan kebenarannya universal.<br />Rasionalisme sudah mulai diterapkan oleh Thales dalam filsafatnya dan pada zaman modern filsafat tokoh pertamanya adalah Descartes. Rasionalisme pada zaman modern filsafaat terutama dilihat sebagai reaksi terhadap dominasi gereja pada abad pertengahan Kristen di Barat.keistimewaan Descartes adalah keberaniannya melepaskan diri dari kerangkeng yang mengurung filosof abad pertengahan.<br />Corak utama pada filsafat modern adalah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani Kuno dan gerakan pemikiran Descartes yang disebut bercorak renai sance.<br />Descartes dianggap sebagai bapak filsafat modern. Menurut Bertrand Russel, anggapan itu benar. Kata “bapak” diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat yang berdiri atas kenyakinan sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah (Tafsir, 2003:128).<br />Descartes lahir di La-Haye Prancis pada tahun 1596. ia belajar di Jesuit College La Universitas Poitiers, tapi Descartes tidak pernah mampraktekannya.dari 1616 sampai 1628 Descartes banyak melakukan pengalaman dari satu negri ke negri lain. Ia masuk tiga dinas ketentaraan yang berbeda-beda (Belanda, Batavia dan Hanggaria).<br />Saat umurnya tiga puluh dua tahun Descartes menetap di Belanda selama tidak kurang daari dua puluh satu tahun. Dipilihnya Belanda karena Descartes menganggap bahwa Belanda lebih menyediakan kebebasan intelektual dibandingkan negri-negri lain.<br />KEPASTIAN DAN BATAS KERAGUAN<br />(Descartes Philosophical Writings)<br />Rene’ Descartes<br /><br />Rene Descartes, semasa hidupnya telah memberikan kontrribusi penting terhadap perkembangan filsafat. Metode-metode yang dia kemukakan merupakan langkah awal lahirnya pemikiran filsafat modern. Pada saat itu, akhir abad pertengahan, dunia filsafat telah merosot perkembangannya. Diawali sejak penghujung zaman helenisme sampai kemudian memasuki abad pertengahan, agama, hati dan iman mendominasi, sedangkan akal sama sekali tidak berkutik.<br /> Salah satu pemikiran filsafat yang berpengaruh saat itu adalah rumusan terkenal yang diungkapkan oleh Saint Anselmus dengan pernyataannya credo uz intelligam, kira-kira artinya adalah iman lebih dulu, setelah itu mengerti (Ahmad Tafsir, 1990:114).<br />Dalam ungkapan ini orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu harus di imani, melainkan orang mengerti karena mengimaninya. Demikian tersebut tetap diyakini terutama oleh tokoh-tokoh gereja yang tetap percaya bahwa dasar filsafat adalah iman. Hal yang tidak mudah bagi descartes untuk melawannya, terbukti pada saat itu banyak tokoh-tokoh filsafat yang dihukum oleh pihak gereja.<br />Kemudian descartes hadir untuk menanamkan dasar filsafat yang baru yaitu akal. Untuk mendukung argumentasinya tesebut ia mengungkapkan metodenya yang terkenal tentang keraguan (Cartesian Doubt) atau yang lebih dikenal dengan cagito descartes akal yang ia gunakan untuk dasar filsafatnya, ia jadikan sebagai titik acuan awal pemikirannya.<br />Ia menuangkan metode-metodenya dalam karya-karya besarnya, karya pertama yagn ia tulis adalah Rules For The Direction Of The Under Standing pada tahun 1620 dan terbit pada tahun 1701. Le Monde pada tahun 1634. Discouvse On Method pada tahun 1637 bersama karya-karya scientific dan matematikanya. Meditation On Jiust Philoshofy, pada tahun 1641 dan Principles Of Philoshofy pada tahun 1644. serta tulisan-tulisan pilihan yang kemudian diterbitkan.<br />Tahap-tahap pemikiran Descartes untuk mancari kebenaran sejati dimulai dengan langkah-langkah yang menurut polos dan jernih. Kemudian ia meneliti sejumlah besar pendapat-pendapat yang keliru (menurutnya) yang umumnya sudah disepakati orang. Ia memulai dengan cara meragukan apa saja, meragukan kepercayaan, meragukan pendapat yang sudah berlaku, meragukan eksistensi alam diluar dunia dan bahkan meragukan eksistensinya sendiri. Tahap pertama ini juga merupakan langkah awal landasan cagito-nya. Ia berfikir setiap benda yang ia tahu melalui panca inderanya adalah benar-benar diragukan keberadaannya meskipun ia sendiri manyadari bahwa mungkin akal akan menipunya ("Meditation", In Descartes Philoshophikal Writing) bahkan ia meragukan apakah tangan dan tubuhnya itu adalah miliknya.<br />Kemudian berfikir bagaimana ia tahu bahwa ia tidak sedang tidur dan bermimpi. Karena antara keadaan sadar dengan mimpi tidak ada perbedaan atau batas yang benar-benar tegas dan jelas (distinct). Adakalanya seseorang akan merasa dalam keadaan sadar ketika ia sedang bermimpi atau berhalusinasi, karena pengalaman yang ia lami dirasakan benar-benar terjadi Descartes mencontohkan keadaannya sedang yang duduk dan berpakaian rapi, ia meragukan keadaannya tersebut karena ia pernah mengalaminya ketika bermimpi. Prinsipnya, Descartes berpendapat bahwa tidak ada perbedaan yang jelas antara sadar (keadaan) dan sedang mimpi.<br />Langkah selanjutnya Descartes kembali berpikir, adakah sesuatu (benda) yagn benar-benar ada yang tidak dapat diragukan lagi keberadaannya? Ia sendiri mengajukan tiga hal yaitu gerak, juumlah dam besaran (matematika /ilmu pasti). Namun ia kembali meragukannya karena ia kadang-kadang ia merasa salah ketika melakukan perhitungan. Dengan demikian, ilmu pasti pun ia ragukan. Ketika ia kembali berpikir, ia tetap meragukan setiap benda. Akhirnya mengambikl kesimpulan, bahwa ia ragu karena disebabkan oleh berfikir. Tidak mungkin ia ragu, jika tidak berpikir. Kemudian ia mengungkapkan, kalau begitu "aku berpikir" pasati aku dan benar. Jika "aku berpikir" ada . berarti "aku" ada sebab yang berpikir itu aku.<br />Metode inilah yang disebut cagito ergosum, aku berpikir karena itu aku ada.<br />Dari metode inilah Descartes membuat penerapan secara konkret sebagaiman dijelaskan Anton Bakker (1984:77), bahwa uraian filosafis menguraikan satu intuisi fundamental secara teratur Descartes menerapkannya untuk meembedakan dengan jelas antara jiwa dan badan, dan adanya Tuhan. Descartes menjelaskan konsepnya tentang jiwa dan badan atau pemikiran dan materi. <br />Diane Collison (2001:85), menjabarakan bahwa Descartes, menyimpulkan bahwa pikiran merupakan substansi non-ragawi yang berbeda dengan substansi material atau ragawi. Realisasi Descartes bahwa ia tidak dapat meragukan bahwa ia ada sebagai substansi berpikir, meskipun ia ragu bahwa ia memiliki raga, meyakinkannya bahwa pikiran dapat terpisah dan materi. Namun demikian ia tidak bisa memberika pemecahan yang memuaskan tentang bagaimana dua substansi, raga dan pikiran berinteraksi untuk membentuk satu kesatuan, oleh karena itu ia dengan jelas menolak gagasan Aristetolian tentang jiwa atau pikiran sebagai sesuatu yang menggerakkan raga.<br />Dari sifat keraguannya (skeptisisme), Descartes mendapat kepastian bahwa ia adalah sesuatu yang berpikir. Dari sinilah ia menjadikannya dasar untuk membangun pengetahuan. Argumennya tentang eksistensi Tuhan, dimulai dengan kesadaran akan dirinya sendiri sebagai yang ada, yang keraguannya tidak senpurna, namun mampu membuat gagasan tentang tuhan sebagai wujjud yang sempurna. Dan gagasan sempurna ini, menurutnya, hanya dapat berasal dari wujud yang sempurna; karena itu tuhan pasti ada sebagai sumbernya. Diane Collinson (2001:84). <br />Descartes pun mampu berargumen bahwa karena tuhan sempurna maka ia tidak akan mampu atau mambawa seseorang kepada kekeliruan dan bahwa pemakaian yang benar akan panca indera akan menghasilkan pengetahuan.metode keraguan ini dijadikan Descartes untuk mencari kepastian yang tersembunyi, keraguannya hanya di tujukan untuk menjelaskan perbedaan sesuatu yang dapat diragukan dari sesuatu yang tidak dapat diragukan. <br />Menurut Ahmad Tafsir (1990:132) dalam metode ini berjalan suatu metode yang tegas. Bila Descartes telah menemukan suatu ide yang distiact (jelas), mak ia dapat menggunakannya sebagai premise yang dari sana ia mendeduksi keyakinan lain yang juga distinct. Seluruh proses penyimpulan itu terlepas dari data empiris, keseluruhannya merupakan proses rasional. <br />Kesimpulan sementara yang dapat diambil, Descartes meneliti sesuatu berangkat dari keraguannya, dari keraguan tersebut ia mengetahui bahwa dasar pemikiran yang harus dipakainya adalah akal, hingga ia mendapatkan kepastian yang memuaskan dirinya. Namun rasionalisme yang ia kembangkan, meskipun berawal dari objektifitas telah menimbulkan subjektifisme dan relativisme.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br /> Bakker, Anton 1984. Metode Metode Filsafat, Jakarta : Ghalia Indonesia.<br /> Collinson, Diane 2001. Seratus Puluh Filosof Dunia Yang Menggerakkan, terj. Ilzaenudin, Mufti Ali. Jakarta: Raja Grafindo Persada.<br /> H. Hart, Michael 2001. Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah. Terj. Mahbub Djunaidi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. <br /> Tapsir, Ahmad. 2000. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya.<br /> From Rene’ Descartes. “Meditations,” in Descartes Philosophical Writing, translade by Norman Kemp Smith, The Modern Library, New York, 1958.Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-18236101450083483272010-01-10T08:00:00.000-08:002010-01-10T08:14:25.340-08:00SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFATYang dibahas disini terutama filsafat Barat, karena misalnya filsafat India dan filsafat Cina lebih bersifat mengajar bagaimana manusia mencapai "keselamatan" ("moksa"), atau bagaimana manusia harus bertindak supaya diperoleh keseimbangan antara dunia dan akhirat. Tak dapat diungkiri didalamnya juga ada unsur akal, tetapi bukan produk dari refleksi yang sifatnya kritis rasional. <br /><br />Ada empat periode besar dalam filsafat Barat:<br />(A). Zaman Yunani (600 sM - 400 M)<br />(B). Zaman Patristik dan Skolastik (300 M - 1500 M)<br />(C). Zaman Modern (1500 M - 1800 M)<br />(D). Zaman sekarang (setelah 1800 M).<br /><br />Patut dicatat bahwa tiap zaman memiliki ciri dan nuansa refleksi yang berbeda. Dalam zaman Yunani diletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat. Zaman Patristik dan Skolastik ditandai oleh usaha yang gigih untuk mencari keselarasan antara iman dan akal, karena iman di hati, dan akal ada di otak. Tidak cukuplah sikap credo quia absurdum = "aku percaya justru karena tidak masuk akal" Tertulianus, 160-223 M. Dalam Zaman Modern direfleksikan berbagai hal tentang rasio, manusia dan dunia. Jejak pergumulan itu terdapat dalam aliran-aliran filsafat dewasa ini.<br /><br />1 Zaman Yunani<br /><br />Is not the good good because it contains the idea of the good?<br />Plato<br /><br />1.1 Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu ("arche" = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang benar.<br /><br />1.2 Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM). <br /><br />1.2.1 Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.<br /><br />Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa "memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa ke pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.<br /><br />1.2.2 Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, ... kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak. <br /><br />Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.<br /><br />Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi, "becoming").<br /><br />1.2.3 Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.<br /><br />Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.<br /><br />Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata , dan berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. <br /><br />Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.<br /><br />Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah".<br /><br />Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria yang belum lengkap". Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan "substansi".<br /><br />Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz". Itu membuat manusia memiliki bahasa.<br /><br />Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.<br /><br />Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga. -- (Catatan kecil saja dari FSP: Maka jangan terkejut jika pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi filsafati agaknya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yanh umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa abad pertengahan dan dimana saja. Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun landasan biblisnya sama sekali tidak ada. Yesus, sebagaimana tampak dalam Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)<br /><br />Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.<br /><br />1.3 Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: "kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita".<br /><br />Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) disebut oleh Plotinos = "to hen", yang esa, "the one". Yang esa adalah awal, yang pertama, yang paling baik, paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenal oleh manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, -- seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati proses emanasi, yang esa tak berkurang atau terpengaruh sama sekali.<br /><br />Dari mengalir = "nous", budi, akal, bahkan roh (?). "Nous" merupakan "bayang-bayang" dari "to hen". Dari "nous" mengalir = "psykhe", jiwa, yang merupakan perbatasan "nous" dengan = "me on", materi, yang merupakan kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. "Psykhe" merupakan penghubung antara "nous" yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. -- Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan penyimpangan dari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran, manusia harus kembali kepada "to hen", dan itulah tujuan hidup manusia. "To hen" kiranya identik dengan konsep "Sang Sangkan Paraning Dumadi" dalam tradisi Jawa.<br /><br />Kesatuan mistis dengan "to hen" merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi untuk mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat besar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berakhir kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada terang (serta awal dari kekekalan).<br /><br />Jejak pemikiran neoplatonisme dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan atau "jiwa kosmik". Banyak agama menekankan keterpisahan antara Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik tidak menemui pemisahan seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa "penyatuan dengan Tuhan". Ketika penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa dia "kehilangan dirinya", dia lenyap ke dalam diri Tuhan atau hilang dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik air kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.<br /><br />Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Ahli mistik harus mencari jalan "pencucian dan pencerahan" untuk bisa bertemu dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan berbagai teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama besar di dunia. Dalam "agama" Jawa dikenallah konsep "manunggaling kawula lan Gusti", yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan oleh Zoetmulder. (Zoetmulder SJ almarhum adalah Guru Besar di Fakultas Sastra UGM).<br /><br /><br />2 Zaman Patristik (Para Bapa Gereja)<br /><br />Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat<br />untuk mengajar,<br />untuk menyatakan kesalahan,<br />untuk memperbaiki kelakuan, dan<br />untuk mendidik orang dalam kebenaran.<br />Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaaan Allah<br />diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.<br /><br /><br />Pemikiran filsafati para Bapa Gereja Katolik mengandung unsur neo-platonisme. Para Bapa Gereja berusaha keras untuk menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan cara itu membuat pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi pokok bahasan utama. Hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia pada umumnya dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ("lumens") dari Allah. Meskipun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih kebenaran (yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia merupakan jejak Allah yang istimewa = "imago Dei" (citra Allah), dalam arti itu manusia sungguh memantulkan siapa Allah itu dengan cara lebih jelas dari pada segala ciptaan lainnya.<br /><br />"Tuhan, engkau lebih tinggi daripada yang paling tinggi dalam diriku, dan lebih dalam daripada yang paling dalam dalam batinku" -- itu ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumusan. Dalam zaman ini pokok-pokok iman Kristiani dinyatakan dalam syahadat iman rasuli (teks "Aku Percaya" yang panjang). Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk tentang trinitas -- tentu saja dalam katagori pemikiran filsafati pada waktu itu dan dengan bahan dari Alkitab.<br /><br />Agustinus menerima penafsiran metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang menyatakan bahwa alam semesta dicipta creatio ex nihilo dalam 6 hari, dan pada hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu baik adanya. "Allah tidak ingin mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak relevan bagi keselamatan mereka". Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam waktu, namun waktu diciptakan bersama dengan dunia. Penciptaan adalah tindakan tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu menjadi ada, dan tindakan kontinu yang melaluinya Allah memelihara dunia. Istilah ex nihilo tidak berarti bahwa tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dibuat dari perunggu, namun hanya berarti "tidak terjadi dari sesuatu yang sudah ada". Hakikat alam ciptaan ialah menerima seluruh Adanya dari yang lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.<br /><br />Disini tidak disinggung persoalan, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi pada suatu ketika atau sudah ada sejak zaman kelanggengan. Para ahli filsafat pada umumnya sependapat bahwa a priori kita tidak dapat memastikan mana yang terjadi. -- Menciptakan, sebagai tindakan aktif, dipandang dari sudut Tuhan, merupakan cetusan kehendakNya yang bersifat langgeng, karena segala sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng. Tetapi dipandang dari sudut ciptaan, secara pasif, ketergantungan dari Tuhan, terciptanya itu dapat terjadi dalam arus waktu, atau di luarnya, sejak zaman kelanggengan. Jadi kelirulah jika dibayangkan bahwa Tuhan suatu ketika menciptakan alam dunia lalu mengundurkan Diri. Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat, maka buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ke ketiadaan. Dunia terus menerus tergantung pada Tuhan (creatio dan sekaligus conservatio).<br /><br />Ketika ditanya mengenai apa yang dilakukan Allah sebelum menciptakan dunia, Agustinus menjawab tidak ada artinya bertanya mengenai itu, karena tidak ada waktu sebelum penciptaan tersebut.<br /><br />3 Zaman Skolastik<br />Saya membagi zaman skolastik dalam 2 tahapan (1) zaman skolastik timur, yang diwarnai situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M, dan (2) zaman skolastik barat, abad 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di Eropa (termasuk jazirah Spanyol).<br /><br />Secara sederhana, dalam zaman Patristik, "filsafat teologi", dengan tanda dapat dibaca sebagai "identik dengan", "sama sebangun dengan", "praktis tidak berbeda dengan". Sementara dalam periode skolastik timur, terdapat berbagai interpretasi atas simbul dalam rumusan "filsafat teologi", dalam periode skolastik barat tidak ada keraguan tentang makna simbul dalam rumusan "filsafat teologi".<br /><br />3.1. Periode skolastik timur<br /><br />Abad ke-5 s/d abad ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Pemikiran filsafati praktis tidak ada. Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak hadirnya agama Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada perhatian besar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada awal abad 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam untuk menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu, berpangkal pada penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.<br /><br />(1) Mashab Mu'tazila (725 - 850 - 1025 M) meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber pengetahuan (selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia mampu membedakan baik dan buruk, maka berbuat baik adalah wajib. Pemimpin harus mewajibkan umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Pandangan ini cocok dengan Al Qur'an (Surah 3 ayat 110): "amr bil-a'ruf wa'l nahy an'al-munkar". <br /><br />Mashab Mu'tazila ada pada pendapat bahwa Al Qur'an tercipta, artinya "dirumuskan oleh manusia, dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus". Maka para Mu'tazila membaca Al Qur'an dengan kacamata rasionalis.<br /><br />(2) Mashab falsafah pertama (830 - 1037 M), berhaluan neoplatonis dan aristoteles. Kata "falsafah" dipakai untuk mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab, ahli fikirnya disebut "faylasuf" ("falasifa - jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M), al-Razi (865 - 925 M), al-Farabi (872 - 950 M) dan Ibn-Sina (980 - 1037 M). Menggumuli masalah klasik "perbedaan antara dhat dan wujud" ("distinctio realis inter essentiam et existentiam"). Mereka ada pada pendapat, bahwa akal adalah pendamping iman. Al-Razi menolak ijazu'l Qur'an. Tulis al-Razi: "Tuhan memberi kepada manusia akal sebagai anugerah terbesar. Dengan akal kita mengetahui segala apa yang bermanfaat bagi kita dan yang dapat memperbaiki hidup kita. Berkat akal itu kita mengetahui hal yang tersembunyi dan apa yang akan terjadi. Dengan akal kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi manusia. Akal itu menghakimi segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Kelakuan kita harus ditentukan oleh akal semata-mata".