PANDANGAN KESUFIAN TENTANG DIRI MANUSIA

Elingana yen ana timbalan
Yen wis budal ora kena wakilan,
Ora kena wakilan
Timbalane kang Maha Kuasa
Gelem ora gelem bakale lunga
(Ingatlah jika telah datang panggilan
Kau harus pergi dan tak bisa kau wakilkan,
tak bisa kau wakilkan Panggilan dari Yang Maha Kuasa
Mau tak mau kau harus pergi jua)
Nyanyian puitis di atas adalah penggalan dari sebuah nyanyian
keagamaan yang cukup panjang. Di Jawa, nyanyian itu disebut
pujian atau erang-erangan. Pujian tersebut biasanya
didendangkan bersama-sama oleh para jemaah di langgar atau
mesjid menjelang shalat Subuh, Maghrib atau Isya, sembari
menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut
mendirikan salat berjamaah. Mungkin berkat susunannya yang
ritmis dan mudah dihapal maka pujian tersebut seringkali
menjadi "nyanyian" populer yang dilakukan bukan hanya di
mesjid dan langgar, tapi juga di sawah dan ladang ketika
seseorang menggembalakan ternaknya, atau di rumah-rumah ketika
ibu-ibu berusaha menidurkan anaknya.
Tidak jelas siapa pengarang pujian yang cukup populer
tersebut, terutama di desa-desa bagian Jawa Tengah Selatan.
Namun, orang mengenal bahwa pujian semacam itu disebarkan oleh
kalangan pesantren. Perlu dicatat, para kyai pemimpin
pesantren kebanyakan juga pemimpin tarekat, sehingga tidak
mengherankan kalau pujian yang diciptakan sarat dengan
pesan-pesan kesufian. Dan, dari pujian tersebut tercermin
sebuah permintaan agar manusia menyadari bahwa suka atau
tidak, ia harus memenuhi panggilan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk
kembali ke haribaannya. Panggilan Tuhan tersebut tidak dapat
didelegasikan kepada siapapun juga.
Memang, di antara pesan kesufian yang terpenting adalah ajakan
agar manusia menyadari sepenuhnya sifat kefanaan dari
kehidupan dunia ini. Oleh karena dunia bersifat fana dan yang
kekal hanyalah Tuhan, maka dunia ini dipandang benar-benar
bermakna hanya apabila ia senantiasa diorientasikan kepada
Tuhan. Lalai dari kesadaran berketuhanan berarti manusia telah
terjerat oleh perangkat serba kefanaan. Dalam "perangkap"
seperti itu manusia cenderung berorientasi hanya kepada usaha
mewujudkan kesenangan sementara yang segera dapat dinikmati
kini dan di sini, di dunia yang fana ini. Ia lupa bahwa
manusia disebut manusia tidak lain karena roh sukma yang
ditiupkan Tuhan masih melekat di jasad atau raganya. Begitu
sukma meninggalkan raga, ia dianggap sudah tiada.
TEORI CERMIN AL-GHAZALI
Bagaimanapun roh atau sukma akan kembali kepada Tuhan. Dalam
kenyataannya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepada
Tuhan dan detik-detik kehadirannya di dunia ini justru lebih
banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat jasadi atau
lahiriah belaka? Imam Ghazali menjawab masalah ini dengan
Teori Cermin (al-Mir'ah) dalam karyanya yang sangat terkenal
itu --Ihya' 'ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia
ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur atau
cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih
niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan
memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya (lihat Ghazali,
t.t., vol.I: h. 119-125).
Sedangkan jika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal
spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tiga
kemungkinan. Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya
Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin
rohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori ini
adalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor
dan aniaya. Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat
penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin
tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yang
menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi
hidupnya. Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber
cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh
cahaya petunjuk Ilahi. Contoh yang sangat tepat untuk kategori
ini orang-orang kafir yang dengan sadar mengingkari keberadaan
Tuhan.
Agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening, ia
harus senantiasa berusaha memurnikan diri dengan jalan
menguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan hidup
para nabi melalui berbagai latihan kerohanian (riyadlah).
Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren dan di
kalangan para penganut tarekat, riyadlah atau latihan
kerohanian dalam berbagai bentuk amalan sunnah --salat sunnah,
puasa Senin, Kamis, puasa Nabi Daud, dan lebih-lebih usaha
senantiasa mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikir
merupakan hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-hari
mereka.
