Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Dilalah Dalam Ushul Fiqih

PENGANTAR

Petunjuk (Dilalah) Al Quran, semua kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Dan kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-nya, yang tidak ada pada qira’ah mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Quran yang didengar dari Nabi SAW atau hasil ijtihad mereka.
Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-Quran itu dapat dibagi dalam dua bagian :
1. Nash yang qath’i dilalah-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya, tidak bisa di-takwil, tidak mempunyai makna yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain mempunyai makna yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar nash itu sendiri. Contohnya adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba, pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat-ayat yang mencantumkan hal-hal tersebut, maknanya jelas dan tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu, dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf, 1972:35)
2. Nash yang Zhanni dilalah-nya
Yaitu nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil atau nash yang mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazhnya musytarak (homonim) ataupun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-nya, iqtidha-nya, dan sebagainya.
Dan untuk lebih jelasnya pembahasan hal di atas maka kami akan mencoba menyampaikan dalam pembahasan Dilalah. Akan tetapi Kesempurnaan hanyalah milik Allah semata, maka apabila nanti ada kekurangan, kami minta kritik dan sarannya atas makalah yang kami buat ini.


BAB II
DILALAH

Dilalah adalah suatu lafazh bila ditinjau dari cara menunjukkan suatu makna. Menurut Hanafiyah dilalah dibagi 4 macam yaitu ibarat nash, isyarat nash, dilalah nash, dan iqtida’ nash. Dan menurut jumhur ulama itu dibagi 5 sama dengan Hanafi tapi ditambah satu yaitu dilalah mafhum mukhalafah. Sedang menurut Syafi’iyah terbagi dalam mantuq dan mafhum.
Bentuk-bentuk dilalah menurut hanafiyah dan jumhur ulama antara lain :
1. Ibarah Nash
Yaitu pemahaman dari lafazh baik yang tersurat atau tersirat, baik yang memiliki satu atau banyak makna. Contoh :
واجتنبوا قول الزور
“Dan jauhilah kamu semua dari pembicaraan bohong”
Maksud ayat قول الزور dapat kita pahami bahwa saksi palsu termasuk jenis jarimah (Pelangaran hukum), itu adalah termasuk lafazh yang tersurat. Sedangkan yang tersirat misal :
ان الذين يأكل اموال اليتا مىظلما
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatimi dengan cara dholim (aniayah)”
Dari nash di atas makna tersuratnya adalah memakan harta anak yatim dan bertuk tersiratnya adalah menghacurkan anak yatim. Jadi ayat di atas merupakan salah satu dari berbagai macam kedholiman ialah memakan harta anak yatim.
2. Isyarat Nash
Yaitu pemahaman yang diambil dari isyarah nash (bersumber dari isensial makna) yang dipahami dari ungkapan yang ada.
و ا مر هم شو ر ى بينهم
“Dan atas perkara-perkara mereka musyawarahlah diantara mereka”
Ayat ini mengisaratkan hukum Islam berdasarkan permusyawaratan kaum muslimin.