<br /><br />(3) Mashab pemikiran ketiga disebut pula Kalam Ashari, berpusat di Bagdad, dan bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan bergumul dengan soal sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para tokohnya: al-Ash'ari (873-935 M), al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M).<br /><br />Pandangan yang bercorak atomistis berpangkal pada pendapat bahwa peristiwa alam dan perbuatan manusia tidak lain daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat dalam penciptaan itu tidak ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan al-Khaliq, "tiada yang tersembunyi daripadaNya seberat dharahpun" (Al-Qur'an Surat 34 ayat 3). Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus atom-atom, tanpa ada hubungan kausal. "Kami menyangkal bahwa makan dan minum menyebabkan kenyang". Yang ada hanya monokausalitas mutlak illahi. Apabila tampak sesuatu akibat dari suatu tindakan, maka itu hanya semu, karena Allah menghendaki hal itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi setiap kegiatan insani. Manusia tidak memiliki kehendak bebas, yang bebas itu hanya semua saja. Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk. "Bila manusia bertindak baik, itulah ditentukan Allah sesuai rahmatNya; bila dia berbuat jahat itu dikehendaki Allah sesuai keadilanNya".<br /><br />Dalam "Al-Tahafut al-filasifah" al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20 dalil dan membuat kajian dan bantahan yang keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai pengetahuan sesuatu melalui sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh pengetahuan ilmiah adalah sia-sia. Secara singkat "al-aql laysa lahu fi'l-shar' majal" -- untuk akal tiada tempat dalam agama.<br /><br />(4) Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur Tengah, di kawasan yang dikenal sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol sekarang) berkembanglah pusat Islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat. Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (? - 1185), dan Ibn Rushd ("Averroes") (1126-1198 M) merupakan 3 filsuf utama dalam perioda Filsafat Kedua (1100 - 1195 M) ini.<br /><br />Ciri para filsuf ini pada umumnya menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas seorang filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan kenyataan rohani sampai akhir hayat. Akal adalah hal yang paling berharga yang dikaruniakan Tuhan kepada abdiNya yang setia.<br /><br />Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi asrar al -himah al-mashiriyyah.<br /><br />Ibn Rushd dikenal oleh 3 kelompok karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya filsafat di kawasan timur) dan karangan apologetis (yang membela Islam dari ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya bahwa ilmu secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan sebabnya. Kita menanggapi hubungan sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai nyata dengan akal. Dengan akibat atau setiap perubahan diciptakan secara langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa'ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah. Itu bertentangan dengan akal sehat dan menentang wahyu Qur'an, yang melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang maha bijaksana.<br /><br />Karya apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup filsafat dalam Islam, baik sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam teologi. Rushd melihat filsafat sebagai "sahabat al-shari'at w'ahat al-ruzdat", teman teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh al-Qur'an, agar manusia dapat memuji karya Tuhan di dunia ini (antara lain Surah 3 ayat 188, Surah 6 ayat 78, Surah 7 ayat 184, Surah 59 ayat 2, dan Surah 88 ayat 17) . Bila studi hukum (fiqh) tidak disertai studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama.<br /><br />Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf dari Cordova itu terhadap alam pikiran Islam selanjutnya mungkin tidak seberapa, dia bahkan dikatakan hanya mewariskan "sekeranjang buku seberat sosok mayatnya". Tetapi naskahnya populer di Eropa, khususnya di lingkungan kampus Universitas Paris, dan menyebar dari sana. Dengan karyanya, Aristoteles yang dijuluki "Sang Filsuf" diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn Rushd yang oleh karena itu mendapat julukan "Sang Komentator". Sebagai akibatnya, obor perenungan filsafati Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para filsuf muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia. Itulah sumbangan berharga para filsuf muslim dalam khazanah perenungan tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di sekelilingnya.<br /><br />3.2 Perioda skolastik Barat<br /><br />Awal abad 13 ditandai dengan 3 hal penting: (1) berdirinya universitas-universitas, (2) munculnya ordo-ordo kebiaraan baru (Fransiskan dan Dominikan), dan (3) diketemukannya filsafat Yunani, melalui komentar Ibn Rushd, yang dipelajari dan dikritik dan diteliti dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225 - 1274 M). Tema filsafat perioda ini adalah hubungan akal budi dan iman, adanya dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik.<br /><br />Otonomi filsafat yang bertumpu pada akal, yang merupakan salah satu kodrat manusia, dipertahankan. Menurut Thomas Aquinas, akal memampukan manusia mengenali kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sebaliknya teologi memerlukan wahyu adikodrati. Berkat wahyu adikodrati itu teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam arti ketat (misalnya misteri tentang trinitas, inkarnasi, sakramen). Karena itu teologi memerlukan iman, karena hanya dapat dijelaskan dan diterima dalam iman. Dengan iman yang merupakan sikap penerimaan total manusia atas wibawa Allah, manusia mampu mencapai pengetahuan yang mengatasi akal. Meski misteri ini mengatasi akal, ia tidak bertentangan dengan akal. Meski akal tidak dapat menemukan (menguak) misteri, akal dapat meratakan jalan menuju misteri ("prae-ambulum fidei"). <br /><br />Dengan ini Thomas Aquinas menegaskan adanya dua pengetahuan yang tidak perlu bertentangan, atau dipertentangkan, tetapi berdiri sendiri berdampingan: pengetahuan alamiah (yang berpangkal pada akal budi) dan pengetahuan iman (yang bersumber pada kitab suci dan tradisi keagamaan). Adalah Wihelm Dilthey (1839-1911) yang akhirnya membedakan dengan tegas "Geisteswissenschaften" = "human sciences" dari "Naturwisensshaften" = "natural sciences", sementara Max Weber membedakan "erklaeren" sebagai ciri-ciri ilmu alam dari "verstehen" yang merupakan ciri khas ilmu-ilmu kemanusiaan.Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-77615717945236922962010-01-10T07:16:00.001-08:002010-01-10T07:16:57.663-08:00KEBUDAYAAN1. a. Kebudayaan<br />Kebudayaan adalah sesuatu yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Sehingga<br />muncul istilah Cultural-Determinism yang diungkapkan oleh Melville J. Herskovits dan<br />Bronislaw Malinowski yaitu bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat<br />ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.<br />Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang<br />merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang<br />berkaitan dengan budi dan akal manusia. Secara terminologi definisi kebudayaan sangat<br />beragam, berdasar dari catatan Supartono, 1992, terdapat 170 definisi kebudayaan.<br />Catatan terakhir Rafael Raga Manan ada 300 buah.<br />Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi<br />ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas<br />Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan<br />serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala<br />pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Sedangkan<br />menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil<br />karya, rasa, dan cipta masyarakat.<br />Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu<br />sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran<br />manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.<br />Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia<br />sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,<br />misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lainlain,<br />yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan<br />kehidupan bermasyarakat.<br />b. Perubahan Sosial<br />Perubahan sosial ialah sebuah transformasi budaya dan institusi sosial yang terjadi dalam<br />jangka waktu yang berterusan serta menghasilkan kesan positif dan negatif. Perubahan<br />sosial merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat.<br />Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin<br />mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya<br />merupakan penyebab dari perubahan.<br />Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:<br />1. tekanan kerja dalam masyarakat<br />2. keefektifan komunikasi<br />3. perubahan lingkungan alam.<br />c. Perubahan Budaya<br />Perubahan budaya adalah sebuah gejala berubahnya pola budaya dalam suatu masyarakat.<br />Perubahan budaya dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat,<br />penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman<br />es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi<br />baru lainnya dalam kebudayaan.<br />d. Perbandingan antara Perubahan Sosial dan Perubahan Budaya<br />Secara definitif perubahan sosial adalah perubahan proses-proses sosial atau mengenai<br />susunan masyarakat. Sedangkan perubahan budaya lebih luas dan mencakup segala segi<br />kebudayaan, seperti kepercayaan, pengetahuan, bahasa, teknologi, dan sebagainya namun<br />dalam realita kehidupan masyarakat, perubahan sosial dan perubahan budaya memiliki<br />kaitan yang sangat erat karena budaya muncul akibat adanya interaksi sosial dan secara<br />otomatis berubahnya suatu bentuk sosial akan berpangaruh pada perubahan budaya.<br />Sehingga seringkali perubahan sosial dan perubahan budaya disebut sebagai satu kesatuan<br />istilah yaitu perubahan sosial budaya.<br />2. Perilaku Menyimpang di dalam Masyarakat<br />Tidak bisa dipungkiri, dalam setiap sudut kehidupan mesti ada masalah ataupun konflik<br />apalagi dalam kehidupan sosial masyarakat. Namun apa yang terjadi akhir-akhir ini sudah<br />sangat memprihatinkan. Perilaku menyimpang di masyarakat sudah biasa menjadi etalase<br />di berbagai mass media dengan judul “kriminal”. Kasusnya pun semakin beragam termasuk<br />pelakunya, tidak lagi pejabat, orang yang biasa dianggap “kyai” pun kerap terjerat kasuskasus<br />kriminal. Banyak faktor yang menengarai fenomena ini, selain dorongan diri dari si<br />pelaku, tatanan kehidupan yang mulai semrawut pun memiliki andil besar dalam<br />pembentukan mental dan suasana kehidupan. Ditilik dari segi hukum saja, banyak peluang<br />dan kesempatan untuk melakukan kejahatan karena di dalam hukum itu sendiri banyak<br />terjadi ketimpangan, tidak adanya supremasi hukum dan penegak hukum yang loyal.<br />Masalah ini sebenarnya sangat kompleks, karena bukan hanya satu sistem tapi hampir<br />semua sistem saling terkait oleh karenanya penyelesaian pun tidak bisa hanya menyalahkan<br />satu pihak. Harus ada kesadaran dari masing-masing individu dan perlunya pemerintah<br />merombak sistem yang telah terkontaminasi dengan sistem yang lebih baik.<br />Sebagai mahasiswa UIN Malang yang bermisi sebagi Ulul Albab, bukan hanya sisi materiil<br />saja yang digarap tapi juga spirituil sehingga nantinya tercipta tatanan yang dilandasi oleh<br />spiritual. Setidaknya ada 3 bidang utama yang perlu ditingkatkan untuk mengatasi<br />problematika saat ini, dimulai dari bidang intelektual untuk meningkatkan sumber daya<br />manusia (SDM), bidang emosional agar tercipta kehidupan harmonis dan bidang spiritual<br />sebagai penyeimbang dunia vertikal-horison sehingga tercipta insan yang profesional<br />religius.<br />Studi Kasus<br />Sindo, sabtu 21 juli 2007<br />Gunawan Dicokok di Senayan (terlampir)<br />Analisis Kasus:<br />Penjahat kelas kakap, pantas disebut seperti itu, beritanya selalu menjadi head line di<br />berbagai media di Indonesia. Berawal dari penggelapan uang, akhinya Gunawan terjerat<br />berbagai kasus dari melarikan diri sampai pembunuhan hingga akhirnya divonis hukuman<br />mati. Secara sederhana motif awal tindak kriminal ini adalah ketidakjujuran. Akibat<br />kebohongan tersebut dia pun rela melakukan segala cara untuk menutupinya hingga harus<br />melakukan operasi plastik. Oleh karena itu, sejak awal Islam mengajarkan agar tidak<br />melakukan perbuatan tercela sekecil apapun karena ternyata bisa berdampak seperti kasus<br />ini.<br />Dari kasus ini pula banyak tanda-tanda bahwa penegakan hukum di negara ini sangat<br />mudah untuk dibeli begitu juga dengan aparat keamanan yang bisa dimiliki oleh orang<br />berduit.<br />3.a. Pengertian Pemuda dan Macam-macamnya<br />Secara hukum pemuda adalah manusia yang berusia 15 – 30 tahun, secara biologis yaitu<br />manusia yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kedewasaan seperti adanya<br />perubahan fisik, dan secara agama adalah manusia yang sudah memasuki fase aqil baligh<br />yang ditandai dengan mimpi basah bagi pria biasanya pada usia 11 - 15 tahun dan<br />keluarnya darah haid bagi wanita biasanya saat usia 9 - 13 tahun.<br />Pemuda dibagi menjadi empat macam yaitu:<br />1. Pemuda Urakan<br />Pemuda yang acuh tak acuh dengan lingkungan sekitarnya, hanya mementingkan<br />diri sendiri dan keolmpoknya saja.<br />2. Pemuda Nakal<br />Pemuda yang ulahnya hanya membuat resah lingkungan sekitarnya.<br />3. Pemuda Revolusioner<br />Pemuda yang mencita-citakan adanya perubahan di lingkungannya.<br />4. Pemuda Soleh<br />Pemuda yang berperangai baik dan kehadirannya didambaakan di dalam<br />masyarakat.<br />b. Hubungan Individu, Keluarga dan Masyarakat<br />Individu, keluarga dan masyarakat adalah satu keasatuan yang tidak bisa dipisahkan, tanpa<br />individu tak akan pernah ada keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu untuk membangun<br />masyarakat yang berperadaban harus dimulai dari keluarga yang baik dan keluarga yang<br />baik itu terdiri dari individu-individu yang berkualitas, memilki sumber daya manusia yang<br />tinggi. Bila sebaliknya, yang ada hanyalah masyarakat yang amburadul.<br />c. Mengatasi Pertambahan Penduduk<br />Apabila pertambahan penduduk dibiarkan bertambah maka setidaknya yang perlu dilakukan<br />adalah:<br />· Membuat tata kota yang rapi<br />· Membuat daerah pemukiman yang teratur<br />· Diadakan transmigrasi<br />Apabila pertambahan penduduk tidak diinginkan (cut) maka:<br />· Membatasi jumlah kelahiran misal dengan program KB<br />· Mengkontrol pernikahan diniAlumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-79380435318006634292010-01-10T07:12:00.000-08:002010-01-10T07:14:37.075-08:00Perubahan SosialBentuk-bentuk perubahan sosial<br /><br /><br />1. Perubahan secara lambat dan Perubahan secara cepat (dilihat dari waktu)<br />Perubahan secara lambat = evolusi, yaitu prubahan yang memerlukan waktu lama. Cirinya : memerlukan waktu lama, perubahannya kecil, perubahan tidak disadari oleh masyarakat, tidak diikuti oleh konflik atau tidak menimbulkan kekerasan. Ex: perubahan mata pencaharian masyarakat<br />Perubahan secara cepat = revolusi, yaitu perubahan yang terjadi dalam waktu yang sangat cepat. Ciri-cirinya membutuhkan waktu singkat, perubahannya besar karena menyangkut sendi-sendi pokok kehidupan, perubahan disadari/direncanakan, seringkali diikuti oleh kekerasan atau menimbulkan konflik. Ex: revolusi Indonesia tahun 1945, reformasi Indonesia tahun 1998, revolusi industri Perancis dan Inggris.<br /> <br />2. Perubahan yang pengaruhnya kecil dan pengaruhnya besar.<br />Perubahan yang pengaruhnya kecil adalah perubahan yang tidak membawa pengaruh langsung bagi kehidupan masyarakat. Ex; perubahan mode pakaian, gaya potongan rambut, dsb.<br />Perubahan yang membawa pengaruh besar adalah perubahan yang membawa pengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat karena perubahan yang terjadi pada unsure-unsur social budaya masyarakat. Ex: Industrialisasi membawa pengaruh pada hubungan kerja, lembaga kemasyarakatan, system pemilikan tanah, pelapisan social, hubungan kekerabatan, dll.<br /> <br />3. Perubahan yang dikehendaki/direncanakan dan perubahan yang tidak dikehendaki/tidak direncanakan<br />Perubahan yang dikehendaki/direncanakan= pembangunan adalah perubahan yang sudah diperkirakan sebelumnya oleh pihak-pihak tertentu yang ada dalam masyarakat. Perubahan yang tidak dikehendaki/tidak direncanakan adalah perubahan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Biasanya perubahan tidak dihendaki muncul sebagai dampak dari perubahan yang direncanakan.<br /> <br />Secara garis besar perubahan social menyangkut perubahan dalam:<br />a. kelompok social<br />b. stratifikasi social<br />c. lembaga-lembaga social<br />d. interaksi social<br /> <br />Faktor Pendorong Perubahan Sosial<br />a. Menurut Alvin Betrand: awal dari proses perubahan social adalah komunikasi yaitu penyampaian ide, gagasan, nilai, kepercayaan, keyakinan dsb, dari satu pihak ke pihak lainnya sehingga dicapai kata kesepahaman.<br />b. Menurut David Mc Clelland: dorongan untuk perubahan adalah adanya hasrat meraih prestasi ( need for achievement) yang melanda masyarakat<br />c. Prof. Soerjono Soekanto: Perubahan social disebabkan oleh factor intern dalam masyarakat itu dan factor ekstern. <br />Faktor Intern antara lain:<br />1) Bertambah dan berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi)<br />2) Adanya Penemuan Baru:<br />- Discovery: penemuan ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada<br />- Invention : penyempurnaan penemuan baru <br />- Innovation /Inovasi: pembaruan atau penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah, melengkapi atau mengganti yang telah ada.<br />Penemuan baru didorong oleh : kesadaran masyarakat akan kekurangan unsure dalam kehidupannya, kualitas ahli atau anggota masyarakat<br />3) Konflik yang terjadii dalam masyarakat<br />4) Pemberontakan atau revolusi<br /> <br /> <br />Faktor ekstern antara lain:<br />1) perubahan alam<br />2) peperangan<br />3) pengaruh kebudayaan lain melalui difusi(penyebaran kebudayaan), akulturasi ( pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi)<br /> <br />Jadi menurut Soerjono Soekanto factor pendorong perubahan social adalah:<br />1) sikap menghargai hasil karya orang lain<br />2) keinginan untuk maju<br />3) system pendidikan yang maju<br />4) toleransi terhadap perubahan<br />5) system pelapisan yang terbuka<br />6) penduduk yang heterogen<br />7) ketidak puasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu<br />8) orientasi ke masa depan<br />9) sikap mudah menerima hal baru.<br /> <br />Ciri perubahan social adalah :<br />1) setiap masyarakat pasti mengalami perubahan, baik lambat maupun cepat<br />2) perubahan yang terjadi pada suatu lembaga kemasyarakatan akan diikuti dengan perubahan pada lembaga-lembaga social lainnya<br />3) perubahan social yang cepat biasanya menimbulkan disintegrasi yang bersifat sementara karena berada dalam proses penyesuaian diri.<br /> <br />Faktor Penghambat Perubahan Sosial Budaya<br />a) kurangnya hubungan terhadap masyarakat lain<br />ex; suku-suku bangsa yang masih di pedalaman<br />b) pendidikan yang terbelakang<br />c) masyarakat yang bersikap tradisional ; mempertahankan tradisi, penguasa yang konservatif<br />d) adanya kepentingan yang tertanam dengan kuat sekali pada sekelompok orang (Vested Interest)<br />Ex: kelompok yang sudah mapan biasanya tidak menghendaki terjadi perubahan karena takut posisinya terancam, takut hidup susah<br />e) ketakutan akan terjadi disintegrasi<br />f) prasangka buruk terhadap unsure budaya asing<br />g) hambatan ideologis, Ex : adanya anggapan bahwa suatu perubahan bertentangan dengan suatu ajaran agama tertentu dll<br /> <br />Macam-macam Proses Perubahan Sosial Budaya:<br />a) Akulturasi<br />b) Asimilasi<br />c) Difusi<br />d) Discovery<br />e) Invention<br />f) Inovasi<br />g) Modernisasi: adalah proses perubahan tradisi, sikap, dan system nilai dalam rangka menyesuaikan diri dengan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa lain, sehingga suatu bangsa dapat bertahan secara wajar di tengah-tengah tekanan berbagai masalah hidup di dunia dewasa ini<br />h) Globalisasi: adalah suatu system atau tatanan yang menyebabkan seseorang atau Negara tidak mungkin untuk mengisolasikan diri sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan komunikasi dunia. Atau suatu kondisi dimana tidak ada lagi batas-batas antara satu Negara dengan Negara lain dalam hal teknologi komunikasi.<br /> <br /> <br /> <br /> <br />Dampak perubahan social budaya :<br />• Dampak Negatif Modernisasi<br />a. sikap materialistic : orang lebih mengejar kekayaan materi dibanding dengan kualitas diri<br />b. sikap individualistic: memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri dibanding menolong orang lain<br />c. sikap konsumerisme: sikap hidup yang boros / konsumtif<br />d. kesenjangan social ekonomi : timbulnya pelapisan social yang kuat ant yang kaya dengan yang miskin<br />e. pencemaran / kerusakan lingkungan alam<br />f. kriminalitas<br />g. kenakalan remaja<br />• Dampak Negatif Globalisasi<br />a. Unsur-unsur budaya asing yang masuk Indonesia terutama teknologi komunikasi berakibat pada munculnya perilaku kekerasan di masyarakat, semakin berkembangnya gaya hidup free sex, semakin maraknya pornoaksi.