Melaksanakan secara intensif berbagai amalan sunnah tersebut
tak lain merupakan usaha mengamalkan sebuah hadits Qudsi
sebagai berikut:
Kepada orang yang memusuhi Wali-Ku, akan Kunyatakan perang.
Ibadat yang paling mendekatkan Hamba-Ku, sehingga Aku sayang
kepadanya adalah menunaikan semua perintah yang telah Aku
berikan. Hamba-Ku adalah mereka yang mendekatkan dirinya
kepada-Ku dan melakukan pula hal-hal sunnah yang Aku cintai.
Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi
telinganya yang dipakai untuk mendengar. Aku-lah matanya untuk
melihat, Aku-lah tangannya untuk bekerja, dan Aku-lah kakinya
untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku akan Aku beri,
dan apabila ia meminta perlindungan akan Aku beri. (Riwayat
Bukhari dan Abi Hurairah)
Apabila seseorang telah melaksanakan berbagai ibadah secara
intensif, hal itu dalam pandangan kesufian tidak secara
otomatis merupakan jaminan bahwa orang tersebut akan sampai
pada tujuan hakiki dari ibadah yakni terjalinnya hubungan
konstan dengan Allah. Ibadah ritual akan jatuh nilainya
menjadi seremonial tanpa isi jika ibadah tersebut dilaksanakan
tanpa sikap batin yang dipimpin semata-mata oleh harapan
memperoleh ridha Allah.
Sebaliknya sikap batin yang tidak diaktualisasikan dalam
bentuk pelaksanann ibadah sebagaimana yang dituntunkan syariat
dan dicontohkan oleh Nabi, dipandang sebagai kesombongan
spiritual, yang menjurus kapada zindiq (penyelewengan). Dalam
kaitan ini Imam Malik, salah seorang pendiri mazhab fiqih yang
terkenal, mengatakan bahwa siapa yang bertasawuf tanpa
mengamalkan fiqh, ia zindiq dan siapa yang mengamalkan fiqh
tanpa bertasawuf, ia fasiq (tak bermoral).
Agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna dan tak jatuh ke
nilai seremonial yang tanpa isi, maka di kalangan kaum sufi
ibadah ritual selalu dibarengi bahkan didahului oleh
penggeledahan dan interogasi diri: apakah ibadah yang kita
lakukan sudah benar-benar karena Allah dan bukannya karena
yang lain?
Dalam kaitannya dengan upaya rohani seperti itulah kisah
sufistik yang dicatat dari pesantren --Tarekat
Qadariah-Naqshabandiyah di Jawa Timur-- merupakan ilustrasi
relatif menarik.
Di sebuah desa hidup seorang yang dikenal oleh kalangan luas
sebagai orang yang sangat alim. Segala pujian dilimpahkan
orang kepada si Alim atas kesalehan dan kealimannya. Mendengar
berbagai pujian tersebut si Alim jadi gelisah. Jangan-jangan
dirinya rajin beribadah itu bukan karena Allah melainkan
justru karena orang memujinya sebagai orang alim. Pada suatu
pagi ia pun pergi menuju pasar di seberang desa. Sesampainya
di pasar secara demonstratif ia sengaja mencuri ayam yang
sedang diperjualbelikan. Karena tertangkap basah maka iapun
dipukuli banyak orang. Ayam dikembalikannya dan ia pun pulang
dalam keadaan babak belur. Orang sepasar akhirnya bergumam:
"Oh, ternyata ia hanya pura-pura alim, padahal sebenarnya ia
tak lebih dari seorang maling!" Mendengar omongan seperti itu
ia bukannya sedih melainkan bersyukur kepada Allah. Setibanya
di rumah ia langsung sujud syukur "Alkhamdulillah, ya Allah,
kini aku beribadah bukan karena manusia, tetapi insya Allah
benar-benar karena Engkau semata."