3. Dilalah Nash
Dilalah Nash disebut juga dilalatul Aulah/qizas jali. Mafhum muwafaqoh dalam istilah hanafiyah disebut juga dilalah nash yaitu suatu petunjuk kalimat yang menunjukkkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena persamaan dalam maknanya. Hal ini dapat diketahui dengan pengertian bahasa, tanpa memerlukan pembahasan yang mendalam ataupun ijtihad.disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis. Misal :
ولا تقل لهما اف ولا تنهرهما
“Dan janganlah kamu berkata kepada ibu-bapakmu degan ucapan ‘hush’”
Bahwa nash diatas menunjukkan tentang haramnya berkata “hush” kepada kedua orang tua apalagi memukul.
4. Dilalah Iqtida’
Yaitu lafazh atas satu perintah yang tidak bisa dipahamkan lain kecuali apa yang ditunjukkan.
فمن عفى له من اخيه شيء فاتباع بالمعروف وأداء اليه باحسان
“Maka barangsiapa memaafkan sesuatu kesalahan seseorang dari saudaranya , maka ikutilah dengan kebajikan dan tunaikanlah kepadanya dengan kebaikan”
Perbuatan ikhsan merupakan konsekuansi logis dari jelasnya pemberian maaf oleh seseorang terhadap orang yang meminta maaf.
5. Dilalah mafhum al-mukhalafah
Yaitu petunjuk lafzh yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafazh itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafazh itu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir dari mantuq-nya, karena tidak adanya batasan (kayd) yang berpengaruh dalam hukum. Mafhum mukhalafah disebut juga dalil khitab yaitu hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum yang tidak disebut. Karena hukumnya diambil dari jenis khitab-nya atau karena khitabnya sndiri menunjukkan atas hukum itu. Misal dalam hadits disebutkan :
فى ساءمة الغنم وكاة
“Dalam kambing-kambing yang digembalakan itu ada zakatnya”
dari hadits di atas, menurut mafhumnya “ yang tidak digembalakan” artinya yang diberi makan di kandang tidak terkena zakat. Sedangkan syarat-syarat mafhum mukhalafah ialah :
1. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthuq maupun mafhum muwafaqah.
2. Manthuqnya tidak disebutkan karena ada tujuan memperingatkan ni’mat.
3. Manthuq itu bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
4. Manthuq itu bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Macam-macam Mafhum Mukhalafah :
1. Mafhum shifat
Yaitu mempertalikan hukum sesuatu kepada salah satu sifat-sifatnya. Misalnya firman Allah tentang kifaraat membunuh :
فتحرررقبة مؤمنة
“Maka dengan memerdekakan hamba yang mu’min”
maka kalau hamba sahaya yang tidak mukmin diangap tidak cukup.
2. Mafhum ‘adad
Yaitu mempertalikan hukum kepada bilangan (‘adad) yang tertentu. Misalnya yaitu tentang melakukan zina.
3. Mafhum ghayah
Yaitu lafazh yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batas).
4. Mafhum ‘illat
Yaitu mempertalikan hukum dengan ‘illat, seperti mengharamkan arak karena memabukkan.
5. Mafhum hashr
Yaitu mengkhususkan hukum dengan apa yang disebutkan dalam perkataan yang dinyatakan.
Sedangkan menurut Syafi’iyah terbagi dalam 2 antara lain :
1. Dilalah Mantuq
Ialah petunjuk lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu sendiri.
Dilalah mantuq seperti ini mancangkup tiga dilalah yang dipakai dalam istilah Hanafiyah, yaitu ibarat, isyarat, dan iqtida nash. Mantuq dibagi menjadi 2 :
a. Mantuq nash
Yaitu lafazh atau susunan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi. Seperti nama-nama orang, juga susunan lafazh :
فصيام ثلاثة ايام = “puasa tiga hari”
b. Mantuq dhahir
Yaitu suatu lafazh atau susunan yang menunjukkan suatu makna, tetapi makni ini bukannya yang dimaksud. Misal :
ويبقى وجه ربك = diartikan “waj-hu” dengan makna “dzat”
2. Dilalah mafhum
Ialah petunjuk lafazh pada hukum yang tidak disebutkan oleh lafadh itu sendiri, melainkan datang dari pemahaman. Dilalah mafhum disebut dalam istilah Hanafiyah disebut dilalah nash. Dilalah mafhum dibagi menjadi 2 macam :
a. Mafhum muwafaqah
Mafhum muwafaqah dalam istilah ulama Hanafiyah disebut juga dilalah nash, yaitu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknannya. Mafhum muwafawah dikenal pula dengan nama fahwa al-khitab dan lahn al-khitab, sebagaimana dikemukakan oleh ulama Zaidiyyah.akan tetapi Ibnu As-Subki membedakan pengertian keduannya, yang pertama dimaksudkan untuk masalah tertulis, yang hukumnya lebih utama dan lebih sesuai dari hukum bagi masalah tertulis, sedangkan yang teakhir dimaksudkan untuk masalah yang sama tingkat hukumnya dengan masalah lain yang tidak tertulis, perbedaan ini disepakati oleh Asy-Syaukani.
b. Mafhum al-mukhalafah
Penjelasan mafhum ini sudah kami sampaikan dibahasa awal jadi tidak kami ulas kembali. Dan mengenai mafhum mukhalafah itu ulama Hanafiyah tidak memandang sebagai salah satu metode penafsiran nash-nash syara atau menetapkan hukum.alasan mereka adalah :
1. Banyak nash syara yang apabila diambil mafhum mukhalafahnya akan rusak pengertiannya
2. Sifat-sifat yang terdapat pada nash syara dalam banyak hal bukan untuk pembatasan hukum, melaikan untuk targib dan terhib.
3. Seandainya mafhum mukhalafahnya itu dapat dijadikan hujah syara maka sustu nash yang telah menyebutkan suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum kebalikan hukum dari sifat tersebut.
Akan tetapi menurut jumhu ushulliyyin mafhum mukhalafah dapa dijadikan sebagai hujjah syara’, alasannya antara lain :
1. Berdasarkan logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin iantumkan tanpa tujuan dan sebab.
2. Sikap Rosulullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khthab dalam memahami mafhum mukhlafah dari ayat 101 An-Nisa. Namun Raosulullah menjelaskan bahwa qasar shalat dalam perjalanan diperbolehkan sekalipun dalam keadaan aman.
3. Harus sesuai dengan syarat. (sudah kami terangkan di atas)