<br />Dampak positif Globalisasi<br />a. cepat masuknya budaya asing yang memperkaya budaya Indonesia<br />b. Perubahan pola pikir tradisional menjadi pola piker rasional, sistematis, analitis, logis<br />c. Munculnya sikap lebih menghargai waktu, mau bekerja keras<br />d. Munculnya pola pembagian kerja antara pria dan perempuan berdasarkan kemampuan, semakin menipis perilaku diskriminasi terhadap perempuan<br />e. Berkembangnya ilmu pengetahuan<br />f. Berkembangnya cara berpikir kritis, <br /> <br />Tantangan baru bangsa Indonesia akibat globalisasi yang dapat mengancam eksistensi jati diri Bangsa Indonesia:<br />a. Guncangan budaya (cultural shock)<br />Ketidaksesuaian unsure-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan social yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. Budaya yang masuk ke suatu masyarakat tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, kondisi seperti inipun juga dapat menimbulkan keguncangan budaya.<br />b. Ketertinggalan budaya (cultural lag)<br />Perumbuhan atau perubahan unsure kebudayaan yang mengalami perubahan tidak sama cepatnya misalnya perubahan pada budaya material akan lebih cepat berubah dibanding budaya immaterial. Ketidak seimbangan perubahan antara budaya material dan immaterial itulah yang disebut dengan ketertinggalan budaya<br /> <br />Antisipasi memudarnya jati diri bangsa karena globalisasi<br />a) mamperkuat ideology dan nasionalisme melalui berbagai kegiatan misalnya;upacara bendera, <br />b) pengimbangan kemajuan ilmu pengetahuan dengan iman<br />c) mencegah meluasnya narkoba, pornoaksi melalui teknologi, miras dll<br />d) mencintai produk dalam negeri<br />e) meningkatkan persatuan dan kesatuan<br />f) menjaga kelestarian lingkungan hidup<br />g) orangtua semakin aktif dalam mendidik anak<br />h) selektif terhadap budaya aasing yang masuk<br />menjaga kelangsungan nilai dan norma masyarakatAlumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-54147294998173391312010-01-10T07:10:00.000-08:002010-01-10T07:12:36.088-08:00HUBUNGAN MANUSIA DAN BUDAYABAB I<br />PENDAHULUAN<br />Latar Belakang<br />Secara etimologis, Sosiologi berasal dari kata latin, Socius yang berarti kawan dan kata Yunani Logos yang berarti kata atau yang berbicara. Jadi Sosiologi adalah berbicara mengenai masyarakat. Bagi Comte, Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umun yang merupakan hasil akhir dari perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu Sosiologi didasarkan pada kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuna sebelumnya.<br />Pitirim Sorokim mengatakan bahwa Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi) dengan gejala lainnya (nonsosial).<br />Berbeda dengan pendapat Rouceke dan Warren yang mengatakan bahwa Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dengan kelompok-kelompok.<br />Nah berasarkan uraian di atas, maka Sosiologi adalah jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat sebagai ilmu. Ia berdiri sendiri karena telah memiliki unsur ilmu pengetahuan.<br />Dalam ilmu Sosiologi dipelajari juga mengenai Peran, Status atau kedudukan, Nilai, Norma dan juga Budaya atau kebudayaan. Kesemuanya ini merupakan hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan ilmu Sosiologi.<br /><br />Rumusan Masalah<br />Dalam rumusan masalah di sini, maka akan dicari jawaban daripada :<br />Apakah pengertian Peran/peranan.role dalam ilmu Sosiologi?<br />Apakah pengertian Status/kedudukan dalam ilmu Sosiologi?<br />Apakah pengertian Nilai dalam ilmu Sosiologi?<br />Apakah pengertian Norma dalam ilmu Sosiologi?<br />Apakah pengertian Budaya/Kebudayaan dalam ilmu Sosiologi?<br /><br />Maksud dan Tujuan<br />Penulisan makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut :<br />o Memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi dan Antropologi Kesehatan<br />o Memberikan gambaran teori mengenai Peran, Status, Nilai, Norma, dan juga Budaya/kebudayaan dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai sasaran ilmu Sosiologi.<br />o Sebagai arahan agar mahasiswa dapat mengkorelasikan hubungan antara teori Peran, Status, Nilai, Norma dan Budaya/kebudayaan dengan kehidupan masyarakat di kehidupan yang nyata<br />BAB II<br />PENGERTIAN PERAN, STATUS, NILAI, NORMA<br />DAN BUDAYA/KEBUDAYAAN<br /><br />PERAN<br />Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan, yaitu seorang yang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya. Artinya, apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia telah menjalankan suatu peranan. Suatu peranan paling tidak mencakup tiga hal berikut :<br />o Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat<br />o Peranan merupakan suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi<br />o Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial.<br />Peranan yang melekat pada diri seseorang harusa dibedakan dengan posisi dalam pergaulan masyarakat. Posisi seseorang dalam masyarakat (social-position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu dalam masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan<br /><br />STATUS<br />Kedudukan (status) diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Sedangkan kedudukan sosial (social status) artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Namun untuk mempermudah dalam pengertiannya maka dalam kedua istilah di atas akan dipergunakan dalam arti yang sama dan digambarkan dengan istilah “kedudukan” (status) saja.<br />Masyarakat pada umumnya mengembangkan dua macam kedudukan(status), yaitu sebagai berikut :<br />o Ascribed Status yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memerhatikan perbedaan-perbedaaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan ini diperoleh karena kelahiran<br />o Achieved Status yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya.<br />Kadang-kadang dibedakan lagi satu macam kedudukan, yaitu Assigned Status yang merupakan kedudukan yang diberikan. Status ini sering berhubungan erat dengan Achieved Status, dalam arti bahwa suatu kelompok atau golonganmemberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat<br />NILAI Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menanggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Woods mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.<br />Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara apda masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.<br />Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Contohnya ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan pertimbangan nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.<br />o Kimball Young<br />Mengemukakan nilai sosial adalah asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang dianggap penting dalam masyarakat<br />o A.W.Green<br />Nilai sosial adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek<br />o Woods<br />Mengemukakan bahwa nilai sosial merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama serta mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari<br />o M.Z.Lawang<br />Menyatakan nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan,yang pantas,berharga,dan dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang bernilai tersebut<br />o D.Hendropuspito<br />Menyatakan nillai sosial adalah segala sesuatu yang dihargaii masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan kehidupan manusia(smaeli-pare.org)<br /><br />NORMA<br />Norma dalam sosiologi adalah seluruh kaidah dan peraturan yang diterapkan melalui lingkungan sosialnya. Sanksi yang diterapkan oleh norma ini membedakan norma dengan produk sosial lainnya seperti budaya dan adat. Ada/ tidaknya norma diperkirakan mempunyai dampak dan pengaruh atas bagaimana seseorang berperilaku.<br />Dalam kehidupannya, manusia sebagai mahluk sosial memiliki ketergantungan dengan manusia lainnya. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok, baik kelompok komunal maupun kelompok materiil.<br />Kebutuhan yang berbeda-beda, secara individu/kelompok menyebabkan benturan kepentingan. Untuk menghindari hal ini maka kelompok masyarakat membuat norma sebagai pedoman perilaku dalam menjaga keseimbangan kepentingan dalam bermasyarakat<br /><br />BUDAYA/KEBUDAYAAN<br />Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. <br />Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.<br />Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.<br />Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat<br /> <br />BAB III<br />PENUTUP<br /><br />SIMPULAN<br />Peranan adalah aspek dinamis dari kedudukan, yaitu seorang yang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya.<br />Status adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Sedangkan kedudukan sosial (social status) artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Namun untuk mempermudah dalam pengertiannya maka dalam kedua istilah di atas akan dipergunakan dalam arti yang sama dan digambarkan dengan istilah “kedudukan” (status) saja.<br />Nilai (Nilai Sosial) adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat.<br />Norma adalah seluruh kaidah dan peraturan yang diterapkan melalui lingkungan sosialnya.<br />Budaya adalah hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.<br />Kebudayaan merupakan keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat<br />SARAN<br /> Seharusnya manusia sadar akan peranannya di dalam masyarakat itu, menghargai nilai-nilai yang dipercaya oleh mayarakat, status sosial seseorang di nilai dari ke aktifan orang itu di dalam masyarakat<br /> Norma masyarakat yang di buat oleh masyarakat dan untuk masyarakat, seharusnya harus di patuhi bukannya di langgar, namun ada kalanya norma itu dilanggar ketika norma itu melanggar agama dll.<br /> Hargai orang lain, supaya kita dihargai oleh rang lain karena tingkah laku kita mempengaruhi kedudukan sosial kita.<br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Soerjono Soekanto.2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada<br />Ensiklopedi Indonesia, 16.45, 18 Februari 2009 www.id.wikipedia.orgAlumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-67877178371143468642010-01-10T07:09:00.000-08:002010-01-10T07:10:29.494-08:00KEBUDAYAAN DAN KEPRIBADIANA. PENGERTIAN KEBUDAYAAN<br />Aristoteles mengatakan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk monodualisme. Artinya, setiap manusia memiliki dua naluri pokok yang bertentangan. Yang pertama adalah keinginan untuk berhubungan dengan Khaliknya (sebagai makhluk individu), dan yang kedua adalah keinginan untuk berhubungan dengan individu lain dalam konteks masyarakat (sebagai makhluk sosial). Begitu juga dengan kebudayaan dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan nyata yang selamanya merupakan dwi tunggal, yang mana tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan dan tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat.<br />Sementara itu Selo Soemardjan mendefinisikan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Sedangkan menurut Paul B. Horton, masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatan dalam kelompok itu. Pada bagian lain Horton mengemukakan bahwa masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.<br />Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa ciri-ciri suatu masyarakat pada umumnya adalah sebagai berikut: <br />1. Manusia yang hidup bersama sekurang-kurangnya terdiri atas dua orang.<br />2. Bercampur atau bergaul dalam waktu cukup lama. Berkumpulnya manusia akan menimbulkan manusia-manusia baru. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbul sistem komunikasi dan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia.<br />3. Sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan.<br />4. Merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena mereka merasa dirinya terkait satu dengan yang lainnya.<br />Untuk terbentuknya suatu masyarakat paling sedikit harus terpenuhi tiga unsur berikut.<br />1. Terdapat sekumpulan orang.<br />2. Berdiam atau bermukim di suatu wilayah dalam waktu yang relatif lama<br />3. Akibat dari hidup bersama dalam jangka waktu yang lama itu menghasilkan kebudayaan berupa sistem nilai, sistem ilmu pengetahuan dan kebudayaan kebendaan.<br />Dari pendapat beberapa ahli tersebut, dapat dilihat bahwa kebudayaan itu adalah unsur yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Pentingnya kebudayaan tersebut dapat disimpulkan dari pendapat dua antropolog yatu Melvile J. Herkovits dan Bronislaw Malinowski yang mengemukakan pengertian Cultural Determinism yang berarti bahwa segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Selanjutnya, kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang super organik, karena kebudayaan itu tetap ada secara turun temurun dari generasi ke generasi yang seterusnya tetap terus hidup walaupun anggota masyarakatnya telah berganti karena kematian ataupun kelahiran.<br />Secara etimologi, kata kebudayaan berasal dari kata sangsekerta buddayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal, dengan kata lain kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Seorang antropolog, yaitu E.B. Tylor dalam tahun 1871 mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut “Kebudayaan adalah kompleks yang mencangkup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. <br />Dengan kata lain, pengertian kebudayaan mencangkup sesuatu yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, yang mencangkup segala cara-cara atau pola-pola berfikir, merasakan, dan bertindak. Kebudayaan tersebut dimiliki oleh setiap masyarakat, bedanya hanyalah bahwa kebudayaan masyarakat yang satu lebih sempurna daripada kebudayaan masyarakat yang lain dalam perkembangannya untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakatnya.<br />Kesimpulan yang dapat diambil adalah manusia satu yang bersatu dengan manusia lainnya dalam suatu wilayah tertentu akan membentuk sebuah masyarakat. Dari masyarakat inilah akan lahir nilai-nilai bermasyarakat yang berkembang menjadi kebudayaan. Kebudayaan masyarakat di daerah tertentu akan berbeda dengan kebudayaan masyarakat di daerah lain. Karena setiap kelompok masyarakat memiliki aspek nilai yang berbeda. Dan kebudayaan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa, keadaan geografis dan kepercayan.<br /><br />B. UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN<br />Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun kecil yang merupakan bagian dari kebulatan yang berifat sebagai kesatuan. Melville J. Herskovits melihat unsur-unsur kebudayaan atas; Alat-alat teknologi, Sistem ekonomi, Keluarga, dan Kekuasaan politik.<br />Unsur-unsur besar atau pokok dalam kebudayaan lazim disebut Cultural universal yang berarti unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai pada setiap kebudayaan manapun di dunia ini. Unsur-unsur universal tersebut menurut C. Kluckhonn adalah:<br />• Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, alat-alat transportasi, dan sebagainya)<br />• Mata pencarian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya)<br />• Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan)<br />• Bahasa (lisan maupun tulisan)<br />• Kesenian (seni rupa, suara, gerak, dan sebagainya)<br />• Sistem pengetahuan<br />• Religi (sistem kepercayaan) segala bentuk aktivitas kepercayaan mulai dari percaya pada dewa, upacara keagamaan dan lain-lain.<br />Menurut Ralph Linton, unsur-unsur tersebut dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang lebih kecil atau dapat disebut dengan Cultural Activity. Contoh: unsur kedua data dijabarkan kedalam aktivitas pertanian, peternakan, produksi, distribusi. Pertanian dapat dijabarkan menjadi aktivitas irigasi, mengolah lahan dengan bajak, dan sistem hak milik atas tanah.<br /><br />C. FUNGSI KEBUDAYAAN BAGI MASYARAKAT<br />Kebudayaan memiliki fungsi yang besar bagi manusia dan masyarakat, karena kekuatan yang harus dihadapi oleh masyarakat dan anggota-anggotanya (misalnya kekuatan alam) yang tidak selalu baik bagi mereka. Ditambah lagi manusia sebagai masyarakat itu sendiri perlu kepuasan baik spiritual maupun material. Apabila manusia sudah dapat mempertahankan diri dan menyesuaikan diri dengan alam serta hidup damai dengan manusia-manusia lainnya, maka akan timbul keinginan untuk menyatakan perasaan dan keinginan yang akan disalurkan seperti kesenian.<br />Jadi, fungsi kebudayaan bagi masyarakat dapat kita bagi sebagai berikut:<br />1. Melindungi diri dari alam<br />Hasil karya manusia melahirkan tekhnologi yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan alamnya. Dengan tekhnologi, manusia dapat memanfaatkan dan mengolah alam untuk kebutukan hidupnya, sehingga manisia dapat menguasai alam.<br /><br /><br />2. Mengatur tindakan manusia<br />Dalam kebudayaan ada norma, aturan kaidah, dan adat istiadat yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengatur bagaimana manusia bertindak dan berlaku dalam pergaulan hidup dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan dinamakan pula sebagai “design for living” artinya kebudayaan adalah garis-garis pokok tentang perikelakuan atau “blue print for behavior”, yang menetapkan peraturan-peraturan mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.<br />Unsur-unsur normativ yang merupakan bagian dari kebudayaan itu diantaranya adalah:<br />• Unsur yang menyangkut pertanian, berhubungan dengan hal-hal yang baik dan buruk, menyenangkan dan tidak menyenangkan. Misalnya, perilaku laki-laki yang memakai anting, kalung, tato, rambut panjang, dan lain sebagainya yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat dan pasti ada yang menilai baik dan buruknya.<br />• Unsur keharusan, yaitu apa yang harus dilakukan seseorang.<br />• Unsur kepercayaan. Misalnya, harus mengadakan upacara adat pada saat kelahiran, perkawinan, kematian, dan lain-lain.<br />3. Sebagai wadah segenap perasaan<br />Kebudayaan berfungsi sebagai wadah atau tempat mengungkapkan perasaan seseorang dalam masyarakat ataupun untuk memuaskan keinginan, misalnya dengan adanya seni-seni dalam masyarakat.<br /><br /><br /><br />D. SIFAT HAKEKAT KEBUDAYAAN<br />Walaupun setiap masyarakat mempunyai kebudayaannya masing-masing, berbeda yang satu dengan yang lainnya, namun setiap kebudayaan memiliki sifat hakekat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan dimanapun juga, sifat hakekat kebudayaan tersebut adalah:<br />• Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia<br />• Kebudayaan telah ada dan terlebih dahulu ada dari pada lahirnya sutu generasi tertentu, dan tidak akan habis dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.<br />• Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah laku.<br />• Kebudayaan mencangkup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban.<br />• Tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan yang dilarang dan diizinkan.<br /><br />E. KEPRIBADIAN<br />1. Pengertian Kepribadian Secara Umum<br />Seorang tersusun atas dasar fatalitas jasmani dan rohania, di samping ada faktor temperamen, karakter,dan bakat fitalitas jasmani seseorang bergantunng pada konstruksi tubuhnya yang terpengaruh oleh factor-faktor hereditas sehingga keaadaanya dapat di katakan tetap atau konstan dan merupakan daya hidup yang sifatnya jasmanias.<br /><br /><br /><br />2. Pengertian Kepribadian Menurut Beberapa Alih Sosiologi<br />a) Menurut Horton (1982)<br />Kepribadian adalah keseluruhan sikap, perasaan, ekspresi dan temparmen seseorang. Sikap perasaan ekspresi dan tempramen itu akan terwujud dalam tindakan seseorang jika di hadapan pada situasi tertentu. Setiap orang mempunyai kecenderungan prilaku yang baku, atau pola dan konsisten, sehingga menjadi ciri khas pribadinya.<br />b) Menurut Schever Dan Lamm (1998)<br />Ia mendevinisikan kepribadian sebagai keseluruhan pola sikap, kebutuhan, ciri-ciri kas dan prilaku seseorang. Pola berarti sesuatu yang sudah menjadi standar atu baku, sehingga kalau di katakan pola sikap, maka sikap itu sudah baku berlaku terus menerus secara konsisten dalam menghadapai situasi yang di hadapi. <br />3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepribadian <br />a) Warisan Biologis <br />Warisan biologis adalah semua hal yang di terima seseorang sebagai manusia melalui gen kedua orang tuanya atau sifat turunan dari kedua orang tua . <br />Contohnya : ayah Darwin adalah seseorang yang tidak suka banyak berbicara dan suka berdiam diri, maka sifat itu tampa di sadari di miliki juga oleh anaknya Samuel. Contoh lainya adalah ayah otis adalah seorang yang bentuk tubuhnya sangat tinggi dan lebar otomatis otispun akan bertumbuh ke hal yang sama. <br />b) Lingkungan Fisik <br />Pengaruh lingkungan atau fisik terhadap kepribadian manusia paling sedikit di bandingkan factor- factor lainya. Lingkungan fisik tidak mendorong terjadinya kepribadian khusus seseorang. <br />4. Perbedaan Pengertian Orang Pada Zaman Duhulu Dan Orang Pada Zaman Sekarang<br />a) Dulu orang percaya bahwa beberapa unsur kepribadian seperti ambisi, kejujuran, kriminalitas, penimpanan seksual dan sebagainya, merupakan warisan dari orangtua.<br />b) Namun pada zaman sekarang orang lebih percaya beberapa pakar bahkan sifat kepribadian di tentukan oleh pengalaman seperti kemampuan, perestasi, dan prilaku sepenuhnya di tentukak lingkungannya. <br />Hal ini sangat benar karena kita melihat kondisi yang terjadi pada zaman ini, pada umumnya orang tidak dapat melakukan segala sesuatu dengan kepribadianya sendiri tetapi kepribadian itu sangat di pengaruhi oleh kebudayaan.<br />Salah satu contoh yang membutikan bahwa kepribadian di pengaruhi oleh kebudayaan adalah, dulu masyarakat Indonesia pada umumnya tidak pernah mengenakan pakayan seksi, sangat sopan santun ketika bertemu atau akan melewati depan orang yang lebih tua dan sangat menjaga perasaan orang lain Hal ini di laksanakan tampa ada peraturang namun dengan kesadaran daripada pribadi seseorang.