Demikianlah, dari sudut pandang kesufian, hidup ini merupakan
pergulatan terus-menerus dengan diri sendiri. Dengan demikian,
keberanian untuk melakukan penggeledahan dan interogasi diri
merupakan inti keberagamaan dan sekaligus bagaikan tangga naik
yang akan mengantarkan diri seseorang kepada derajat yang
terus meningkat dari suatu tingkat (maqam) tertentu ke tingkat
rohani berikutnya yang lebih tinggi. Maqam-maqam tersebut dari
yang terendah hingga yang tertinggi dikenal di kalangan kaum
sufi dengan istilah-istilah sebagai berikut:
(1) Maqam Tawbat, yakni meninggalkan dan tidak mengulangi lagi
perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan dosa-dosa sepadannya
demi menjunjung tinggi ajaran Allah dan mengingkari murka-Nya.
(2) Maqam Wara', yaitu menahan diri untuk tidak melakukan
sesuatu dalam rangka menjunjung tinggi perintah-Nya.
(3) Maqam Zuhud, yakni lepasnya pandangan keduniaan dan usaha
memperolehnya dari diri orang yang sebetulnya mampu untuk
memperolehnya.
(4) Maqam Shabar, ialah ketabahan dalam menghadapi dan
mendorong hawa nafsu.
(5) Maqam Faqir, yaitu tenang serta tabah sewaktu melarat dan
mengutamakan orang lain di kala berada.
(6) Maqam Syukur, yaitu menyadari bahwa segala kenikmatan itu
datangnya dari Allah semata.
(7) Maqam Khauf, ialah rasa ngeri dalam menghadapi siksa Allah
atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah.
(8) Maqam Raja', yakni hati yang diliputi rasa gembira karena
mengetahui kemurahan dari Allah yang menjadi tumpuan
harapannya.
(9) Maqam Tawakkal, yaitu sikap hati yang bergantung hanya
kepada Allah dalam menghadapi segala sesuatu baik yang
disukai, dibenci, diharapkan, maupun ditakuti.
(10)Maqam Ridla, ialah rasa puas di hati sekalipun menerima
nasib pahit.
Mengenal selintas maqam-maqam tersebut seolah-olah mustahil
nilai-nilai kesufian tersebut dapat diwujudkan dalan kehidupan
yang sudah serba modern ini. Namun, jika maqam-maqam tersebut
dipandang sebagai tidak lain dari upaya pendakian rohani
menuju ridla Allah, maka maqam-maqam tersebut adalah acuan
yang memang harus dimiliki mereka yan benar-benar merindukan
leburnya diri kembali kepada Yan Maha Hakiki.
Menengok pada luka menganga yang menjangkiti dunia modern
seperti konsumerisme yang seolah tak mengenal kata puas,
hedonisme yang telah menyebabkan merajalelanya AIDS, serta
materialisme yang cenderung mencekal nilai-nilai spiritual;
semua itu mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pola
kehidupan yang semata-mata dipimpin oleh otak (head) dan
ketrampilan teknologis (hand) itu perlu diimbangi dan
dikendalikan dengan kebeningan hati (heart). Dan, melalui
sudut pandang kesufian kiranya kehidupan beragama akan marnpu
mewujudkan pribadi-pribadi yang seimbang seperti itu.
Akhirnya, semua itu terpulang kepada manusia sendri apakah ia
akan menundukkan sukmanya kepada kehidupan yang berorientasi
pada kebutuhan jasadi yang bersifat kini dan di sini (sukma
dhulmani, sukma yang berada dalam kegelapan), ataukah ia akan
mengarahkan sukmanya sehingga sang sukmalah yang memimpin
kebutuhan jasadi agar senantiasa berada dalam terpaan cahaya
Ilahi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Firdaus A.N., "Jalan ke Surga" (Kumpulan 772 Hadist Qudsi),
Yayasan Kesejahteraan Bersama, tanpa tahun.
Al-Ghazali, Imam, "Ihya' 'Ulum al-Din", vol.I, (dengan
terjemahan Jiwa oleh Misbah Zaini Mustofa), Raja Murah,
Pekalongan, 1981.
Johns, A.H., "Sufism As a Category in Indonesian Literature
And History," dalam Journal of Southeast Asian History, vol. 2
(1961), hal. 10-23.
Madjid, Nurcholish., "Tasauf dan Pesantren", dalam M. Dawam
Rahardjo (ed.) Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta,
1985.
Zarkasyi, Muhamad Nawawi Shidiq, "Soal-Jawab Thoriqiyah",
Pesantren Raudlatul Thulab, Berjan, Purwokerto, 1977.

0 Response to "PANDANGAN KESUFIAN TENTANG DIRI MANUSIA"

Posting Komentar