<br />Tetapi yang kita temukan sekarang adalah, banyak sekali perilaku yang terjadi dan itu sangat bertentangan dengan kepribadian seseorang pada zaman dulu, ini semua terjadi karena pemanasan global dan perkembangan budaya atau pertukaran budaya antar suatu kelompok suku, bangsa, bahasa, dan benua dapat mempengaruhi kepribadian seseorang.<br /><br />F. KEPRIBADIAN DAN KEBUDAYAAN<br />Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki ribuan pulau dengan jutaan penduduk yang tersebar di seluruh pulau sudah pasti pula memiliki corak budaya yang beraneka ragam. Dari ragam corak budaya ini pula menghasilkan ragam kepribadian individu masyarakat Indonesia. Kepribadian sendiri adalah corak tingkah laku sosial yang meliputi corak kekuatan, dorongan, keinginan, opini dan sikap yang melekat pada seseorang apabila berhubungan dengan orang lain atau menanggapi suatu keadaan.<br />Sedangkan arti Kebudayaan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu – Zain adalah (1) segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia sebagai hasil pemikiran dan akal budinya; (2) peradaban sebagai hasil akal budi manusia; (3) ilmu pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang dimanfaatkan untuk kehidupannya dan memberikan manfaat kepadanya. <br />Selanjutnya Koentjaraningrat dengan mengacu pada pendapat Kluckhohn menggolongkan unsur-unsur pokok yang ada pada tiap kebudayaan dunia, antara lain sebagai berikut.<br />1. Bahasa<br />2. Sistem pengetahuan<br />3. Organisasi sosial<br />4. Sistem peralatan hidup dan teknologi<br />5. Sistem mata pencaharian hidup<br />6. Sistem religi<br />7. Kesenian<br />Masyarakan dan kebudayaan merupakan perwujudan atau abstraksi perilaku manusisa. Kepribadian juga akan mewujudkan perilaku manusia; perilaku manusia dapat dibedakan dari kepribadiannya karena kepribadian merupakan latar belakang perilaku yang ada dalam diri individu. Ketiga hal tersebut mencerminkan kepribadian seseorang tersebut. Contohnya: seseorang yang melihat perselisihan antara dua orang, hal yang mungkin muncul dalam diri orang tersebut adalah keinginan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut dan kegiatannya atau perbuatan yang akan dilakukannya untuk menyelesaikan masalah tersebut disebut tindakan. <br />Pembentukan kepribadian individu pada umumnya dipengaruhi oleh faktor kabudayaan, organisme biologis, lingkungan alam dan lingkungan sosial individu. <br />• Faktor biologis, dapat mempengaruhi kepribadian secara langsung, misalnya seseorang yang mempunyai badan yang lemah secara fisik dapat mempunyai sifat rendah diri atau cacat fisik dan juga bisa mempengaruhi kepribadian seseorang, atau karena kesalahan hormon dalam tubuh manusia akan mempengaruhi kepribadian seseorang. <br />• Faktor lingkungan alam dan lingkungan sosial dalam masyarakat akan dijumpai suatu proses dimana seorang individu mendapatkan pembentukan sikap untuk berperikelakuan sesuai dengan keinginan kelompok (sosialisasi). Secara sosiologis, pembentukan kepribadian seseorang dapat diperoleh melalui proses tersebut yang dimulai sejak kelahirannya. Misalnya seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan yang ketat aturan maka dia akan tumbuh menjadi orang yang teratur.<br />Pengaruh Kebudayaan Terhadap Perkembangan Kepribadian. Berdasarkan definisi kebudayaan dan kepribadian yang telah dikemukakan sebelumnya, kebudayaan memiliki beberapa pengertian, yaitu segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia atau peradaban manusia sebagai hasil pemikiran dan akal budi mereka. Kebudayaan juga diartikan sebagai ilmu pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang dimanfaatkan untuk kehidupannya dan memberikan manfaat kepadanya. Sedangkan kepribadian diartikan sebagai sifat khas dan hakiki seseorang yang membedakan dia dari orang lain. Terdapat lima tipe kebudayaan khusus yang mempengaruhi bentuk kepribadian yaitu:<br />• Kebudayaan khusus atau dasar faktor kedaerahan. Misalnya dalam cara berdagang dan cara meminang antara orang padang dengan jawa berbeda karena pengaruh daerahnya<br />• Cara hidup di desa dan di kota berbeda. Anak yang dibesarkan di desa akan mempunyai sifat irit, percaya diri, sedangkan anak yang dibesarkan di kota bersifat individualistik.<br />• Kebudayaan khusus atau kelas sosial, orang yang memiliki materi yang lebih mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan orang yang berkekurangan<br />• Kebudayaan khusus atas dasar agama, orang yang dididik oleh agama yang berbeda akan memiliki kepribadian yang berbeda pula.<br />• Pekerjaan atau keahlian. Misalnya kepribadian pengajar akan berbeda dengan dokter atau pengacara.<br />Kesimpulannya, kebudayaan diciptakan oleh manusia dalam bermasyarakat sebagai wujud penyatuan cipta, karya dan rasa masing-masing individu untuk membentuk nilai dan norma baru yang berlaku dalam masyarakat itu. Kemudian nilai dan norma tersebut dipatuhi oleh setiap individu sebagai identitas dari suatu kelompok masyarakat tertentu yang membedakan mereka dari kelompok masyarakat lain yang memiliki nilai dan norma yang berbeda.<br />Secara tidak sengaja, kebudayaan kelompok masyarakat tertentu akan terbawa keluar apabila salah seorang anggotanya melakukan hubungan dengan kelompok masyarakat lain yang memiliki kebudayaan berbeda. Di sinilah akan terlihat perbedaan tingkah laku sosial dari anggota masing-masing kelompok. Masing-masing akan membawa tingkah laku sosial yang berlaku di dalam kelompoknya. Itulah yang disebut dengan kepribadian umum dari suatu masyarakat. <br />Namun, perlu diingat bahwa tidak berarti bahwa semua anggota termasuk di dalamnya. Karena kepribadian tidak hanya dibentuk oleh faktor kebudayaan saja. Bisa saja dalam suatu kelompok itu terdapat pula kepribadian yang berbeda-beda dari masing-masing anggotanya, namun tetap ada satu kepribadian umum yang melekat pada diri mereka masing-masing sebagai bagian dari pengaruh kebudayaan itu tadi.<br /><br /><br />G. GERAK KEBUDAYAAN<br />Tidak ada kebudayaan yang statis, setiap kebudayaan pasti dinamis, kebudayaan pasti berubah, gerak tersebut merupakan akibat dari gerak masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan. Selama masyarakat itu dinamis dalam perkembangannya, maka kebudayaan itupun akan dinamis (mengalami perubahan). Kebudayaan akan mengalami perubahan akibat dari akulturasi masyarakatnya. Misalnya, bentuk TV, radio, pulpen, bentuk baju, dan lain sebagainya yang kita lihat sekarang ini pasti jauh berbeda dengan yang kita lihat lima atau tiga tahun yang lalu.<br />Dalam akulturasi, tidak semua kebudayaan itu dengan mudah diterima oleh masyarakat, tetapi ada pula yang sulit diterima misalnya menyangkut kepercayaan, idiologi, falsafah hidup, dan makanan pokok. Sedangkan yang mudah bisa diterima misalnya peralatan menulis, radio (alat-alat yang mengandung manfaat), dan alat yang dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat tersebut.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Komsiah, Siti. Modul Pengantar Sosiologi “Kebudayaan Dan Masyarakat”. Pusat Pengembangan Bahan Ajar: Universitas Mercu Buana.<br />Manan, Imran. 1989. Antropologi Pendidikan Suatu Pengantar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta<br />Manan, Imran. 1989. Dasar-Dasar Budaya Pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta<br />file://localhost/D:/Kuliah%20S2/hubungan-kepribadian-dengan-kebudayaan.html<br />file://localhost/D:/Kuliah%20S2/olija_%20PENGERTIAN%20KEPRIBADIAN%20SECARA%20UMUM.mht<br />file://localhost/D:/Kuliah%20S2/Manusia-Kebudayaan-Dan-Kepribadian.htm<br />file://localhost/D:/Kuliah%20S2/pengaruh-kebudayaan-terhadap.html<br />file://localhost/D:/Kuliah%20S2/Kebudayaan.htmAlumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-41181391420227185492010-01-10T06:51:00.000-08:002010-01-10T07:04:45.775-08:00Ilmu Budaya DasarILMU BUDAYA DASAR<br />A. Ilmu Budaya Dasar Sebagai Bagian Dari Matakuliah Dasar Umum<br />Ilmu Budaya Dasar (IBD) merupakan salah satu komponen dari sejumlah matakuliah umum (MKDU) yang merupakan matakuliah wajib di semua perguruan tinggi, baik yang sifatnya eksakta maupun yang non eksakta.<br />Secara khusus MKDU bertujuan untuk menghasilkan warga negara sarjana yang bekualitas sebagai berikut:<br />1. Berjiwa Pancasila sehingga segala keputusan serta tindakannya mencerminkan pengamalan nilai-nilai pancasila dan memiliki integritas kepribadian yang tinggi, yang mendahulukan kepentingan nasionaldan kemanusian sebagai sarjana indonesia.<br />2. Takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya, dan memiliki tenggang rasa terhadap pemeluk agama lain.<br />3. Memiliki wawsan budaya yang luas tentang kehidupan bermasyarakat dan secara bersama-sama mampu berperan serta meningkatkan kualitasnya, maupun lingkungan alamiah dan secara bersama-sama berperan serta didalam pelestariannya.<br />Jadi, pendidikan umum yang menitik beratkan pada usaha untuk mengembangkan kepribadian mahasiswa, pada dasarnya berbeda dengan mata kuliah – mata kuliah bantu yang bertujuan untuk menopang keahlian mahasiswa dalam disiplin ilmunya. Demikian pula berbeda dengan pendidikan keahlian yang bertujuan untuk mengembangkan keahlian mahasiswa dalam bidang atau disiplin ilmunya.<br />B. Pengertian Ilmu Budaya Dasar<br />Secara sederhana IBD adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Istilah IBD dikembangkan petama kali di Indonesia sebagai pengganti istilah basic humanitiesm yang berasal dari istilah bahasa Inggris “the Humanities”. Adapun istilah humanities itu sendiri berasal dari bahasa latin humnus yang artinya manusia, berbudaya dan halus. Dengan mempelajari the humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa the humanities berkaitan dengan nilai-nilai manusia sebagai homo humanus atau manusia berbudaya. Agar manusia menjadi humanus, mereka harus mempelajari ilmu yaitu the humanities disamping tidak meninggalkan tanggungjawabnya yang lain sebagai manusia itu sendiri.<br />Untuk mengetahui bahwa ilmu budaya dasar termasuk kelompok pengetahuan budaya lebih dahulu perlu diketahui pengelompokan ilmu pengetahuan. Prof Dr.Harsya Bactiar mengemukakan bahwa ilmu dan pengetahuan dikelompokkan dalam tiga kelompok besar yaitu :<br />1. Ilmu-ilmu Alamiah ( natural scince ). Ilmu-ilmu alamiah bertujuan mengetahui keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam alam semesta. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode ilmiah. Caranya ialah dengan menentukan hukum yang berlaku mengenai keteraturan-keteraturan itu, lalu dibuat analisis untuk menentukan suatu kualitas. Hasil analisis ini kemudian digeneralisasikan. Atas dasar ini lalu dibuat prediksi. Hasil penelitian 100 5 benar dan 100 5 salah.<br />2. Ilmu-ilmu sosial ( social scince ) . ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk mengkaji keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam hubungan antara manusia. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode ilmiah sebagai pinjaman dari ilmu-ilmu alamiah. Tapi hasil penelitiannya tidak 100 5 benar, hanya mendekati kebenaran. Sebabnya ialah keteraturan dalam hubungan antara manusia initidak dapat berubah dari saat ke saat.<br />3. Pengetahuan budaya ( the humanities ) bertujuan untuk memahami dan mencari arti kenyataan-kenyataan yang bersifat manusiawi. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode pengungkapan peristiwa-peristiwa dan kenyataan-kenyataan yang bersifat unik, kemudian diberi arti.<br />Pengetahuan budaya (the humanities) dibatasi sebagai pengetahuan yang mencakup keahlian (disilpin) seni dan filsafat. Keahlian inipun dapat dibagi-bagi lagi ke dalam berbagai hiding keahlian lain, seperti seni tari, seni rupa, seni musik,dll. Sedangkan ilmu budaya dasar (Basic Humanities) adalah usaha yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Dengan perkataan lain IBD menggunakan pengertian-pengertian yang berasal dari berbagai bidang pengetahuan budaya untuk mengembangkan wawasan pemikiran serta kepekaan mahasiswa dalam mengkaji masalah masalah manusia dan kebudayaan.<br />Ilmu budaya dasar berbeda dengan pengetahuan budaya. Ilmu budaya dasar dalam bahasa Ingngris disebut basic humanities. Pengetahuan budaya dalam bahasa inggris disebut dengan istilah the humanities. Pengetahuan budaya mengkaji masalah nilai-nilai manusia sebagai mahluk berbudaya (homo humanus). Sedangkan ilmu budaya dasar bukan ilmu tentang budaya, melainkan mengenai pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan budaya.<br />C. Tujuan Ilmu Budaya Dasar<br />Penyajian mata kuliah ilmu budaya dasar tidak lain merupakan usaha yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Dengan demikian mata kuliah ini tidak dimaksudkan untuk mendidik ahli-ahli dalam salah satu bidang keahlian yang termasuk didalam pengetahuan budaya (the humanities) akan tetapi IBD semata-mata sebagai salah satu usaha untuk mengembangkan kepribadian mahasiswa dengan cara memperluas wawasan pemikiran serta kemampuan kritikalnya terhadap nilai-nlai budaya, baik yang menyangkut orang lain dan alam sekitarnya, maupun yang menyangkut dirinya sendiri. Untuk bisa menjangkau tujuan tersebut IBD diharapkan dapat :<br />1. Mengusahakan kepekaan mahasiswa terhadap lingkungan budaya, sehingga mereka lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, terutama untuk kepentingan profesi mereka.<br />2. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk memperluas pandangan mereka tentang masalah kemansiaan dan budaya serta mengembangkan daya kritis mereka terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kedua hal tersebut.<br />3. Mengusahakan agar mahasiswa, sebagai calon pemimpin bagnsa dan Negara serta ahli dalam bidang disiplin masing-masing tidak jatuh ke dalam sifat-sifat kedaerahan dan pengkotakan disiplin yang ketat.<br />4. menguasahakan wahana komunikasi para akademisi agar mereka lebih mampu berdialog satu sama lain. Dengan memiliki satu bekal yang sama, para akademisi diharapkan akan lebih lancer dalam berkomunikasi.<br />D. Ruang Lingkup Ilmu Budaya Dasar<br />Bertitik tolak dari kerangka tujuan yagn telah ditetapkan, dua masalah pokok bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan ruang lingkup kajian mata kuliah IBD. Kedua masalah pokok itu adalah :<br />1. Berbagai aspek kehidupan yang seluruhnya merupakan ungkapan masalah kemanusiaan dan budaya yang dapat didekati dengan menggunakan pengetahuan budaya (the humanities), baik dari segi masing-masing keahlian (disiplin) didalam pengetahuan budaya, maupun secara gabungan (antar bidang) berbagai disiplin dalam pengetahuan budaya.<br />2. Hakekat manusia yang satu atau universal, akan tetapi yang beraneka ragam perwujudannya dalam kebudayaan masing-masing jaman dan tempat.<br />Menilik kedua pokok masalah yang bisa dikaji dalam mata kuliah IBD, nampak dengan jelas bahwa manusia menempati posisi sentral dalam pengkajian. Manusia tidak hanya sebagai obyek pengkajian. Bagaimana hubungan manusia dengan alam, dengan sesame, dirinya sendiri, nilai-nilai manusia dan bagaimana pula hubungan dengan sang pencipta menjadi tema sentral dalam IBD. Pokok-pokok bahasan yang dikembangkan adalah :<br />1. Manusia dan cinta kasih.<br />2. Manusia dan Keindahan.<br />3. Manusia dan Penderitaan.<br />4. Manusia dan Keadilan.<br />5. Manusia dan Pandangan hidup.<br />6. Manusia dan tanggungjawab serta pengabdian.<br />7. Manusia dan kegelisahan.<br />8. Manusia dan harapan.<br />Kedelapan pokok bahasan itu termasuk dalam karya-karya yang tercakup dalam pengetahuan budaya. Perwujudan mengenai cinta, misalnya terdapat dalam karya sastra, tarian, musik, filsafat, lukisan, patung dan sebagainya. Masing-masin pokok bahasan dapat didekati dengan baik menggunakan cabang-cabang pengetahuan budaya secara sendiri-sendiri maupun secara gabungan cabang-cabang tersebut. Pokok bahasan manusia dan cinta kasih misalnya, dapat didekati dengan menggunakan karya seni sastra, atau filsafat, atau seni tari dan sebagainya. Disamping itu pokok bahasan manusia dan cinta kasih juga dapat didekati dengan menggunakan gabungan karya seni sastra, karya seni tari, atu filsafat dan sebagainya. Demikian juga pokok-pokok bahasan lain.<br />E. Ilmu Budaya Dasar Dalam Konsep Filsafat<br />Filsafat dalam bahasa arab berati Falsafah, dalam bahasa yunani bersalas dari kata majemuk Philen yang berarti mencintai atau mencari dan Shopos berarti kebijakan atau kebenaran. Filsafat adalah ilmu dari segala ilmu atau ibu dari segala ilmu (Mother Of Science). Objek filsafat antara lain objek materia (sesuatu yang ada dan mungkin ada), objek forma (mencari kebenaran). Filsafat terbagi dalam berbagai ilmu yaitu Natural science dan Social Science. Selain pengertian tersebutt para ahli juga mengartikan filsafat antara lain sebagai berikut:<br /><br />1. Filsafat menurut Plato (yunani).<br />Adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencari kebenaran yang asli.<br />2. Filsafat menurut Al-Farabbi (arab).<br />Adalah ilmu pengetahuan tentang alam sejagat sebagaimana hakikat yang sebenarnya.<br />3. Filsafat Menurut Hasbullah Bakrie (indonesia).<br />Adalah ilmu yang menyelidiki tentang segala sesuatu dengan mendalam mengenai kebutuhan alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan.<br />4. Pengertian filsafat sebagai peganggan.<br />Adalah suatu daya usaha pemikiran manusia yang mendalam dan sungguh-sungguh secara sistem dan radikal untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada menurut keterbatasan manusia sendiri sesuai dengan ilmu dan waktu.<br />Hubungan filsafat dengan kebudayaan, kebudayaan menurut Mukti Ali adalah budi daya tingkah laku manusia yang digerakaan oleh akal dan fikiran serta dengan perasaan.<br />Tujuan filsafat diajarkan pada mahasiswa adalah untukk mewujudkan tujuan ilmu budaya dasar yaitu untuk membantu mahasiswa memperluas wawasan pemikiran mahasiswa karena dengan filsafat senantiasa mendorong seseorang untuk antara lain:<br />1. Berusaha mengetahui apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui.<br />2. Berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahuinya dalam semesta ini.<br />3. Mengoreksi diri berani melihat sejauhmana kebenaran yang telah dicari telah dijangkaunya.<br />4. Tidak apatis terhadap lingkungan dan terhadap nilai yang hidup dalam masyarakat.<br />5. Senantiasa memberikan makna bagi setiap amal perbuatannya.<br />F. Manusia Dan Keindahan<br />Kriteria indah menurut P. Suparman Natawijaya, Indah adalah ekspo bentuk lahiriah yang menunjukan keharmonisan antara bentuk dan isinya. Unsur-unsur indah adalah:<br />1. Menarik Hati.<br />2. Menyentuh Perasaan.<br />3. Mempesona.<br />4. Pantas Dan Harmonis, maksudnya apabila dia sudah mempunyai unsur-unsur; keseimbangan, kebutuhan, kesepadanan, keselarasan.<br />Adapun jenis-jenis keindahan dapat dilihat dari segi berikut:<br />1. Dari segi sipencipta.<br />Keindahaan dapat dibedakan atas dua:<br />a. Keindahan alami.<br />b. Keindahan yang Diciptakan oleh para seniman.<br />2. Dari segi penilaian yaitu:<br />a. Keindahan subjektif.<br />b. Keindahan objektif.<br />3. Dari segi manfaat yaitu:<br />a. Keindahan Sosial.<br />b. Keindahan Moral.<br />c. Keindahan akal.<br />d. Keindahan alami.<br />G. Manusia Dan Cinta Kasih<br />Manusia dan cinta kasih adalah cinta antara pria dan wanita, sebagai contih adalah perkawinan, syarat-syarat perkawinan yang bahagia adalah sebagai berikut:<br />1. Restu dari kedua belah pihak.<br />2. Tidak terjadi hamil sebelum nikah.<br />3. Saling bercengkrama.<br />4. Tidak terjadi cerai.<br />5. Tidak terjadi percekcokan.<br />Kompulsi : Suatu perbuatan yang disadari dan diketahui oleh individu yang bersangkutan akan tetapi seseolah dilakukan diluar kekuasaanya. Walaupun dia tahu perbuatan itu tidak wajar untuk dilakukan.<br />Cara atau langkah-langkah mengobati phobia, secara umum:<br />1. Menentukan diagnosa jenis phobianya.<br />2. Memberi obat penenang.<br />3. Sipenderita didorong untuk mengalami ketakutan semaksimal mungkin dengan tujuan supaya gejala ketakutan akan hilang setelah sipenderita mengalami ketakutan yang mendalam.<br />4. Sipenderita diajak berileks terhadap hal-hal yang ditakuti.<br />Beberapa cara untuk menuj ketentraman hati didalam hidup:<br />1. Tunjukan sikap kita yang tegas terhadap kegagalan.<br />2. Harus kita sadari dengan adanya rasa takut akan menimbulkan gangguan kesehatan.<br />3. Usahakan semaksimal mungkin untuk menghindari rasa takut akan hal-hal yang perlu terjadi.<br />4. Mencari cara baru yang lebih efesien.<br />5. Jangan bertindak suka tergesa-gesa.<br />6. Harus mempunyai sifat pemberani.<br />Frustasi merupakan sesuatu kegagalan, berikut adalah pengertian frustasi oleh para ahli sebagai berikut:<br />1. Zakian Jarajat.<br />Frustasi : Suatu proses yang menyebabkan orang merasa akan adanya hambatan terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan atau menyangka bahwa akan terjadi sesuatu hal yang menghalangi keinginannya.<br />2. Dr. Kartini Kartono.<br />Frustasi : Suatu keadaan dimana suatu kebutuhan tidak dapat terpenuhi. Penyebab frustasi dikarenakan terjadinya bermacam-macam corak kegagalan (disebabkan karena tidak mempunyai integrasi pribadi yang baik).<br />H. Manusia Dan Penderitaan<br />“Siapa yang menjadi musuh terbesar mu?” Dr. Orisson Sweet Marden dalam bukunya “menindas sang wangsaka dan rasa takut” musuh terbesar manusia adalah rasa takut (phobia). Adapun jenis-jenis phobia adalah:<br />1. Cloustro Phobia, adalah rasa takut pada ruangan tertutup.<br />2. Agora Phobia, adalah rasa takut diruangan terbuka atau tempat umum.<br />3. Phobia-phobia petir.<br />4. Phobia-phobia lainnya.<br />Kriteria indah menurut P. Suparman Natawijaya adalah ekspo bentuk lahiriah yang menunjukan keharmonisan antara bentuk dan isinya. Unsur-unsur indah meliputi; menarik hati, menyentuh perasaan, mempesonakan, pantas dan harmonis, menerbitkan opini.<br />Obsesi : pikiran yang bersifat parsisten atau terpaku dan senantiasa berulang-ulang kembali yang mendesakan diri ketaraf kesadaran individu dan timbulnya tidak dapat dielakan ketaraf individu yang bersangkutan.<br />Gejala frustasi antara lain ditandai dengan rasa lesu, cemas-cemas tidak menentu, perasaan hati tidak menentu dan terjadinya perubahan cara hidup atau kebiasaan sehingga frsutasi mengakibatkan akan hilangnya arti dari kehidupan.<br />I. Manusia Dan Keadilan<br />Pengetian hak dalam berbagai teori para ahli:<br />1. Menurut Belangen theorie, hak adalah suatu kepentingan yang terlindung.<br />2. Welmacht theorie oleh benhard wienschit mengartikan hak adalah sebagai kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan yang diberi oleh tata tertib hukum.<br />3. Van Apelldorn, hak adalah sesuatu kekuatan yang diatur oleh hukum.<br />J. Manusia Dan Masyarakat<br />Berikut penjelasan mengenai manusia menurut ahli sosiologis:<br />1. Menurut Aristoteles manusia adalah mahluk sosial yang zoon politicon manusia yang bermasyarakat.<br />2. Dr.P.Y. Baumann, manusia belum bisa dikatakan manusia apabila dia belum hidup bermayarakat.<br />3. MR. Anggelinuss, manusia membutuhkan antaralain: bantuan sesamanya, karena manusia dibekali kepandaian berbicara, karena sifat manusia yang saling membutuhkan.<br /><br />Mengenai hubungan hukum dengan masyarakat menurut:<br />1. Van Apelldorn, bahwa hukum terdapat pada seluruh dunia, asal ada pendapat manusia.<br />2. Logemann, bahwa hukum mempunyai hubungan dengan masyarakat.<br />3. Van Khon, bahwa hukum itu hanya terdapat di dalam masyarakat.<br />Pengertian hukum menurut para ahli:<br />1. Menurut Meyers.<br />Hukum adalah semua aturan yang mengandung semua pertimbangan kesusilaan ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melakukan tugasnya.<br />2. Dr.T. Utrecht.<br />Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang berisi perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu mayarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebutdapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintahan masyarakat itu.<br />3. JHP Bellefroid.<br />Hukum adalah ketentuan yang berlaku disuatu negara yang mengatur tata tertib dalam masyarakat didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat itu.<br />Unsur-unsur hukum adalah:<br />1. Memuat peraturan tingkah laku manusia.<br />2. Peraturan ini dibuat oleh badan resmi yang berwenang.<br />3. Peraturan ini bersifat memaksa.<br />4. Sanksi yang tegas dan nyata.<br />Ciri-ciri hukum:<br />1. Peraturan tegas dan nyata.<br />2. Peraturan mempunyai sanksi.<br />Tujuan hukum:<br />1. Prof. Subekti, adalah untuk mengatur pergaulan hidup manusia yan tujuannya untuk mendatangkan kemakmuran pada rakyat.<br />2. Teori Etis, adalah semata-mata untuk menghendaki adanya keadilan.<br />3. Teori Utilitys, adalah untuk mewujudkan apa yang berfaedah bagi orang-orang.<br />4. Bellefroid, ada 2 azas yaitu azas keadilan dan azas faedah.<br />Pendorong keadilan adalah:<br />1. Tidak berlaku berat sebelah.<br />2. Memperluas pandangan atau wawasan dari beberapa sudut.<br />3. Yang dijadikan seni adalah ketentuan hukumAlumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-26504210225121319162010-01-10T06:48:00.000-08:002010-01-10T06:51:07.179-08:00HUKUM PERDATAPendahuluan<br />Dasar Hukum berlakunya Hukum Perdata di Indonesia terdapat pada<br />Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945. Apakah Hukum Perdata berlaku seluruhnya ?<br />Jawab :<br />· Tidak, karena ada UU lain yang berlaku dan mempengaruhi<br />berlakunya Hukum Perdata.<br />UU yang mempengaruhi berlakunya Hukum Perdata :<br />· UU Pokok Agraria (UUPA)<br />Menyatakan bahwa “semua ketentuan dalam buku ke 2 KUHPer<br />tentang BENDA, sejauh mengatur tentang bumi (tanah), air, dan<br />kekayaan alam yang terkandung didalamnya termasuk Hak<br />Tanggungan atas Tanah tidak berlaku lagi”, kecuali tentang<br />HIPOTIK.<br />Ketentuan Hipotik yang masih berlaku adalah Hipotik Pesawat<br />Terbang dan Kapal Laut.<br />· UU Perkawinan (No.1 Tahun 1974)<br />Pasal 66 UU Perkawinan menyatakan “Untuk perkawinan dan<br />segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan<br />berdasarkan atas UU ini”.<br />Maka dengan berlakunya pernyataan tersebut (UU ini) ketentuan<br />– ketentuan perkawinan yang diatur dalam KUHPer sejauh telah<br />diatur dalam UU ini dinyatakan tidak berlaku.<br />· SEMA No.3 / 1963<br />MA mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang<br />menyatakan “KUHper bukan lagi sebagai UU tetapi sebagai<br />dokumen hukum yang tertulis”. Dengan kata lain SEMA ini<br />berusaha mencabut KUHPer.<br />Dengan adanya SEMA itu, mengapa KUHPer masih berlaku ?<br />Jawab : Penyebab KUHPer masih terus berlaku :<br />· Aspek Yuridis dan Politis<br />SEMA dibuat dengan lebih bermuatan politis, karena secara<br />historis SEMA dibuat dengan sebab adanya pendapat pantaskah<br />indonesia menggunakan KUHPer jaman kolonial, sementara<br />negara ini sudah merdeka ?. Padahal KUHPer merupakan suatu<br />aspek Yuridis, bukan Politis, jadi KUHPer tetap dapat berlaku.<br />· Aspek (Lembaga) Yudikatif dan Legislatif<br />SEMA dibuat oleh lembaga Yudikatif (MA) sedangkan seharusnya<br />suatu perundang-undangan merupakan produk Legislatif<br />(termasuk KUHPer). Maka SEMA bukan suatu ketentuan yang<br />termasuk dalam Hirarki Per-UU-an dan tidak dapat menghentikan<br />berlakunya KUHPer.<br />Dalam KUHPer berlaku sistem DUALISME, yaitu menjalankan 2 Hukum<br />yang berlaku di dalam masyarakat :<br />· Hukum Adat<br />· Hukum Perdata Murni (Positif).<br />HUKUM PERDATA<br />Sistimatika Hukum Perdata dibagi menjadi beberapa bagian, dalam<br />beberapa bagian Buku, yaitu ;<br />1. Buku 1, Tentang Orang<br />2. Buku 2, Tentang Benda<br />3. Buku 3, Tentang Perikatan<br />4. Buku 4, Tentang Pembuktian dan Daluwarsa.<br />Menurut beberapa ahli hukum sistimatika ini salah, karena masih banya<br />kelemahan didalamnya. Kelemahan sistimatika hukum perdata ini adalah ;<br />1. Pada Buku 2, ternyata mengatur (juga) tentang hukum waris.<br />Menurut penyusun KUHPer, hukum waris dimasukkan KUHPer karena<br />waris merupakan cara memperoleh hak milik. Ini menimbulkan<br />Tindakan Kepemilikan : Segala tindakan atas sesuatu karena adanya<br />hak milik (Menggunakan, Membuang, Menjual, Menyimpan,<br />Sewakan, dll).<br />2. Pada Buku 4, tentang Pembuktian dan Daluwarsa, KUHPer (juga)<br />mengatur tentang Hukum Formil. Mestinya KUHPer merupakan<br />Hukum Materiil, sedangkan Hk. Formil nya adalah Hukum Acara<br />Perdata.<br />Atas perbedaan pendapat para ahli tersebut, kemudian muncul sistematika<br />hukum perdata menurut Ilmu Pengetahuan (Doktrin) :<br />1. Buku 1, Tentang Orang<br />2. Buku 2, Tentang Hukum Keluarga<br />3. Buku 3, Tentang Hukum Harta Kekayaan<br />4. Buku 4, Tentang Hukum Waris.<br />BUKU 1, TENTANG ORANG.<br />Orang, pada dasarnya bukan manusia. Tetapi Manusia itu pasti Orang.<br />Orang menurut Perdata dibagi menjadi 2 ;<br />1. Natuurlijk Persoon, yaitu Manusia.<br />2. Recht Persoon, yaitu Badan Hukum.<br />Yang kemudian disebut Subyek Hukum :<br />· Subyek Hukum adalah sesuatu yang dapat memperoleh hak dan<br />kewajiban, atau merupakan pendukung hak dan kewajiban.<br />Wujud subyek hukum tersebut 2 point diatas.<br />1. Natuurlijk Persoon<br />· Pertanyaan : Sejak kapankah manusia menjadi subjek<br />hukum, sejak dalam kandungan atau kelahiran ?<br />· Jawaban : Sejak dilahirkan hingga kematian. Namun, pasal 2<br />menyebutkan “anak dalam kandungan dianggap sudah<br />dilahirkan jika kepentingan anak menghendaki dan ia lahir<br />dalam keadaan hidup”.<br />Dengan adanya Pasal 2 ini muncul pengecualian yang kemudian<br />menyatakan :<br />“Semua manusia merupakan Subyek Hukum sejak dalam kandungan<br />BILAmana ia memiliki kepentingan yang menghendaki dan<br />dilahirkan dalam keadaan hidup”<br />Pasal diatas hanya merupakan pengecualian, tidak berlaku umum,<br />hanya pada hal-hal tertentu dimana kepentingan menghendaki. Contoh<br />Kepentingan yang menghendaki yaitu Waris.<br />Namun demikian, manusia yang dimaksud tersebut belum dapat<br />melakukan Perbuatan Hukum, karena masih dibawah umur (belum dewasa)<br />sehingga tidak cakap bertindak. Dengan demikian ia dapat memperoleh<br />perwalian atas perbuatan hukum untuk kepentingannya.<br />Subyek Tidak Cakap Hukum :<br />· Anak dibawah umur (belum dewasa). Hk.Pdt:21, UU.1/74:18.<br />· Orang dibawah pengampuan.<br />Yaitu “Orang yang sudah dewasa karena alasan tertentu<br />dinyatakan tidak cakap melakukan perbuatan hukum”.<br />Contoh : Orang Gila, Sakit Ingatan, Pikun, Boros, Pemabuk.<br />Orang diakui berada dalam pengampuan apabila keluarganya<br />telah mengajukan permohonan pengampuan dan ia sendiri<br />kemudian telah terdaftar di Pengadilan Negeri setempat<br />berdasarkan putusan Hakim. Orang dalam Pengampuan akan<br />memiliki kekebalan hukum karena kondisinya yang memaksa<br />demikian.<br />· Seorang Istri.<br />Menurut Hukum Perdata, seorang istri merupakan subyek<br />tidak cakap hukum.<br />Namun berdasarkan UU No.1/1974 Tentang Perkawinan,<br />seorang Istri dinyatakan cakap bertindak / melakukan<br />perbuatan hukum.<br />Dengan ini maka yang berlaku adalah UU Perkawinan,<br />berdasarkan pada asas hukum Lex Posteriori derogat Lex<br />Priore : Hukum yang baru menghapus aturan yang lama.<br />Dengan syarat peraturan baru itu harus sederajat hirarkinya<br />dengan peraturan lama.<br />2. Recht Persoon<br />Menurut Ridwan Sahani ;<br />Rechtpersoon atau Badan hukum adalah Pendukung hak dan<br />kewajiban yang tidak berjiwa sebagai lawan pendukung hak dan kewajiban yang<br />berjiwa (yakni manusia).<br />Badan Hukum merupakan perkumpulan / persekutuan oang-orang<br />tetapi tidak setiap perkumpulan merupakan suatu Badan Hukum.<br />Kriteria Badan Hukum<br />Suatu perkumpulan adalah Badan Hukum jika memenuhi syarat :<br />1. Materiil<br />· Harta kekayaan yang terpisah (p’usahaan dg investor).<br />· Ada Tujuan<br />· Ada kepentingan<br />· Terorganisir<br />2. Formil<br />· Ada pengesahan atau pengakuan dari pemerintah.<br />3. Hukum Perkawinan<br />Pasal 1 UU No.1 / 1974, Pengertian Perkawinan ;<br />“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan<br />seoang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang<br />bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME”<br />(?) Pertanyaan :<br />Apakah perkawinan sejenis diperbolehkan ? Bagaimana dengan<br />kawin kontrak ?<br />Jawab :<br />Tidak. Perkawinan sejenis melawan pasal 1, ...antara seorang pria<br />dan wanita... . Untuk kawin kontrak juga melawan pasal 1, ...bahagia dan kekal<br />berdasarkan Ketuhanan YME. Kawin kontrak bersifat sementara dan tidak kekal.<br />Sah-nya Perkawinan<br />Pasal 2 UU No.1/1974 ;<br /> Ayat 1 : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing<br />agama atau kepercayaannya itu.<br /> Ayat 2 : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan per-UU-an yang<br />berlaku.<br />Menurut hukum Perdata dalam perkawinan mengesampingkan Hukum Agama,<br />yang penting didaftarkan maka perkawinan itu dianggap sah.<br />(?) Pertanyaan :<br />· Apakah ayat 1 dan 2 harus terpenuhi (secara<br />kumulatif/bersamaan) untuk mengesahkan perkawinan ? (Harus<br />b’dasarkan agama dan harus didaftarkan ?).<br />· Lalu apakah fungsinya pendaftaran/pencatatan ?<br />(!) Jawab :<br />· Pendapat 1 : Perkawinan dicatatkan atau tidak tetap sah, pencatatan<br />hanya untuk memenuhi segi admimistratif.<br />· Pendapat 2 : Perkawinan harus b’dasarkan hukum agama dan harus<br />dicatatkan (keduanya secara kumulatif) baru dapat dikatakan sah.<br />Pendapat ini beralasan berdasarkan pada perlindungan hukum bagi pihakpihak<br />yang melakukan perkawinan.<br />Misalnya : Perkawinan bawah tangan mempersulit masalah waris, atau<br />pengakuan sah atau tidaknya (akta) kelahiran seorang anak,dsb.<br />(?) Pertanyaan :<br />· Berdasarkan pasal 2 ayat 1, bolehkah perkawinan beda agama ?<br />(!) Jawab :<br />· Dilihat dari masalah teknis (implementasi pasal 2 ayat 1 & 2) sudah<br />menimbulkan masalah, namun ini bukan melawan UU.<br />· Ternyata UU No.1/1974 tidak mengatur (dg jelas) perkawinan beda<br />agama, jika demikian (tidak diatur UU) maka dasar hukumnya adalah asas<br />kepatutan atau kepantasan.<br />· Terjadi kekosongan hukum pada UU No.1/1974, maka dasar hukum dapat<br />dikembalikan pada Kitab Hukum Perdata (BW). Namun ternyata BW<br />sendiri tidak mengaturnya. Maka kita dapat menggunakan hukum agama<br />atau kepercayaan kita.<br />Uts limit<br />BUKU 2, TENTANG BENDA<br />Buku ke-2 mengatur tentang Benda menganut sistem tertutup, berbeda<br />dengan Buku ke-3, yang menganut sistem terbuka.<br />Sistem Tertutup : Orang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan yang baru<br />selain yang sudah ditetapkan oleh UU.<br />Sistem Terbuka : Orang boleh membuat perjanjian walaupun perjanjian itu belum<br />(atau tidak) diatur dalam UU.<br />Karena menganut sistem tertutup, hak kebendaan harus sesuai seperti<br />yang sudah ditetapkan UU. (Harus berdasarkan UU, tidak boleh mendasarkan<br />pada ketentuan lain seperti perjanjian,dsb.)<br />Berlakunya Buku ke-2 sangat dipengaruhi oleh UUPA No.5/1960.<br />Sepanjang menyangkut Bumi, Air, dan Kekayaan yg Terkandung didalamnya<br />Burgerlijk Wetboek dinyatakan tidak berlaku lagi kecuali ketentuan tentang<br />HIPOTIK.<br />Buku ke-2, karena adanya UUPA dan sepanjang diatur oleh UUPA, maka ;<br />1. ada pasal yang tak berlaku lagi (co : tentang tanah)<br />2. ada pasal yang tak berlaku sepenuhnya.<br />3. ada pasal yang berlaku sepenuhnya.<br />Contoh :<br />· Hipotik atas tanah tidak berlaku lagi (sejak 1996)<br />· Hipotik yang masih berlaku adalah pada Pesawat, Kapal, dan<br />ketentuan khusus lainnya.<br />BENDA<br />Pengertian secara yuridis dalam pasal 499 BW ;<br />“Segala sesuatu yang dapat dijadikan objek hak milik”<br />· Dalam konsep Perdata, MANUSIA bukan benda karena tidak dapat<br />dijadikan objek hak milik.<br />· Dalam konsep Pidana, MAYAT merupakan benda sebagai objek hak milik<br />bagi ahli warisnya.<br />Macam Benda<br />1. B. Bergerak dan Tak Bergerak (Tetap).<br />2. B. Habis Pakai dan Tak Habis Pakai.<br />3. B. Yg sudah ada dan B. Yg masih akan ada.<br />4. B. Yg dapat dibagi dan B. Yg tidak dapat dibagi.<br />Dari bermacam benda tersebut yang paling penting adalah Benda Bergerak dan<br />Benda Tetap.<br />Benda Bergerak<br />Dikatakan benda bergerak karena ;<br />1. Sifatnya, yang mudah digerakkan atau dipindahkan.<br />2. UU menentukan, menyatakan benda itu merupakan B. Bergerak.<br />Macam benda bergerak ;<br />1. Berwujud<br />2. Tak Berwujud.<br />Benda Tetap<br />Dikatakan benda tetao karena ;<br />1. Sifatnya, tidak dapat atau sulit digerakkan atau dipindahkan. Contoh :<br />Tanah dan apa yg ada diatasnya.<br />2. Tujuan pemakaiannya, benda itu dipakai tanpa harus dipindah-pindahkan.<br />Contoh : Mesin Pabrik.<br />3. UU menentukan, menyatakan benda itu sebagai benda tetap. Contoh :<br />Kapal Laut dan Pesawat Terbang.<br />Arti penting Perbedaan B. Bergerak dan B. Tetap<br />Ada 4 arti penting dalam membedakan B. Bergerak dan B. Tetap, yaitu ;<br />1. Bezit, Hak Penguasaan atas Benda<br />2. Levering, Penyerahan atau Pengalihan<br />3. Bezwaring, Pembebanan<br />4. Verjaring, Daluwarsa<br />1. BEZIT (Hak Penguasaan atas Benda)<br />Pasal 1977 BW ;<br />· B. Bergerak : Tidak perlu Bukti Kepemilikan sebagai Hak<br />Penguasaan, Pemegang benda bergerak (beziter) dianggap sebagai<br />pemilik (eighiner) benda bergerak tersebut.<br />· B. Tetap : Perlu Bukti Kepemilikan, Pemegang benda tetap belum<br />tentu sebagai pemilik, ia harus punya bukti kepemilikan.<br />2. LEVERING (Penyerahan atau Pengalihan)<br />· B. Bergerak : Penyerahan dilakukan secara nyata.<br />· B. Tetap : Penyerahan dilakukan secara hukum, atau balik nama.<br />(?) Pertanyaan<br />Kenapa kendaraan bermotor sebagai B. Bergerak harus melalui<br />levering balik nama ?<br />(!) Jawab<br />Ada “PENDAPAT” (awas cuma pendapat) pembedaan diatas ini sudah<br />tidak relevan, yg relevan sekarang adalah B. Terdaftar dan Tidak<br />Terdaftar.<br />3. BEZWARING (Pembebanan)<br />Arti pembebanan : contoh, ketika suatu benda dijadikan suatu jaminan, ia<br />dikuasai oleh orang lain. Penjaminan itulah yang disebut pembebanan.<br />· B. Bergerak : Ada Pembebanan (Bezwaring)<br />· B. Tetap : Tidak ada Pembebanan (Bezwaring)<br />4. VERJARING (Daluwarsa)<br />· B. Bergerak : Tidak ada Daluwarsa (Verjaring)<br />· B. Tetap : Ada Daluwarsa (Verjaring)<br />HAK KEBENDAAN<br />Ialah hak MUTLAK atas suatu benda dimana hak itu memberikan<br />kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap<br />siapapun juga.<br />Kedudukan Hak Kebendaan dalam Hak Keperdataan ;<br />Hak Keperdataan ada 2 macam, HAK MUTLAK dan HAK RELATIF.<br />HAK MUTLAK ;<br />· Hak Kepribadian, co : hak untuk hidup, hak atas nama baik, dll.<br />· Hak dalam Hk. Keluarga : hubungan anak-ortu, suami-istri, dsb.<br />· Hak mutlak atas suatu benda : hak kebendaan, dll.<br />HAK RELATIF ;<br />· Hak ini muncul akibat adanya perjanjian.<br />Maka dg demikian, hak kebendaan memiliki kedudukan didalam dan sebagai HAK<br />MUTLAK dalam Hak Keperdataan.<br />Sifat Hak Kebendaan<br />a. Mutlak, hak dapat dipertahankan terhadap siapapun, harus dihormati dan<br />ditaati oleh siapapun.<br />b. Droit de Suit (Mengikuti), hak mengikuti benda itu dimanapun dan pada<br />siapapun benda itu berada.<br />c. Droit de Preferen (Didahulukan), hak selalu mendahulukan pemilik hak<br />kebendaan bila muncul suatu perkara.Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-7206124969695009722010-01-10T06:25:00.000-08:002010-01-10T06:48:10.015-08:00HUKUM TATA NEGARA<span style="font-weight:bold;">PENGERTIAN HUKUM TATA NEGARA</span><br />A. Pengertian<br />Hukum tata Negara dalam arti luas meliputi :<br />1. Hukum tata usaha Negara/ hukum administrasi / hukum pemerintah<br />2. hukum tata Negara<br />Hukum tata Negara dalam arti sempit, ialah Hukum tata Negara<br />Jadi kesimpulan hukum tata Negara menurut para pakar adalah:<br />Peraturan-peraturan yang mengatur organisasai Negara dari tingkat atas<br />sampai bawah,sturktur,tugas&wewenang alat perlengkapan Negara<br />hubungan antara perlengkapan tersebut secara hierarki maupun<br />horizontal,wilayah Negara,kedudukan warganegara serta hak-hak asasnya.<br />B. HUBUNGAN HUKUM TATA NEGARA DENGAN ILMU LAIN<br />1. Hubungan hukumk tataNegara dengan ilmu Negara<br />· Segi sifat<br />intinya dari segi itu ilmu Negara menitik beratkan pada teorinya<br />sedangkan hukum tata Negara adalah pelaksanaannya.<br />· Segi manfaat<br />Ilmu Negara merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki<br />pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi dasar teoritis yang<br />bersifat umum untuk hukum tata Negara. Karenanya untuk<br />mengerti hukum tata Negara harus terlebih dahulu memiliki<br />pengetahuan secara umum tentang ilmu Negara. Dengan demikian<br />ilmu Negara dapat memberkan dasar teoritis untuk hukum tata<br />Negara positif, da hukum tata Negara merupakan penerapan di<br />dalam kenyataan bahan-bahan teoritis dari ilmu Negara.<br />2. Hukum tata Negara dengan ilmu politik<br />· Terbentuknya UU<br />Terbentuknya UU diisi dengan kebijakan politik yang ditarik pada<br />waktu penysunanya, kita perhatikan pembukaan UUD, disitu jelas akan mengetahui politik suatu Negara. Begitu pula dengan<br />amandemen UUD 45 oleh MPR.<br />· Retifikasi yang dilakukan DPR dalam pembentukan UU,<br />rancangannya dipengaruhi oleh suara wakil rakyat yang ada dalam<br />DPR, sedangkan DPR merupakan wakil dari organ-organ politik.<br />3. Hubungan hukum tata Negara dengan hukum administrasi Negara<br />Dikatakan berhubungan, karena hukum tata Negara dalam arti sempit<br />adalah bagian dari hukum administrasi.<br />· Hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara ada perbedaan<br />secara prinsipil ( asasi), karena kedua ilmu tersebut dapat dibagi<br />secara tajam, baik sistematik maupun isinya (C.V.Vollenhoven, JHA.<br />Logeman dan Stellinga)<br />· Hukum tata Negara untuk mengetahui organisasi Negara serta<br />badan lainya, sedangkan hokum administrasi Negara menghendaki<br />bagaimana caranya Negara serta organ-organ melakukan tugas.<br />· Hukum tata Negara dan hokum administrasi tidak ada perbedaan<br />secara prinsipil , melainkan hanya pertimbangan manfaat saja (R.<br />Kranenburg)<br />C. CARA PENDEKATAN DALAM HUKUM TATA NEGARA<br />1) Pendekatan yuridis formil,<br />pada asas-asas hukum yang mendasari ketentuan peraturan .<br />contohnya : perundang-undangan tidak boleh menyimpang dari UUD<br />45<br />2) Pendekatan filosofi,<br />Pada pandangan hidup bangsa. Contohnya: falsafah bangsa Indonesia<br />adalah pancasila<br />3) Pendekatan sosiologis,<br />Pada kemasyarakatan khususnya politis artinya ketentuan yang<br />berlaku hakikatnya merupakan hasil keputusan politis.<br />4) Pendekatan historis,<br />pada sudut pandang sejarah . contohnya kronologis pembuatan<br />BAB II SUMBER HUKUM TATA NEGARA INDONESIA<br />A. Pengertian<br />Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan<br />yang menimbulkan peraturan yang bersifat memaksa dan memiliki sanksi<br />yang tegas dan nyata.<br />Sumber hukum tata Negara di Indonesia adalah: segala bentuk dan wujud<br />peraturan hukum tentang ke tata negaraan yang beresensi dan<br />bereksistensi di Indonesia dalam suatu system dan tata urutan yang telah<br />di atur.<br />1. Sumber hukum formil,<br />adalah sumber hokum yang dikenal dalam bentuknya, yaitu<br />merupakan ketentuan –ketentuan yang telah mempunyai bentuk<br />formalitas, dengan kata lain sumber hukum yang penting bagi pakar<br />hokum. Sumber hukum formil meliputi :<br />a. UU<br />b. Kebiasaan dan adat<br />c. Perjanjian antara Negara (traktat)<br />d. Keputusan hakim (yudisperdensi)<br />e. Pendapat/ pandangan para ahli (dokrin)<br />2. Sumber hukum materil<br />Adalah sumber hukum yang menentukan “isi” hukum, diperlukan jika<br />akan menyediakan asal-usul hukum dan menentukan isi hokum.<br />Pancasila disebut juga sebagai sumber hukum dalam arti materil,<br />karena:<br />a. Pancasila merupakan pandangan hidup dan falsafah Negara<br />b. Pancasila merupakanjiwa dari setiap peraturan perUU atau semua<br />hukum.<br />c. Pancasila merupakan isi dari sumber tertib hokum, artinya<br />d. Bahwa pancasila adalah pandangan hidup, kesadaran dan cirta-cita<br />hukum serta moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari<br />rakyat Negara Indonesia.<br />Adapun menifer sumber dari segala hokum bagi rakyat Indonesia<br />meliputi :<br />1. Proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945<br />Dilahirkan UUD45 sebagai dasar tertulis, yang terdiri dari<br />pembukaan, batang tubuh serta peraturan peralihan UUD 45<br />Pasal III<br />2. Dekrit presiden 1959<br />Merupakan sumber bagi berlakunya kembali UUD 45, yang<br />dikeluarkan berdasarkan hokum darurat Negara.<br />Dalam masa ini lahirlah piagam Jakarta (22 juli 1945),<br />hukumnya bersumber pada dukungan rakyat Republik Idonesia.<br />Adanya dekrit ini dikarenakan pemerintahan masa itu yang<br />menganut system liberal yang bertentangan dengan dasar dari<br />pancasila yang menganut system demokrasi terpimpin. Adapun<br />isi dari dekrit itu ialah:<br />1. Bubarkan konstituante<br />2. Kembali ke UUD 45 dan tidak berlakunya UUD S 50<br />3. Pembentukan MPRS dan DPRS<br />3. UUD proklamasi<br />Merupakan perwujudan dari tujuan proklamasi dan merupakan<br />tujuan dari NKRI yang terdiri atas adanya pembukaan , batang<br />tubuh UUD 45<br />4. Surat perintah 11 maret 1996 ( super semar )<br />keluarnya super semar ini karena adanya penyimpangan dan<br />penyelewengan jiwa dan ketentuan UUD 45 yang berlandaskan<br />ideal dan stuktural revolusi Indonesia sejak berlakunya kenbali<br />pada tanggal 5 juli 1959, tindakan yang dilakukan atas keluarnya<br />supersemar ini adalah, pembubaran pki dan ormas-ormasnya<br />dan Pengamanan beberapa mentri pada 18 maret 1966.<br />BAB III konstitusi<br />A. Pengertian<br />Konsititusi adalah keseluruhan system ketata negaraan suatu Negara,<br />yaitu berupa kumpulan peraturan yang membentuk , mengatur atau<br />memerintah Negara.<br />Jadi konstitusi<br />dalam arti luas, Adalah keseluruhan dasar atau hkum dasar yang tertulis<br />atau pun tidak ataupn campuran.<br />Dalam arti sempit , adalah piagam dasar (UUD) yaitu dokumen lengkap<br />mengenai peraturan dasar Negara misalnya UUD RI 1945, konstitusi<br />USA1787.<br />B. PEMBAGIAN DAN KLASIFIKASI KONSTITUSI<br />1. Konstitusi absolute ( absolute begrif der verfassung )<br />2. Konstitusi relative ( relative begrif der verfassung )<br />3. Konstitusi positif ( positive begrif der verfassung )<br />4. Konstitusi ideal ( ideal begrif der verfassung )<br />1. Konstitusi absolute, dibagi dalam :<br />· Konstitusi sebagai kesatuan organisasi yang nyata yang<br />mencangkp bangunan hokum<br />· Konstitusi sebagai bentuk Negara dalam arti keseluruhan ( bentuk<br />Negara demokrasi )<br />· Konstitusi sebagai factor integritas, bersifat abstrak dan<br />fungsional . contohnya bendera sebagai lambing Negara<br />· Konstitusi sebagai system tertutup dari norma hokum, jadi<br />konstitusi adalah norma dasar sebagai sumber hokum bagi norma<br />lainnya.<br />2. Konstitusi dalam arti relative<br />Adalah konstitusi untuk golongan tertentu. Konstitusi ini di bagi<br />kedalam:<br />· Konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis liberal<br />· Konstitusi sebagai arti rormal tertulis ( berhubungan supaya hakhak<br />tidak dilanggar oleh pengasa)<br />3. Konstitusi dalam arti positif<br />Adalah putusan yang tertinggi berhubungan dengan pembuatan UUD<br />yang menentukan nasib seluruh rakyatnya.<br />Yaitu proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945<br />4. Konstitusi dalam arti ideal<br />Adalah konstitusi yang berisi jaminan bagi rakyatnya agar hakhaknya<br />dilindungi.<br />C. Nilai konstitusi<br />1. Nilai normatif, di dapat jika penerimaan segenap rakyat suatu Negara<br />oleh konstitusi benar-benar secara murni dan konsekwen.<br />2. Nilai nominal, adanya batasan masa berlakunya suatu konstitusi.<br />Contohnya, PPKI<br />3. Nilai sematik, konstitusi hanya sekedar istilah. Contohnya, UUD 45<br />masa orde baru hanyalah di gunakan untuk alat pemuas penguasa ,<br />tidak di jalankan secara sungguh-sungguh.<br />D. Sifat konstitusi<br />1. Formil dan materil<br />Formil adalah konstitusi yang tertulis dalam suatu ketata negaraan,<br />konstitusi ini dapat berfungsi atau bermakna jika telah berbentuk<br />naskah tertulis dan diundangkan. Contohnya, UUD 45<br />Materil adalah konsyitusi yang dilihat dari segi isinya<br />2. Flexible ( flexsible conctitution ) dan rigid ( rigid concituation )<br />dikatakan flexible jika memiliki ciri:<br />· Elastic, karena dapat dengan mudah menyesuaikan diri<br />· Diumumkan dan di ubah dengan cara yang sama seperti UU<br />Menurut MOH. KUSNARDI dan HARMAILY IBRAHIM dikatakan flexsible<br />dan rigid :<br />- cara mengubah konstitusi<br />- Apakah konstitusi mudah atau tidak mengikuti zaman ( dinamis)<br />3. Tertulis dan tidak tertulis<br />E. Perubahan konstitusi<br />1. Perubahan konstitusi, menurut C. F. Strong<br />a. Kekuasaan legislative<br />Perubahan konstitusi dengan cara ini dilakukan dengan syarat :<br />1. Dalam siding perubahan konstitusi harus di hadiri oleh<br />minimal 2/3 atau 2/4 dari jumlah anggota dan perubahan<br />konstitusi dianggap sah jika usulan perubahan di stujui oleh<br />suara terbanyak ( 2/3).<br />2. Sebelum perubahan dilakukan, lembaga perwakilan rakyat di<br />bubarkan, lalu diadakan pemilu yang baru dan lembaga perwakilan rakyat yang baru ( sebagai konstituante ) yang<br />melakukan perubahan konstitusi.<br />3. Untuk melakukan perubahan DPR dan MPR melakukan siding<br />gabungan, sah jika di setujui oleh 2/3 dari anggotanya.<br />b. Oleh rakyat melalui referendum<br />Perubahan konstituante dengan pendapat langsung dari rakyat.<br />Pendapatnya berupa : referendum, plebisit dan popular vote.<br />Contohnya : referendum di prancis.<br />c. Oleh Negara bagian<br />Terjadi hanya pada Negara federal karena pembentukan Negara<br />federan dilakukan oleh Negara –negara yang membentuknya dan<br />kostitusi adalah bentuk perjanian.<br />d. Dengan konversi ketata negaraan<br />Terjadi jika untuk merubah konstitusi harus adanya badan khusus.<br />Contohnya untuk merubah UUD 50, dibentuk majelis perubahan<br />UUD.<br />e. Menurut K.C W heare, perubahan konstitusi melalui 4 cara :<br />1. Some primary forces ( dengan orang-orang yang berpengaruh )<br />2. formal amendement ( sesuai UU)<br />3. iudicial interpretation ( penafsiran hokum )<br />4. usage and custom ( kebiasaan dan adat istiadat kenegaraan )<br />BAB IV SEJARAH HUKUM TATA NEGARA DI INDONESIA<br />A. Proklamasi kemerdekaan Indonesia<br />1. Arti proklamasi kemerdekaan Indonesia :<br />- lahirnya Negara kesatuan<br />- Puncak perjuangan pergerakan kemerdekaan<br />- Titik tolak dari pada pelakasanaan amanat penderitaan rakyat.<br />2. Lahirnya pemerinatahan indoensia<br />- Lahirnya bangsa Indonesia diawali dengan didirikanya BPPK pada<br />tanggal 29 april 1945, di dalam masa berdirinya badan ini dapat<br />menghasilkan rancangan UUD (16 juli 1945)<br />- PPKI terbentuk pada tanggal 9 angustus 1945, pada masa<br />terbentuknya PPKI menghasilkan :<br />1. Sidang I ( 18 agustus 1945 )<br />· Pembentukan UUD 45<br />· UUD 45<br />· Memilih soekarno sebagai presiden dan mohamat hatta<br />sebagai wakil presiden<br />· Adanya komte nasional, sebagai pembantu presiden<br />2. Sidang II ( 19 agustus 1945)<br />· Pembentukan 12 departemen pemerinatahan<br />· Pembagian wilayah Indonesia ke dalam 8 propinsi dan<br />adanya kebijakan daerah<br />3. Adanya pembentukan batang tubuh dan penjelasan resmi UUD<br />45<br />B. Sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia<br />1. Periode 17 agustus 1945 - 27 desember 1949<br />Pada periode ini yang berdaulat adalah rakyat dengan di wakili oleh<br />MPR.<br /><span style="font-style:italic;">Wewenang MPR :</span><br />· Menetapkan UUD dan GBHN<br />· Memilih dan mengangkat presiden<br />· Mengubah UUD<br /><span style="font-style:italic;">Wewenang presiden</span><br />· Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR<br />· Presiden tidak dapat membubarkan DPR<br />Perubahan praktek ketata negaraan meliputi :<br />· Presiden dan wapres di pilih oleh PPKI<br />· Sistem presidensil lalu berubah lagi menjadi system multi partai<br />· KNIP ikut menentukan GBHN dengan presiden<br />· KNIP dengan presiden, menentukan UU tentang urusan pemerintah<br />· Dalam menjalankan tugas KNP digantikan oleh sebuah badan yang<br />bertanggung jawab kepada KNIP<br />2. Periode 27 desember – 17 agustus 1950<br />Dalam masa periode ini dapat terbentuknya :<br />· Adanya KMB<br />· Adanya piagam penyerahan kedaulatan<br />· Status UNI<br />· Persetujuan perpindahan<br />· Terbentuknya RIS<br />3. Periode 17 agustus 1950 – 5 juli 1959<br />· Adanya UUD RIS<br />· Presiden sebagai kepala tertinggi baik dalam Negara maupun dalam<br />hal pemerintahan<br />· Adanya dekrit presiden<br />4. Periode 5 juli 1959 – sekarang<br />a. Masa 5 juli 1959 – 11 maret 1966<br />· Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala Negara<br />· DPR gotong royong<br />· Adanya MPRS<br />· Adanya DPAS<br />· Kembali pada UUD 445<br />· Adanya surat 11 maret 1966 ( supersemar) yang berisikan :<br />- kembali pada UUD 45,<br />- bubarkan ormas PKI<br />- turunkan harga.<br />b. Masa 11 Maret 1996 – oktober 1999<br />· Zaman orde baru, banyaknya terjadi praktek KKN<br />· Transisi menuju demokrasi<br />c. Masa 11 maret – sekarang<br />· Zaman reformasi<br />· Lahirnya amandement 45<br />· Adanya peraturan dasar hokum pemilu<br />· Adanya Perlindungan HAM<br />BAB V BENTUK DAN SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA<br />A. pengertian Bentuk Negara menggambarkan dasar – dasar Negara,<br />susunan dan tata tertib Negara, organ tertinggi dalam Negara, kedudukan<br />masing-masing organ dalam kekuasaan Negara “melukiskan bekerjanya<br />organ tertinggi”.<br />B. Bentuk – bentuk Negara<br />1. Negara kerajaan ( monarchie ), dengan system antara lain :<br />a. System absolute, contohnya: raja pilip II di spanyol<br />b. System terbatas , contohnya : inggris<br />c. System kostitusional ( parlement “DPR”), contohnya: kerajaan<br />belanda<br />2. Negara republic, ialah negara pemerintahan rakyat yang dikepalai<br />dengan kepala Negara yang dipilih dengan masa jabatan 4 – 5 tahun.<br />Dengan system antara lain :<br />a. System referendum ( rakyat secara langsung ), contohnya: yunani,<br />romawi kuno<br />b. System parlementer, contohnya : Indonesia<br />c. System presidensil, contohnya: Indonesia<br />3. Aristokrasi ( oligarki )<br />Pemegang kekuasaan dipimpin oleh golongan berkuasa, bangsawan<br />4. Demokrasi, ialah suatu Negara dengan pemerintahan yang pimpinan<br />tertinggi ditangan rakyat<br />a. Demokrasi langsung<br />b. Demokrasi tak langsung<br />5. Autokrasi<br />Suatu Negara yang autokrasi terpimpin (autroritaren fuhrerstaata/<br />autoritihre) dipimpin oleh kekuasaan Negara, berdasarakan atas<br />pandangan autoriteit Negara.<br />D.Susunan pemerintahan<br />1. Negara kesatuan ( unisetarisme ), negara yang bersusunan tunggal<br />Ialah Negara yang merdeka dan berdaulat, dimana diseluruh Negara<br />yang berkuasa hanyalah suatu pemerintah.<br />Macam-macam Negara kesatuan :<br /> a. Negara kesatuan sentralistik<br />Dimana segala urusan diatur oleh pemerintah pusat. Contohnya :<br />jerman di bawah kekuasaan hitler<br /> b. Negara kesatuan desentralisasi<br />Dimana kepada daerah-daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus daerahnya. Contohnya : RI dengan<br />daerah swatantra.<br />2. Negara serikat<br />(federasi), budesstaat, Negara yang berursusunan jamak<br />3. Perserikatan Negara-negara<br />Negra atau gabungan Negara-negara atau bentuk kenegaraan atara<br />lain:<br /> a. Serikat Negara<br /> b. Negara uni, yaitu<br /> - Uni personil ( personele unie )<br /> - uni riil ( reele unie )<br /> c. Negara di bawah pengawasan, yaitu<br /> - protektorat colonial<br /> - proktorat internasional<br /> d. koloni<br /> e. mandate<br /> f. perwakilan<br />4. PBB<br />5. dominion<br /><br />E. sistem pemerintahan<br />1. presidensil<br />a. latar belakang timbulnya<br />timbul dari bentuk Negara monarchi yang kemudian mendapat<br />pengaruh dari pertanggung jawaban menteri.<br />Sehingga fungsi raja merupakan factor stabilitasis jika terjadi<br />perselisihan antara eksekutif dan legistalif. Misalnya kerajaan inggris,<br />perancis dan belanda.<br />b. keuntungan<br />penyelesaian antara pihak eksekutif dan legislative mudah dapat<br />tercapai.<br />c. kelemahan<br />1. pertentangan antara eksekutif dan legislative bisa sewaktu-waktu<br />terjadi menyebabkan cabinet harus mengundurkan diri, dan akibatnya<br />pemerintahan tidak stabil.<br />2. sebaliknya, seorang prsiden dapat pila membubarkan legislative<br />3. pada system parlement dengan multi partai ( cabinet koalisi )<br />apabila terjadi mosi tidak percaya dari beberapa parpol, sering terjadi<br />pertukaran ( pergantia kabinet )<br />2. persidensil<br />a. latar belakang timbulnya<br />timbul dari keinginan untuk melepaskan diri dari dominasi kekuasaan<br />raja, dengan mengiki\uti ajaran montersquieu dengan ajaran tiras<br />politika. Misalnya, Negara USA timbul sebagai kebencian atas raja<br />George II ( inggris)<br />b. keuntungan<br />pemerintahan untuk jangka waktu yang ditentukan itu stabil<br />c. kelemahan<br />1. kemungkinan terjadi bahwa apa yang ditetapkan sebagai tujuan<br />Negara, menurut eksekutif bisa berbeda dari pendapat legislative.<br />2. untuk memilih presiden dilakukan oleh masa jabatan yang tidak<br />sama, sehingga perbedaan- perbedaan yang timbul pada para<br />pemilihan dapat mempengaruhi sikap dan pandangan lembaga itu<br />berlainan.<br />3. qualisi, pada system pemerintahan ini di bagi menjadi dua bagian. Yaitu<br />:<br />a. qualisi parlementer<br />b. qualisi persidensil<br />4. referendum<br />a. referendum obligator<br />yaitu jika keputusan rakyat mutlak harus diberikan dalam pembuatan<br />suatu peraturan UU yang mengikat rakyat seluruhnya, karena sangat<br />penting.<br />b. Referendum fakulatif<br />yaitu jika persetujuan dari rakyat dilakukan terhadap UU biasa, karena<br />kurang pemting<br />F. Bentuk Negara Indonesia adalah “republic”<br />G. system pemerintahan Indonesia, menurut UUD 45<br />1. system pemerintahan pra amandemen UUD 45 ialah system presidensil<br />2. system pemerintahan pasca amandement UUD 45 ialah system<br />presidensil, dengan perubahan :<br />- presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat<br />- presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR<br /><br />BAB VI KELEMBAGAAN NEGARA INDONESIA<br />A. Konsep dasar Negara hukum<br />Dewasa ini Negara hokum modern di bagi menjadi :<br />a. Negara hokum eropa continental<br />Negaa hokum ini di pelopori oleh Kant dan Fichte, yang mengemukakan<br />paham liberalism yang menentang kekuasaan absolute dari para raja.<br />Dalam paham ini menghendaki tidak adanya campur tangan<br />pemerintah secara langsung terhadap penyelenggaraan kepentingan<br />rakyat, pemerintah hanya mengawasi dan bertindak apabila terjadi<br />perselisihan antara anggota masyarakat dalam menyelenggarakan<br />kepentinganya, sehingga sikap pemerintah menjasi pasif.<br />Menurut Kantnegara hokum memuliki 4 unsur :<br />1. Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia<br />1. Adanya pemisahan kekuasaan dalam Negara<br />2. Setiap tindakan Negara harus berdasarkan UU yang telah di buat<br />sebelumnya<br />3. Adanya peradilah administrasi yang berdiri sendiri untuk<br />menyelesaikan perselisihan tersebut.<br />b.Negara hokum anglo saxon<br />Negara yang menganut apa yang disebut dengan the rule of law /<br />pemerintahan oleh hokum. Contoh Negara yang menganut system ini<br />adalah inggris.<br />3 unsur the rule of law :<br />1. Adanya supermasi hokum, artinya kekuasaan tertinggi dalam<br />Negara ialah hokum<br />2. Persamaan kedudukan di mata hokum<br />3. Perlindungan HAM<br />c. Negara hokum RI<br />Negara dapat dikatakan Negara hokum jika memiliki 4 syarat :adanya<br />pengakuan HAM, adanya pembagian kekuasaan, pemerintah<br />berdasarkan UU , peradilan administrasi. Indonesia sendiri menganut<br />konsep hokum continental, yang manganut asas rechlsstsst continental<br />dan asas rule of low. Bukti Indonesia sebagai Negara hokum :<br />- penjelasan UUD 45<br />“ Indonesia adalan Negara yang berdasarkan hokum dan bukan<br />Negara yang berdasarkan kekuasaan belaka”<br />- pasal 1 ayat 3<br />“ Negara Indonesia adalah Negara hokum”<br />Jadi substansi tentang konsep Negara hokum adalah :<br />a. Adanya paham konstitusi<br />b. system demokrasi kedaulatan rakyat<br />B . asas pembagian kekuasaan<br />Menurut Montesquieu pembagian kekuasaan di bagi dalam trichotomy/<br />tiras politica<br />- Legislative<br />- Eksekutif<br />- Yudikatif<br />Sedangkan di Indonesia itu tidak menganut pemisahan kekuasaan<br />melainkan menganut pembagian kekuasaan sebagai berikut :<br />1. Pada dasarnya UUD 45 mengenal pembagian kekuasaan<br />2. UUD 45 membagi menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai perUU<br />3. Kekuasaan yudikatif dadalah badan yang bebas dari pengaruh<br />kekuasaan eksekutif dan legislative<br />C. Stuktur kelembagaan Negara<br /> a. struktur kelembagaan sebelum perubahan UUD 45<br /> 1. Lembaga legislative<br />a. MPR<br />· Jumlah anggota MPR 700 orang, terdiri dari 500 DPR, 135 DPD I,<br />65 utusan golongan<br />· Tugas dan wewenang:<br />- mengubah dan menetapkan UUD<br />- Menetapkan GBHN<br />- Nelantik presiden dan wakilnya<br />- Memberhentikan prsiden dan wakilnya dalam masa jabatan<br />menurut UUD<br />- Memilih wapres dari 2 calon yang di ajukan presiden jika ada<br />kekosongan wapres<br />- Memilih presiden dan wakilnya jika ada kekosongan jabatan<br />- Menetapkan peratutan tata tertib dari kode etik MPR<br />b. DPR<br />· Berjumlahkan 500 orang anggota, 462 orang anggota partai<br />politik hasil pemilu, 38 orang ABRI<br />· Tugas dan weweanang<br />- Membentuk UU<br />- Setiap RUU di bahas oleh DPR dan presiden untuk<br />mendapatkan persetujuan bersama, jika RUU tidak<br />mendapatkan persetujuan maka tidak dapat di ajukan pada<br />siding DPR masa itu<br />- Menyatakan perang, membuat perdamaian , perjanian<br />- Menetapkan PerUU, sebagai pengganti UU<br />- Pengankatan hakim agung<br />- Pengankatan dan pemberhentian komisi yudisial<br />- Memperhatikan pemberian amnesi dan abolisi<br />- Memilih anggota BPK<br />· Hak<br />- Hak interpelasi, yaitu hak untuk meminta keterangan tentan<br />kebijakan pemerintah<br />- Hak angket, yaitu hak menyelidiki kebijakan pemerintah<br />- Hak mengatakan pendapat<br />c. DPD<br />· Jumlah anggotanya 1/3 jumlah DPR<br />· Tugas dan wewenang:<br />- Mengajukan RUU tentang otonomi daerah kepada dpr<br />- Ikut membahas RUU tentang otonomi daerah<br />- Memberikan pertimbangan kepada DPR tentang RUU APBN<br />dan RUU yang berkaiatan dengan pajak, pendidikan dan<br />agama<br />- Menerima hasil pemeriksaan keuangan dari BPK, sebagai<br />bahan pertimbangan kepada DPR tentang RUU, yang<br />berkaitan dengan APBN<br />- Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala<br />daerah/ wakilnya kepada presiden melalui metri dalam negri<br />bagi DPRD provinsi dan mentri dalam negri melalui gubernur<br />bagi DPRD kabupaten/ kota<br />- Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan<br />pemerintahan daerah terhadap rencana perjajian<br />internasional daerah<br />- Memberikan persetujuan terhadap pertanggung jawaban<br />kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah<br />- Membentuk panitia pengawasan pemilu daerah<br />- Mlakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dlam<br />penyelenggaraan pemilu<br />- Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar<br />daerah dndengan pihak ketiga yang membebani masyarakat<br />daerah.<br />2. Lembaga ekekutif<br />a. Presiden<br />· Syarat :<br />- mampu secara jasmani dan rohani, bertakwa kepada tuhan,<br />setia pada pancasila dan UUD dan cita-cita proklmasi<br />- WNI, tidak berhianat kepada Negara, tinggal di NKRI, telah di<br />audit kekayaanya, tidak memiliki hutang, tidak sedang pailit,<br />tidak di cabut hak pilihnya, tidak berbuat yang tercela,<br />terdaftar sebagai terpilih, ada NPWP, ada riwayat hidup, belum<br />menjadi presiden dan wakil presiedn selama 2 kali masa<br />periode, tidak pernah di penjara karena maker,minimal 30 th,<br />bukan bekas PKI, tidak pernah di penjara lebih dari 3 tahun.<br />· Tugas dan wewenang:<br />- Memiliki keusaan legislative ( pasal 5ayat 1, pasal 21 ayat 2,<br />pasal 22 ayat 1, pasal 23 ayat 2)<br />- Memiliki kekuasaan yudikatif<br />- Membentuk perpemerintahan<br />- Membentuk UU tentang peraturan lembaga tinggi Negara<br />- Berperan Sebagai kepala Negara ( pasal 10 , pasal 11 ayat 1,<br />pasal 12, pasal 13 ayat 1,2 dan 3, pasal 15, pasal 16, pasal<br />17 ayat 2 dan 1)<br />b. Wakil presiden<br />· Tugas dan wewenang:<br />-membantu presiden dalam melakukan tugasnya<br />- Membantu presiden<br />- Memperhatikan masalg tentang kesejahtraan rakyat<br />- Melakukan pengawasan oprasional pembangunan dengan<br />bantuan departemen<br />c. Mentri<br />3. Lembaga yudikatif<br />a. MA<br />· Berjumlah 60 orang<br />· Tugas dan wewenang:<br />- menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hokum<br />- Mengadili tingkay kasaki<br />- Menguji perUU<br />- Memeriksa dan merumuskan permohonan PK<br />- Memberikan pertimbangan hokum kepada presiden dalam<br />pemberian grasi dan rehabilitasi<br />- Melakukan pengawasan terhadap peradilan<br />- Memutuskan permohonan kasasi<br />- Menguji perUU<br />- keputusan sendiri,<br />- berakhir masa jabatan dan telah di lantik pejabat baru<br />- tidak dapat menjalankan tugas berturu-tururt selama kurun waktu<br />6 bulan<br />- mengalami krisis kepercayaan public yang meluas<br />Dalam pelaksanaanya jika ternyata terbukti sesuai dengan salah satu<br />alasan dari pemberhentian di atas DPR merapatkannya lalu di<br />umunkan hasil keputusannya, atau dapat juga dilakukan dengan cara<br />di adakannya hak angket oleh anggota DPR.<br />2. Pemberhentian melalui pertimbangan MA, karena<br />- Melanggar janji jabatan sebagai kepala atau wakil kepala daerah<br />- Tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala atau wakil kepala<br />daerah<br />3. Pemberhentian langsung oleh prsiden, karena<br />- Melanggar larangan bagi kepala atau wakil kepala daerah<br />Pasal 157 UU no 32/2004 menyatakan APBN ini berasal dari tiga<br />sumber pendapatan, yaitu:<br />1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari:<br />a. hasil pajak daerah<br />b. hasil retribusi daerah<br />c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan<br />d. DLL yang sah<br />2. Dana Perimbangan (Dana yang bersumber dari pendapatan APBN<br />yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan<br />daerah dalam rangka pelaksanaan desentalisai) yang terdiri dari:<br />a. dana bagi hasil<br />b. dana alokasi umum<br />c. dana alokasi khusus<br />3. Pendapatan daerah lainnya yang sah<br />B. Pemerintah daerah dalam prespektif sejarah<br />1. Otonomi daerah berdasarkan UU no.1 th 1945<br />“Komite nasional daerah menjasi badan perwakilan rakyat daerah, yang<br />bersama-sama dengan dan dipimpin oleh kepala daerah menjalankan<br />pekerjaan mengatur pemerintahan pusat dan pemertintahan daerah<br />yang lebih luas dari padanya”.<br />2. Otonomi daerah berdasarkan UU no 22 th 1948<br />“ penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan UU no 22 th 1948,<br />daerah memiliki 2 macam kekuasaan yaitu otonomi dan tugas<br />pembantuan. Kekuasaan yang diserahkan kepada pemerintah daerah<br />dilakukan melalui 2 bentuk, yaitu:<br />a. penyerahan penuh, artinya baik tentang asasnya (prinsip) maupun<br />tentang caranya menjalankan kewajiban ( pekerjaan) yang diserahkan<br />itu, diserahkan semuanya kepada daerah ( hak otonom)<br />b. penyerahan tidak penuh, artinya penyerajan harusnya mengenai cara<br />menjalankan saja, sedangkan prinsip-perinsipnya (asas) ditetapkan oleh<br />pemerintah puast sendiri.<br />3. Otonomi daerah berdasarkan UU no 18 th 1965<br />Asas desentralisasi yang berdasarkan system rumah tangga nyata<br />4. Otonomi daerah berdasarkan UU no 5 th 1974<br />Penjelasan umum UU no 5 th 1974, juga menjelaskan tujuan pemberian<br />otonomi kepada daerah, yaitu:<br />a. Agar daerah yang bersangkutan dapat mengatur dan mengurus<br />rumah tangganya sendiri<br />b. Untuk meningkatkan adanya guna dan hasil guna penyelenggaraan<br />pemerintah dalam rangka pelayaran terhadap masyarakat dan<br />pelaksanaan pembangunan<br />c. Memberikan wewenang kepada daerah untuk melaksanakan<br />berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya<br />- Sebagai pengawas bagi penasehat hokum dan notasris,<br />bersama-sama dengan presiden.<br />b. MK<br />- Mengadili pada siding pertama dan terakhir yang<br />putusannya bersifat final<br />- Memutuskan sengketa kewarganegaraan<br />- Memutuskan pembubaran parpol<br />- Memutuskan perselisihan tentang pemilu<br />c. KY<br />- Melakukan pendaftaran calon hakim agung<br />- Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung<br />- Menetapkan calon hakim agung<br />- Mengajukan calon hakim agung ke DPR<br />4. Lembaga eksaminatif<br />a. BPK<br />- Memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara<br />- Memeriksa pelaksanaan APBN<br />VII PEMERINTAH DAERAH<br />A. Pendahuluan<br />Dalam sisitem pemerintahan daerah di kenal adanya dua asas yaitu, asas<br />sentralisasi dan asas desentralisasi (kebijakan yang diberikan oleh<br />pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ntuk menjalankan segala<br />kegiatan yang berkaitan tentang daerah tersebut).<br />Pasal 29 ayat 2 UU no. 32/2004, mengenai alas an berhentinya kepala dan<br />wakil daerah :<br />1. Meninggal dunia<br />2. permintaan sendiri<br />3. diberhentikan, dengan alasan:<br />a. berakhir masa jabatan dan telah di lantik pejabat baru<br />b. tidak dapat menjalankan tugas berturu-tururt selama kurun waktu 6<br />bulan<br />c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala atau wakil kepala daerah<br />d. melanggar janji jabatan sebagai kepala atau wakil kepala daerah<br />e. tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala atau wakil kepala<br />daerah<br />f. melanggar larangan bagi kepala atau wakil kepala daerah<br />sedangkan cara pemberhentiannya, dilakukan dengan cara:<br />1. Pemberhentian melalui keputusan DPR semata, karena<br />- meninggal,<br />5. Otonomi daerah berdasarkan UU no 22 th 1999<br />Merumuskan 3 ruang lingkup interaksi yang utama, yaitu:<br />a. bidang politik, yaitu sebagai sebuah proses untuk membentuk ruang<br />bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis,<br />memgungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang<br />respontive<br />b.bidang ekonomi, yaitu terbentuknya peluang bagi pemerintag daerah<br />mengembangkan kebijakan regional dan local untuk mengoptimalkan<br />pendayagynaan potensi ekonomi daerah.<br />c. bidang social, yaitu menciptakan kemampuan masyarakat untuk<br />merespon dinamika kehidupan disekitarnya.<br />C. Pemerintah daerah menurut UU no. 32 tahun 2004 (pemda)<br />Disahkan tanggal 15 oktober 2004, menggantikan UU no 22 tahun 1999<br />hal yang mendasar dalam pemda adalah mendorong untuk<br />memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan<br />mengembangkan peran dan fungsi DPRD serta mekanisme pemilih kepala<br />daerag yang lebih demokrastis.<br />D. Pemilihan kepala daerah<br />Dalam pelaksanaan pelilihan kepala daerah dapat dilakukan dengan 2<br />macam cara, yaitu pemilihan secara langsung yang dilakukan oleh rakyat<br />dan pemilihan tak langsung yang di laukan oleh DPRD.<br />VIII KEWARGANEGARAAN<br />A. Penghuni Negara<br />- Warga Negara, yaitu setiap orang yang memiliki ikatan hokum dengan<br />pemerintah Negara tesebut.<br />- Orang asing, yaitu warga Negara asing yang tinggal di Negara tertentu<br />- Pribumi, yaitu penduduk asli Negara tersebut<br />- Warga Negara keturunan asing , yaitu warga Negara yang telah menjasi<br />warga Negara asing<br />B. Asas-asas kewarganegaraan<br />1. Naturalisasi ialah suatu cara bagi orang asing untuk memperoleh<br />kewarganegaraan suatu negara<br />2. ius sanguinis adalah asa yang menetapkan seseorang mempunyai<br />kewarganegaraan menurut kewarganegaraan “orang tua” tanpa dilihat dimana<br />ia dilahirkan.<br />3. ius soli adalah asas yang menetapkan seseorang mempunyai<br />kewarganegaraan menurut tempat dimana ia dilahirkan<br />C. Masalah kewarganegaraan<br />1. Dwi kewarganegaraan (bipatride)<br />Dapat terjadi jika negara orang tua si anak menganut system ius<br />sanguinis dan si anak di lahirkan di Negara yang menganut system ius soli<br />2. Tanpa kewarganegaraan (apartude)<br />Dapat terjadi jika si anak lahir di Negara penganur ius sanguinis dan<br />Negara orang tuanya menganut ius sol<br />D. Sejarah kewarganegaraan<br />1. Zaman belanda<br />a. Kaula Negara belanda orang belanda<br />b. Kaulanegara bukan belanda tapi termasuk bumi putra<br />c. Kaulanegara belanda bukan belanda, tapi bukan bumi putra, seperti<br />Cina dan india<br />2. Zaman proklamasi<br />menurut UU no 3 tahun 1946<br />a. Orang yang asli dalam daerah Negara Indonesia<br />b. Orang yang lahir, bertempat kediaman dan kedudukan di WNI<br />c. Anak yang lahir, di dalam wilayah Negara inodnesia<br />Pasal 1 (A),(B)<br />a. WNI dalam daerah Negara Indonesia<br />b. Orang peranakan yang lahir dan tinggal minimal 5 tahun berturutturut<br />dan berumur 21 tahun kecuali ia menyatakan keberatan menjadi<br />WNI<br />3. KMB<br />a. Orang belanda yang tinggal di Indonesia minimal 6 bulan sebelum 27<br />desember 1949<br />b. Orang Indonesia asli<br />c. Orang eropa dan timur asing<br />4. Berdasarkan UU no 60 th 1958<br />a. Mereka yang berdasarkan UU/ peraturan / perjanjan yang terlebih<br />dahulu berlaku<br />b. Mereka yang memenuhi persyaratan dalam UU<br />E. Masalah kewarganegaraan asing<br />Masalah lain dalam hubungan orang asing adalah tentang perkawinan<br />campuran, yaitu: perkawinan antara dua orang berbeda kewarganegaraan.<br />Dengan perbedaan hokum menyebabkan beberapa macam perkawinan<br />campuran, yaitu:<br />1. Perkawinan campur antara golongan (intergentil)<br />Perkawinan antara 2 orang yang saling berbeda kewarganegaraan<br />2. Perkawinan campur antara tempat (intrelocaal)<br />Perkawinan antara orang –orang Indonesia asli dari masing-masing<br />lingkungan adat yang berbeda, misalnya orang minang dengan jawa<br />3. Perkawinan campur antara agama (interreligious)<br />Berkaitan dengan status istri dalam perkawinan campuran, terdapat 2 asas:<br />1. Asas mengikuti<br />Sang istri mengikuti status suami baik pada waktu perkawinan<br />dilangsungkan maupun kemudian setelah perkawianan berjalan.hal ini<br />dilakukan supaya terdapat keadaan harmonis dalam keluarga diperlukan<br />kesatuan yuridis maupun dalam jiwa perkawinan, yaitu kesatuan lahir dan<br />batin. Kesatuan hokum dalam keluarga ini tidak bertentangan dengan<br />prinsip persamaan antara suami dan istri. Negara yang mengikuti asas ini<br />belanda, belgia, perancis, yunani, itali, libanon dan lainnya.<br />2. Asas persamarataan<br />Perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan eseorang,<br />dalam arti mereka masing-masing (suami-istri) bebas menentukan sikap<br />dalam menentukan kewarganegaraan asal sekalipun sudah menjadi<br />suami-istri. Negara yang menpergunakan asas ini di antaranya: Australia,<br />Canada, Denmark, Inggris, jerman, Israel, swedia dan birma.<br />IX PEMILU<br />A. Fungsi pemilu<br />- Pembentukan legislative, penguasa dan pemerintah<br />- Pembentukan politik rakyat<br />- Sirkulasi elit politik<br />- Pendidikan politik<br />B. Tujuan pemilu<br />- Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintah secara aman dan tertib<br />- Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat<br />- Dalam rangka melakukan hak-hak asasi warga Negara<br />- Membentuk konsep demokratisliberal<br />- Melegitimasikan system politik<br />- Mengabsahkan kepemilikan politik<br />- Unsure pokok partisipasi politik di Negara demokrasi barat<br />C. Ciri-ciri pemilu<br />- Diselenggarakan secara regular<br />- Pilihan yang benar-benar berarti<br />- Kebebasaan mengetahui dan mendiskusikan pilihan-pilihan<br />- Hak pilih orang dewasa yang universal<br />- Perlakuan yang sama dalam pemberian suara<br />- Pendaftaran pemilih yang bebas<br />- Penghitung dan pelapioran yang tepat<br />D. System pemilu<br />1. Sistem pemilihan mechanis<br />System yang mengutamakan individu sebagai pengenal hak pihak aktif<br />dan memandang rakyat sebagai suatu masa individu yang masingmasing<br />mengeluarkan satu suara dalam setiap pemilihan<br />2. System proposional<br />System dimana persentasi kursi di badan perwakilan rakyat yang di bagi<br />pada tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan persentasi jumlah suara<br />yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu.<br />3. System organic<br />Pemilihan diselenggaarakan dan dopimpin oleh tiap-tiap persekutuan<br />datau golongan hidup dalam lingkungan sendiri<br />E. Pemilu dalam lintas sejarah<br />1. Pemilu berdasarkan UUDS 50<br />Pemilu pertama ini masih menganut pemilihan tidak langsung hal ini<br />dikarenakan masih banyaknya orang idnonesia yang buta huruf dan tidak<br />adanya perUU khusus mengenaip pemilu.<br />Pemilu diadakan 2 kali yaitu yang pertama pemilu untuk memilih anggota<br />DPR dan yang kedua untuk memilih konstituate.<br />Pada pemilu awal ini diikuti oleh lebih dari 30 partai politik<br />2. Pemilu berdasarkan UUD 45<br />Pemilu yang berdasarkan kebebasan, tidak dipakai lagi karena anggota<br />DPR diangkat khusus bagi anggota ABRI. Anggota DPR sendiri berjumlah<br />460 orang, 360 hasil dari pemilu, 100 anggota ABRI, 75 orang golongan<br />lain. Pembagian kursi pemilu :<br />a. partai di bagi dengan kiesautient<br />b. jika ada partai yang stembus accord, maka jumlah sisa partai di bagi<br />dengan kiesautient<br />c. jika masih ada sisa kursi diberikan kepada parpol<br />3. Pemilu 2004<br />a. Pada system pemilu ini dilaksanakan dalam 2 sistem terbuka yaitu<br />1. System proposional dengan caleg terbuka<br />System proposional merupakan system pemilu, dimana jumlah kursi<br />yang diperoleh suatu parpol peserta pemilu berbanding lurus dengan<br />perolehan suatu parpol tersebut. Sedangkan daftar caleg terbuka<br />artinya melalui pemilu, pemilih dapat menentukan secara langsung<br />calon yang diinginkan. System ini digunakan untuk memilih anggota<br />DPR/DPRD. Aapun caranya yaitu dengan memilih tanda gambar parpol<br />dan nama calon anggota DPR/DPRD; kertas kuara yang akan dicoblos<br />meliputi tanda gambar parpol dan nama caleg; derta tiap daerah<br />karena calegnya berbeda;<br />2. System distrik berwakil banyak<br />System distrik berwakilan banyak menunjukan bahwa suatu wilayah<br />distrik (provinsi) memiliki lebih dari satu wakil, yakni jumlah anggota<br />DPD untuk setiap propinsi ditetapkan 4 orang system ini digunakan<br />untuk memilih DPD, caranya yaitu memilih calon anggota DPD; kertas<br />suara berupa foto gambar calon.<br />b. Mekanisme pemilu<br />Lembaga penyelenggara pemilu ialah KPU, yang terdiri dari KPU pusat<br />dengan anggota 11 orang dan KPU provinsi , KPU kota/ kabupaten,<br />yang masing-masing beranggotakan 5 orang, sedangkan KPPS<br />beranggotakan 3 orang.<br />Adapun tahapan penyelenggaraan pemilu 2004 adalah:<br />1. Tahapan sosialisasi<br />· Tahapan pertama, untuk membangun pemahaman calon pemilih<br />terhadap terjadinya perubahan fundamental<br />· Tahapan kedua difokuskan ada informasi dan tata cara teknis<br />pencoblosan surat suara<br />· Tahap ketiga di fokuskan pada sosialisasi pemilihan presiden<br />2. tahapan pelaksanaan<br />· Tahapan pertama pemilu legislative<br />· Tahapan kedua memilih prsiden, meliputi 2 putaran<br />Putaran pertama pemilihan pasangan calon presiden dan wapres<br />, di lanjutkan dengan tahapan selanjutnya jika tidak ada<br />pasangan calon presiden/ wapres terpilih pada emungutan putara<br />pertama dengan ketentuan memiliki suara 50%. Tetapi jika tidak<br />ada pasangan terpilih, maka dua pasang yang memperoleh suara<br />terbanyak pertama dan keuda kembali dipilih oleh rakyat decara<br />langung dalam pemilu presiden dan wakil presiden putaran ke 2<br />c. Program 100 hari kerja<br />Pada pemerintahan periode ini menetapkan program 100 hari kerja<br />untuk merealisasikan jaji dan propaganda jangka pendek. Langkah<br />awal dari 100 hari kerja terutama di teraknkan pada semua sector baik<br />hokum, pendidikan, kesehatan maupun sector-sektor lain khususnya<br />pemberantasan korupsi.Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-74563981571878093432010-01-10T06:07:00.000-08:002010-01-10T06:25:38.365-08:00PAJAK BUMI DAN BANGUNAN<span style="font-weight:bold;"><span style="font-style:italic;">PBB</span></span> dapatdidefinisikansebagai“pajaknegarayang dikenakanterhadapbumidan/ataubangunanberdasarkanUU No. 12 Tahun1985 tentangPBB sebagaimanatelahdiubahdenganUU No. 12 Tahun1994”<br /><span style="font-weight:bold;"><span style="font-style:italic;">PBB</span></span> adalahpajakyang bersifatkebendaandalamartibesarnyapajakterhutangditentukanoleh keadaanobjekyaitubumi/tanahdan/ataubangunan, keadaansubjek(siapayang membayar) tidakikutmenentukanbesarnyapajak<br /><br /><span style="font-weight:bold;">OBJEK PBB</span><br /><span style="font-weight:bold;">ObjekPBB</span> adalahBumidan/atauBangunanBUMI : Permukaanbumidantubuhbumiyang adadibawahnyaPermukaanbumimeliputitanahdanperairanpedalamansertalautwilayahIndonesia.Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah, perkarangan, tambang, dllBANGUNAN: Konstruksi teknik yang ditanamataudilekatkansecaratetappadatanahdan/atauperairanTermasukdalampengertianbangunanadalah:-Jalanlingkunaganyang terletakdalamsuatukompleksbangunansepertihotel, pabrik, danemplasemennya, dllyang merupakansatukesatuandengankompleksbangunantersebut.-Jalantol, kolamrenang, pagarmewah, tempatolahraga, galangankapal, dermaga, tamanmewah, tempatpenampunganataukilangminyak,airdangas,pipaminyak, fasilitaslain yang memberikanmanfaat.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">OBJEK PBB YANG DIKECUALIKAN</span><br />1.Digunakansemata-matauntukmelayanikepentinganumumdibidangibadah, sosial, kesehatan, pendidikandankebudayaannasionalyang tidakdimaksudkanmemperolehkeuntungan, sepertipesantren, mesjid, gereja, tanahwakaf, rumahsakitumum, sekolahataumadrasah, pantiasuhan, candi, dll<br />2.Digunakanuntukkuburan, peninggalanpurbakalaatauyang sejenisdenganitusepertimusium<br />3.Merupakanhutanlindung, suakaalam, hutanwisata, tamannasional, tanahpengembalaanyang dikuasaioleh desa, dantanahnegarayang belumdibebanisuatuhak<br />4.Digunakanoleh perwakilandiplomatik, konsulatberdasarkanasasperlakuantimbalbaliksecarapasif<br />5.Digunakanoleh badan/perwakilanorganisasiinternasionalyang ditentukanoleh MenkeuOBJEK<br /><br /><span style="font-weight:bold;">SUBJEK PBB</span><br />Orangataubadanyang secaranyatamempunyaisuatuhakatasbumi, dan/ataumemperolehmanfaatatasbumi, dan/ataumemiliki, menguasai, dan/ataumemperoleh/manfaatatasbangunan<br /><br /><span style="font-weight:bold;">DASAR PENGENAAN PAJAK</span><br />DasarPengenaanPajakadalahNilaiJualObjekPajak(NJOP)<br />NJOP ditetapkansetiap3 tahunoleh Menkeu, kecualiuntukdaerahtertentuditetapkansetiaptahunsesuaiperkembangandaerahnya, denganmemperhatikan:<br />1.Hargarata-rata yang diperolehdaritransaksijualbeliyang terjadisecarawajar<br />2.Perbandinganhargadenganobjeklain yang sejenisyang letaknyaberdekatandantelahdiketahuihargajualnya<br />3.Nilaiperolehanbaru<br />4.PenentuanNilaiJualObjekPengganti<br /><br /><span style="font-weight:bold;"><br />NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK (NJOPTKP)</span><br />NJOPTKPadalahbatasNJOP atasbumidan/ataubangunanyang tidakkenapajak<br />BesarnyaNJOPTKPadalahRp8.000.000 denganketentuansbb:<br />1.SetiapWP memperolehpenguranganNJOPTKP sebanyaksatukali dalamsatutahunpajak<br />2.ApabilaWP mempunyaibeberapaobjekpajak, makayang mendapatkanpenguranganNJOPTKP hanyasatuobjekpajakyang nilainyaterbesardantidakbisadigabungkandenganobjekpajaklainnya<br />3.NJOPTKP untukDKI mulaitahun2001 Rp10.000.000 (berdasarkanmasing-masingperdatiII)<br /><br /><span style="font-weight:bold;">DASAR PENGHITUNGAN PBB</span><br />DasarPenghitunganPBB adalahNilaiJualKenaPajak(NJKP)<br />BesarnyaNJKP adalahsebagaiberikut:<br />1.40%untukobjekpajakperumahanyang WPnyaperorangandenganNJOP sama ataulebihdariRp1 M, dantidakdimiliki, dikuasaiataudimanfaatkanoleh PNS, ABRI, danparapensiunantermasukjanda/dudanyayang berpenghasilansemata-matadarigajiatauuangpensiun<br />2.20%untukobjekpajaklainnya<br />TARIF PBB adalah0.5%<br />RumusPenghitunganPBB = Tarif x NJKP<br /><br /><span style="font-weight:bold;">SAAT TERUTANGNYA SERTA TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK TERUTANG</span><br />1.Tahunpajakadalahjangkawaktusatutahuntakwin<br />2.Saatyang menentukanpajakyang terhutangadalahmenurutkeadaanobjekpajakpadatanggal1 JanuariAlumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-90606285372539017012010-01-10T06:06:00.000-08:002010-01-10T06:07:17.299-08:00HUKUM PERJANJIAN<span style="font-weight:bold;">HUKUM PERJANJIAN</span><br />Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi<br />yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial<br />budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk<br />mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuatmanusia berfikir untuk mengatur<br />hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perjanjian.<br />Apa sebenarnya yang dimaksud dengan perjanjian? Dilihat dari pengertian yang terdapat<br />dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau<br />lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.Pengertian ini mengundang kritik dari<br />banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat<br />sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di<br />kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara<br />sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak<br />sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.<br />Kapan sebenarnya perjanjian tersebut timbul dan mengikat para pihak? MenurutPasal 1320<br />KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan<br />mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:<br />1) Kesepakatan para pihak;<br />2) Kecakapan untuk membuat perikatan (misal: cukup umur, tidak dibawah pengampuan<br />dll);<br />3) menyangkut hal tertentu;<br />4) adanya causa yang halal.<br />Dua hal yang pertama disebut sebagai syarat subyektif dan dua hal yang terakhir disebut<br />syarat obyektif. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subyektif akan memiliki<br />konsekwensi untuk dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian selama perjanjian yang<br />mengandung cacat subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak layaknya<br />perjanjian yang sah. Sedangkan perjanjian yang memiliki cacat pada syarat obyektif (hal<br />tertentu dan causa yang halal), maka secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum.<br />(J.Satrio, 1992).<br />Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk<br />melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal<br />1338 KUHPerdata, yaitu:<br />(1) perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi<br />mereka yang membuatnya.<br />(2) perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari<br />para pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang.<br />(3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik.<br />Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata memuat asas-asas dan<br />prinsip kebebasan untuk membuat kontrak atau perjanjian. Dalam hukum perdata pada<br />dasarnya setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk<br />maupun muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan,<br />kepatutan dalam masyarakat (lihat Pasal 1337 KUHPerdata).<br />Setelah perjanjian timbul dan mengikat para pihak, hal yang menjadi perhatian selanjutnya<br />adalah tentang pelaksanaan perjanjian itu sendiri. Selama ini kerap timbul permasalahan,<br />bagaimana jika salah satu pihak tidak melaksanakan ketentuan yang dinyatakan dalam<br />perjanjian dan apa yang seharusnya dilakukan jika hal tersebut terjadi?<br />Menurut KUHPerdata, bila salah satu pihak tidak menjalankan, tidak memenuhi kewajiban<br />sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian atau pun telah memenuhi kewajibannya namun<br />tidak sebagaimana yang ditentukan, maka perbuatannya tersebut dikategorikan sebagai<br />wanprestasi. Dalam prakteknya untuk menyatakan seseorang telah melanggar perjanjian dan<br />dianggap melakukan wanprestasi, ia harus diberi surat peringatan terlebih dahulu (somasi).<br />Surat somasi tersebut harus menyatakan dengan jelas bahwa satu pihak telah melanggar<br />ketentuan perjanjian (cantumkan pasal dan ayat yang dilanggar). Disebutkan pula dalam<br />somasi tersebut tentang upaya hukum yang akan diambil jika pihak pelanggar tetap tidak<br />mematuhi somasi yang dilayangkan.<br />Somasi yang tidak diindahkan biasanya akan diikuti dengan somasi berikutnya (kedua) dan<br />bila hal tersebut tetap diabaikan, maka pihak yang dirugikan dapat langsung melakukan<br />langkah-langkah hukum misalnya berupa pengajuan gugatan kepada pengadilan yang<br />berwenang atau pengadilan yang ditunjuk/ditentukan dalam perjanjian. Mengenai hal ini Pasal<br />1238 KUHPerdata menyebutkan:<br />”debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau<br />berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan<br />debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”<br />Sebagai konsekwensi atas perbuatannya, maka pihak yang telah melakukan wanprestasi<br />harus memberikan ganti rugi meliputi biaya-biaya yang telah dikeluarkan berkenaan dengan<br />pelaksanaan perjanjian, kerugian yang timbul akibat perbuatan wanprestsi tersebut serta<br />bunganya. Dalam Pasal 1243 KUHPerdata disebutkan bahwa penggantian biaya, kerugian dan<br />bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah<br />dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus<br />diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang<br />melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan. Selanjutnya ditegaskan kembali oleh Pasal<br />1244 KUHPerdata bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga,<br />bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya<br />waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang<br />tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.<br />Berbeda halnya jika terjadi force majeur yaitu dalam keadaan memaksa atau hal-hal yang<br />secara kebetulan satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka keharusan untuk<br />mengganti segala biaya, kerugian dan bunga sebagaimana dinyatakan di atas tidak perlu<br />dilakukan (Pasal 1245 KUHPerdata).<br />Demikian sekilas uraian mengenai hukum perjanjian. Banyak hal yang belum dijelaskan<br />berkenaan perjanjian dengan segala aspek yang ada dan terkait didalamnya. Namun demikian<br />jika kita menarik kesimpulan, maka salah satu inti dari perjanjian atau kontrak sebenarnya<br />adalah iktikat baik dari para pihak. Tanpa hal tersebut, sebaik dan sedetail apa pun perjanjian,<br />tidak akan berarti apa pun kecuali hanya secarik kertas tanpa makna.Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-8003210169004516472010-01-10T06:00:00.000-08:002010-01-10T06:06:29.899-08:00Istilah Hukum<span style="font-weight:bold;">Asylrecht</span>: pemberian suaka kepada pelarian-pelarian<br />politik.<br /><span style="font-weight:bold;">Confi rmatoir eed</span>: sumpah untuk menguatkan keterangan<br />yang telah diberikan dan dapat dianggap merupakan<br />pembuktian jika bukti-bukti lain tidak ada.<br /><span style="font-weight:bold;">Confl ictenrecht</span>: collisie recht (Bld), hukum konfl ik.<br />Hukum kolisi, hukum yang dilahirkan karena dalam<br />satu Negara yang sama berlaku perbedaan hukum<br />bagi berbagai daerah dan berbagai golongan.<br /><span style="font-weight:bold;">Eigendom</span>: milik, hak atas sesuatu barang yang paling<br />sempurna dan kuat, dapat dikatakan hak mutlak (lihat:<br />pasal 570 BW)<br /><span style="font-weight:bold;">Fait d’execuse</span>: suatu alasan/dasar yang dapat dipakai<br />sebagai alat pemaaf atau penghapus hukuman.<br /><span style="font-weight:bold;">Gerechtelijke ontkenning</span>: penyangkalan dalam<br />pengadilan. Penyangkalan terhadap tindakan<br />pengadilan karena tidak sesuai dengan undangundang.<br /><span style="font-weight:bold;">Gronden van noodzakelij kheid</span>: salah satu persyaratan<br />dalam hal penangkapan/penahanan/sementara, yang<br />menentukan dasar-dasar perlunya untuk menahan<br />seseorang, yakni:<br />a. untuk kepentingan pemeriksaan;<br />b. untuk mencegah jangan sampai tertuduh melarikan<br />diri;<br />c. untuk mencegah jangan sampai si tertuduh<br />mengulangi melakukan tindak pidana (lihat: pasal<br />75, 83c HIR)<br /><span style="font-weight:bold;">Hoger beroep</span>: appel, banding, ulangan, permohonan<br />supaya perkaranya diperiksa lagi oleh pengadilan<br />yang lebih tinggi.<br /><span style="font-weight:bold;">Ipso jure, nietigheid van rechtswegep</span>: kebatalan demi<br />hokum. Kebatalan yang langsung disebabkan oleh<br />ketentuan undang-undang, dalam arti pembatalannya<br />tidak usah dimintakan.<br /><span style="font-weight:bold;">Kracht van gewij sde</span>: suatu putusan hakim yang telah<br />mempunyai kekuatan mutlak (lihat: pasal 1918<br />BW).<br /><span style="font-weight:bold;">Lastgeving</span>: (Bld), pemberian kuasa. Suatu persetujuan<br />antara dua pihak yang mana dalam persetujuan itu<br />pihak pertama memberikan kuasa kepada pihak kedua<br />seperti pun pihak kedua menerimanya dari pihak<br />pertama, guna mengurus sesuatu untuk dan atas nama<br />pemberi kuasa (pasal 1792 KUHP). Persetujuan serupa<br />adalah pemberian kuasa kepada makelar dan para<br />komisioner (pasal 62 dan 76 KUHD).<br /><span style="font-weight:bold;">Putusan interlocutoir</span>: putusan yang isinya adalah<br />memerintahkan pembuktian. Misalnya: pemeriksaan<br />setempat. Putusan interlocutoir ini dapat<br />mempengaruhi putusan akhir.<br /><span style="font-weight:bold;">Vermindering der straf</span>: pengurangan hukuman; ada<br />hal-hal yang menyebabkan seseorang yang telah<br />melakukan tindak pidana mendapat pengurangan<br />hukuman, misalnya: dalam keadaan membela diri<br />dan sebagainya.Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-64470878896577465342010-01-09T13:08:00.000-08:002010-01-09T13:09:04.128-08:00Khusus Makalah UmumAlumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7150353367769773092.post-83400474065320948212010-01-09T12:49:00.001-08:002010-01-09T12:49:47.509-08:00HUMANISME DAN MULTIKULTURAL PENDIDIKAN ISLAMHUMANISME DAN MULTIKULTURAL PENDIDIKAN ISLAM <br /><br />I. PENDAHULUAN <br />Paham-paham seperti Humanisme, pluralisme, multikulturalisme merupakan bentuk nyata dari sebuah proses islamissai dunia Barat. Para intlektual muslim dengan kegigihannya berusaha mengintrodus term-term barat sambil membubuhkan lebel-lebel Islam sehingga muncul istilah Islam “adjektif”, Islam humanis Islam liberal, dan sebagainya.<br />Paham tauhid bahwa seluruh manusia, berasal dari asal yang satu, membawa kepada humanitarianisme. Humanitarianisme, bukan hanya kasih sayang sesama manusia, tetapi juga kasih sayang kepada alam binatang dan alam tumbuh-tumbuhan, serta alam benda mati, mencintai seluruh nature ciptaan Tuhan. Disini terdapat paham semakhluk mengakui kesatuan sebagai makhluk yang ada di dalam ini. <br />Dari penjelasan diatas jelas sekali bahwa dalam Islam sendiri terdapat gagasan tentang humanisme, toleransi , menghargai perbedaan dan sebagainya. Sebenarnya paham liberalisme dan humanisme dunia barat sering dikaitkan dengan sifat dasar kebudyaan barat yang lebih menekankan progressivitas atau dinamika.hal ini bertolak belakang dengan dunia timur termasuk dunia Islam yang sering dikaitkan dengan sikap apriori terhadap progressivitas yang diikuti dengan change.<br />Islam merupakan suatu agama yang diturunkan sebagai rahmatan lil alamin bagi semua makhluk yang ada dialam semesta ini, begitu juga pendidikan Islam. Pendidikan Islam yang berkembang sampai saat ini juga diwarnai dengan kultur budaya yang berkembang di daerah masing-masing.<br />Dari sinilah dikatakan bahwa dengan metode kritis bagaimana menyikapi gejala yang sedang berkembang dalam masyarakat, khususnya masyarakat Islam. multikulturalisme merupakan salah satu item yang saya anggap layak diperbincangkan keberadaannya. Dalam hal ini saya lebih memfokuskan dalam mengkaji bagaimana multikulturalisme tersebut menambah pada bidang pendidikan terlebih dalam pedidikan Islam, karena saya rasa sangat penting keberadaannya untuk dibahas.<br />A. Soal Humanisme <br />Secara etimologi: “Humanisme is a deration to the humanities or literang culture”. Humanisme adalah kesetiaan pada manusia atau kebudayaan. Pencerahan kemanusiaan menjadi “spirit” untuk belajar kemudian berkembang pada akhir abad pertengahan dan kebangkitan baru tulisan-tulisan klasik dan sebuah pembaharuan yang percaya diri dalam kesanggupan kejadian manusia untuk menentukan kebenaran dan kesalahan terhadap diri mereka. Kultur humanisme adalah tradisi rasional dan empirik yang mula-mula sebagian besar bersal dari Yunani dan Romawi Kuno, kemudian berkembang melalui sejarah Eropa Humanisme menjadi sebagian dasar pendekatan Barat dalam pengetahuan, teori politik, etika dan hukum.<br />Humanisme agama adalah keyakinan di dalam aksi. Definisi agama digunakan oleh humanisme religius secara fungsional. Fungsi agama disini adalah untuk melayani kebutuhan personal atau kelompok sosial . <br />Islam bukan hanya suatu kepercayaan akan tetapi suatu kehidupan yang perlu dihayati pada waktu ini. Religion harga dapat menerjemahkan penerimaan Islam secara tidak sempurna dan hanya sebagian karena arti religion adalah sangat luhur dan asal etimologi arab tidak ketahuan. Untuk itu perlu pula diketahui tentang ukuran nilai agama itu sendiri. Seperti disebutkan oleh Drs Sidi Gazalba bahwa “nilai agama itu tercermin dalam pahala, tiap tingkah laku yang mendatangkan pahala mengandung nilai”. Sebenarnya jika kita dapat menerapkan nilai-nilai agama dalam pergaulan dan kehidupan kita pasti akan tercapai suatu kepribadian manusia yang baik. Pada garis besarnya aspek-aspek kepribadian itu dapat digolongkan dalam 3 hal yaitu : <br />1) Aspek-aspek kejasmanian <br />2) Aspek-aspek kejiwaan <br />3) Aspek-aspek keridhanian yang luhur<br />Sebenarnya manusia itu mempunyai potensi, potensi yang dapat dikembangkan dengan jalan yang baik. Namun sebaliknya jika potensi itu dibiarkan saja atau malah dirusak maka akan berdampak negatif. Jika kita dapat menerapkan dan mengamalkan religius kita dengan baik. Pasti akan mudah untuk mengembangkan potensi kita. Perlu kita ketahui juga pendidikan Islam dengan paradigma humanistik disini dihasilkan dari upaya refleksi dan rekonstruksi sejarah Islam yang ada, khsuusnya pada masa 5 abad pertama, serta dari nilai-nilai normatif Islam, dan dari trends humanisme universal. Dalam hal ini ada 6 hal besar yang harus dikembangkan dalam pendidikan Islam: <br />1) Cammon sense atau akal sehat <br />2) Idividualisme menuju kemandirian <br />3) Thirst of knowledge <br />4) Pendidikan pluralisme <br />5) Kontekstualisme lebih mementingkan fungsi dari pada simbol <br />6) Keseimbangan antara reward dan punishment<br />Dalam hal pendidikan Islam ke 6 hal diatas adalah penting dan harus mendapat sorotan dalam proses pendidikan Islam.<br /><br /><br /><br />B. Multikulturalisme Agama <br />Ada satu hal yang mengganggu dan cenderung terlupakan selama ini, yakni tentang konsep “sinkretisme” penyatuan aliran, dalam agama. Jika sinkretisme Islam dipahami sebagai pencampuran antara sebagai “budaya luar” dengan unsur–unsur lokal (sebagai budaya dalam) dengan cara yang tidak murni. Maka akan timbul pertanyaan. Adakah agama yang murni? Bukankah di setiap agama tidak terkecuali Islam merupakan suatu fenomena sinkretik? Tidak ada satu agamapun di dunia ini yang tidak “sinkretik” dalam pengertian murni merumuskan struktur pandangan dunianya tanpa melibatkan unsur –unsur kultural dari kebudayaan setempat dimana agama itu hadir. Setiap agama dan sistem kepercayaan apapun dalam merumuskan struktur pandangan dunia dan rumusan teologisnya akan menjadikan unsur–unsur budaya setempat sebagai dasar pijakan. Itulah sebabnya mengapa setiap agama memiliki corak dan jenis kelamin yang berlainan antara yang satu dengan yang lainnya baik yang menyangkut aspek bahasa (teks) muatan isi (ajaran/ doktrin), ritus-ritus, sistem teologi dan sebagainya.<br />Mesti begitu definisi agama menurut sosiologis adalah definisi empiris sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang exaluatif (menilai) ia “angkat tangan” mengenai hakekat agama, baik atau buruknya agama. Dari pengamatan ini hanya sanggup memberikan definisi (menggambarkan apa adanya) yang menyingkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.<br />Namun pada dasarnya multikulturalisme agama memang harus ditinjau secara empiris. Sebab, hal ini berkaitan dengan sosio-antropologi. Dan sebagaimana disebutkan bahwa setiap agama dan sistem kepercayaan apapun dalam merumuskan struktur pandangan dunia dan rumusan teologisnya akan menjadikan unsur –unsur budaya setempat sebagai dasar pijakan. Itu artinya multikultural dalam agama adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dinafikan keberadaannya sekali lagi jika ini ditinjau secara empiris.<br />C. Pendidikan Multikultural<br />Sampai disini, layak kita meneguhkan kembali paradigma Multikultural dalam pendidikan. Peneguhan ini harus lebih ditekankan kepada persoalan kompetensi kebudayaan sehingga tidak hanya berkutat pada aspek kognitif melainkan beranjak kepada aspek psikomotik. Peneguhan ini bermaksud menjelaskan kesadaran bahwa multikulturalisme, sebagaimana diungkap oleh “Goodnough (1976) adalah pengalaman normal manusia ia ada dan hadir dalam realitas empirik. Untuk itu pengelolaan masyarakat multikultural manusia tidak bisa dilakukan secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, pragmatis, intregrated dan berkesinambungan. Disinilah fungsi strategis pendidikan Multikultural sebagai sebuah proses dimana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem standar untuk mempersepsi, mengevaluasi, meyakini dan melakukan tindakan.<br />Beberapa hal yang dibidik dalam pendidikan multikultural ini adalah pertama, pendidikan multikultural menolak pandangan yang menyamakan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas lagi mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan juga bermaksud membebaskan pendidikan dari asumsi bahwa tanggung jawab primer dalam mengembangkan kompetensi kebudayaan semata-mata berada ditangan mereka melainkan tanggung jawab semua pihak.<br />Kedua, pendidikan ini juga menolak pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Hal ini di karenakan seringnya para pendidik secara tradisional, mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient. Dalam konteks ini, pendidikan multikultural akan melenyapkan kecenderungan memandang individu secara skoritip menurut identitas etnik mereka. Malah akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan dikalangan anak didik dan berbagai kelompok etnik.<br />Ke tiga, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan-kebudayaan mana yang akan diadopsi seseorang pada waktu ditentukan oleh situasinya.<br />Ke empat, kemungkinan bahwa pendidikan meningkatkan kesadaran mengenai kompetensi dalam beberapa kebudayaan dan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya (bicultural) atau dikotomi antara pribumi maupun non pribumi. Karena dikotomi semacam ini bersifat membatasi kebebasan individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. <br /><br />D. Pendidikan Islam Multikultural <br />Setidaknya ada dua opsi yang dapat saya ketemukan dalam kemaknaan terhadap pendidikan Islam multikultural. Pertama, jika kita menggunakan pendekatan sistem global maka pendidikan Islam multikultural adalah pendidikan Islam yang mengacu kepada paham multikulturalisme artinya budaya-budaya lokal yang turut membetuk penfasiran terhadap Islam lebih diperhatikan. Semacam munculnya Islam jawa, Islam sarungan, Islam Mesir dan yang lain adalah hasil dari pendidikan ini.<br />Kedua, jika kita menggunakan pendekatan yang digunakan oleh A. Munir Mulkhan maka pendidikan Islam multikulutral adalah kaitannya dengan keyakinan tauhid yang seringkali dilihat dari perilaku sosial peserta didik, hubunganya dengan penerimaan peserta didik pada pluralisme keagamaan. Sehingga mestinya diperoleh suatu rumusan bahwa Tuhan dan ajaran atau kebenaran yang satu diyakini pemeluk Islam itu bersifat universal. Karena itu, Tuhan dan ajaranya serta kebenaran yang satu itu mungkin juga diperoleh pemeluk agama lain dalam rumusan konseptual yang berbeda.<br />Konsekuensi dari rumusan di atas jelas bahwa Tuhanya pemeluk agama lain, sebenarnya itulah Tuhan Allah SWT yang dimaksud dan diyakini pemeluk Islam. kebenaran ajaran Tuhan yang diyakini pemeluk agama lain itu pula sebenarnya yang merupakan kebenaran yang diyakini oleh pemeluk Islam. soalnya: “Berani dan bersediakah pemeluk Islam dan guru agama mengubah rumusan keyakinan, rumusan tenang Allah SWT dan ajaran-Nya? Atau, pemeluk Islam dan agama lain sebenarnya hanya mempunyai satu-satunya tujuan keagamaan ialah menaklukkan semua orang untuk memeluk agamanya. <br />Dari sini maka pendidikan Islam multikultural opsi kedua mengekspresikan tentang hubungan antara umat beragama; pluralisme, Meski menimbulkan dua opsi namun pada dasarnya keduanya masih memiliki korelasi dan tidak dapat dipilah begitu saja.<br /><br />II. Kesimpulan <br />Pendidikan dalam suatu perspektif pada dasarnya memberi tawaran pendekatan terhadap penerapan nilai-nilai humanis di dalam kehidupan. pendekatan yang bersifat subtantif perlu terus digalakan karena lebih dapat diandalkan dalam mengatasi kesenjangan antara pemikiran dan kenyataan praksis yang sering meleset karena terjebak dalam formalitas. Namun, meminimalisir beberapa kelemahan konsep dapat menolong mengatasi kekurangan dan kelemahannya.<br />Yang dapat ditekankan disini, bahwa suatu bangunan perspektif yang digali dari suatu sumber perlu bergandengan dengan yang lain dalam memecahkan masalah yang kompleks, karena betapapun hebatnya perspektif masih merupakan salah satu pendekatan yang akan punya kekuatan jika mampu saling meminjamkan dengan pendekatan lain sebagai suatu sinergis. Karena yang mutlak benar, tampaknya hanya nash yang diwahyukan yang belum dipahami dan diinterpretasikan dalam suatu corak pemahaman atau perspektif.<br /><br />III. Penutup<br />Demikianlah makalah ini saya susun dengan usaha yang bermaximal mungkin, namun saya rasa dalam makalah ini masih banyak kekurangan yang disebabkan kurangnya pengetahuan saya. Saya harapkan saran yang konstruktif demi perbaikan dan semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita. Amiin.<br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Nasution, Harun Prof. Dr., Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Mizan, Bandung, 1996.<br />Mas’ud, Abdurrahma, MA. Ph.D., Menggagas Format Pendekatan non Dikotomik, Humanisme Religius sebagai Paradigma, Gema Mdia, September, 2002.<br />A Borsard, Marcel, Prof. Dr., Humaisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.<br />Gazalba, Didi, Drs., Asas Kebudayaan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.<br />D. Marimba, Ahmad, Drs., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif Bandung, 1990<br />Pendapat Djaka Soetapa Th.D., Ummah, Komunitas Religius, Sosial dan Politk dalam al-Qur’an, Mitra Gama Widya, Yogyakarta, 1991<br />Muqtafa, M. Khoirul, Paradigma Multikultural, Sinar Harapan, CV. Bernews, 2002<br />Mulkhan Abdul Munir, Dr. SU, Nalar Spiritual Pendidikan Tiara, Wawancara, Yosgyakarta.Alumni Tremas'07http://www.blogger.com/profile/18279972955023406459noreply@blogger.com46