BAB III
PENUTUP

Dilalah adalah suatu lafazh bila ditinjau dari cara menunjukkan suatu makna. Menurut Hanafiyah dilalah dibagi 4 macam yaitu ibarat nash, isyarat nash, dilalah nash, dan iqtida’ nash. Dan menurut jumhur ulama itu dibagi 5 sama dengan Hanafi tapi ditambah satu yaitu dilalah mafhum mukhalafah. Sedang menurut Syafi’iyah terbagi dalam mantuq dan mafhum. Dan dilalah mantuq ini mencangkup tiga dilalah yaitu ibarat, isyarat, dan iqtida nash dalam istilah Hanafiyah. Sedang dilalah mafhum, Hanafiyah sama dengan dilalah nash.
Untuk memahami bahasan dilalah memang perlu penguasaan materi yang yang mendalam sebab membutuhkan besic keilmuan kitab yang tinggi maka kiranya inilah makalah yang dapat kami buat apabila ada kekurangan/kesalahan kami mohan maaf dan semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, Diponegoro, 1995
Moh Rifa’i, Ushul Fiqih, Wicaksana, Semarang,1988
Muhammad Zahroh, Ushil Fiqh, Darul Fiqh al arabi, Libanon, 1985
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1998

BAIT AL-HIKMAH DALAM KHAZANAH INTELEKTUAL

BAIT AL-HIKMAH DALAM KHAZANAH INTELEKTUAL

I. PENDAHULUAN
Perkembangan peradaban Islam khususnya bidang keilmuan mencapai masa keemasan di zaman Bani Abbasiyah dibanding masa sebelumnya, itu disebabkan berdirinya Bait Al-Hikmah atau wisma kebijaksanaan yang motifnya untuk menggalakkan dan mengkoordinir kegiatan pencarian dan penerjemahan karya-karya klasik dari warisan intelektual Yunani, Persia Mesir dan lain-lain.
Dari berdirinya Bait Al-Hikmah tersebut melahirkan intelektual-intelektual yang termasyhur di berbagai bidang. Dan itu mendorong Daulah Bani Abbasiyah membangun di sektor lain, contohnya sektor ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.

II. PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Bait Al-Hikmah
Kesejahteraan sosial, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan mengalami perkembangan pada Bani Abbasiyah, mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid (736-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M). Kedua penguasa tersebut menekankan pada pengembangan dan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam, ketimbang peluasan wilayah seperti di masa Bani Umayyah. Inilah pokok perbedaan antara Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah.
Khalifah Harun Ar-Rasyid memanfaatkan kekayaannya untuk keperluan sosial seperti rumah sakit, lembaga pendidikan dan lembaga farmasi pun didirikan. Disamping itu, sarana kesejahteraan umum diperhatikan, pemandian-pemandian umum juga dibangun, begitu juga jalan-jalan umum.
Khalifah Al-Ma’mun, pengganti Al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia mempersiapkan penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahlinya. Salah satu bukti zaman keemasan Bani Abbasiyah salah satunya adalah Bait Al-Hikmah.
Pendirian lembaga Bait Al-Hikmah atau wisma kebijaksanaan dilakukan oleh khalifah Al-Makmun. Dalam lembaga pendidikan tersebut merupakan wujud keinginan mengulang (meniru) lembaga “hebat” yang didirikan oleh orang-orang Kristen Neotorians, yakni Gondeshapur yang salah satu tokohnya Gorgius Gabriel. Dan itu menjadikan Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Lembaga pendidikan terdiri atas dua tempat, pertama: Maktab dan Masjid yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar bacaan, hitungan dan tulisan. Kedua: tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang yang ahli pada bidangnya masing-masing.
Gerakan terjemahan yang berlangsung pada tiga fase. Pertama, pada masa khalifah Al-Manshur hingga Harun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah Al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah buku filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas, bidang ilmu yang diterjemahkan semakin luas.
Darul hikmah ini muncul pada waktu bercampurnya bermacam-macam bangsa dan peradaban pada masa kerajaan Abbasiyah dan pada masa bangkitnya gerakan intellect yang hebat yang telah mendorong orang-orang Islam pada waktu itu untuk memperoleh ilmu-ilmu pengetahuan zaman kuno. Menurut pendapat yang lebih kuat lahirnya lembaga-lembaga ini ada pada masa Al-Rasyid. Tujuan utama dari pada pendirian lembaga-lembaga itu ialah untuk mengumpulkan dan menyalin ilmu-ilmu pengetahuan asing, terutama ilmu pengetahuan orang Griek dan falsafah mereka ke dalam bahasa Arab untuk dipelajari. Pada waktu itulah telah diterjemahkan kitab-kitab berbahasa asing ke dalam bahasa Arab, dan tlah menghasilkan ulama-ulama yang terkenal, diantaranya Khuwarrazmi sebagai ahli ilmu falak yang terkenal dan Abu Ja’far Muhammad sebagai ahli bidang ilmu ukur dan manthiq.
Kemudian Kerajaan Fatimiyah di Mesir meniru pula kerajaan Abbasiyah, maka mereka ini pun mendirikan Darul Ilmi, seperti lembaga Bagdad abad ke IV. Di sana dipelajari ilmu falah, ilmu-ilmu orang Yunani, disamping mempelajari ilmu-ilmu Islam. Menurut keterangan dari Al-Maqrizi bahwa Darul Hikmah di Mesir pada tahun 395 H dan disitulah berkumpul para fuqaha’, dan kesitu pulalah di bawa kitab dari istana-istana untuk dibaca dan dipelajari oleh orang-orang yang berkeinginan untuk memperoleh ilmu pengetahuannya. Disitulah berkumpul ahli nahwu, ahli bahasa dan dokter-dokter dengan mendapat pelayan dari pelayan-pelayan yang bekerja di situ. Dalam Darul Hikmah ini lah terdapat kitab-kitab yang disuruh angkat oleh Al-Hakim Biamrillah dari istananya dalam jumlah sangat besar yang berisi selain yang tersebut di atas, ilmu sastra dan tulisan-tulisan tangan yang belum pernah dipunyai oleh raja-raja lain. Semua lapisan orang diperbolehkan masuk ke dalam gedung ini untuk membaca buku-buku yang ada di sana. Bahkan orang-orang yang ingin menyalin dan menulis telah disediakan kertas, pena dan tinta.
Lembaga ini merupakan perpustakaan-perpustakaan yang dipelihara oleh sebagian besar para ulama yang mempunyai keahlian dalam berbagai ilmu pengetahuan yang mengajar serta memberi penjelasan-penjelasan kepada orang-orang yang mengunjungi perpustakaan tersebut.
Lembaga ini adalah mirip dengan universitas dewasa ini, dalam pengertian di sana belajar segolongan pelajar dari bermacam-macam ilmu pengetahuan secara mendalam dan pikiran yang bebas. Adanya hubungan yang erat di antara perpustakaan dengan lembaga ini merupakan faktor yang besar untuk mencapai tujuan ini.
Lembaga pendidikan ini didirikan berkat adanya usaha dan bantuan dari orang-orang yang memegang pimpinan dan pemerintahan, dan jumlahnya pun sangat kecil dan usianya pun pendek, jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain, dan juga ia tidak begitu meluas ke negeri-negeri Islam yang lain. Ia terbatas dalam berbagai negeri saja, seperti Persia, Iraq dan Mesir saja.

B. Aktivitas dan Peran Baitul Hikmah dalam ilmu Pengetahuan
Sejak semula, motif berdirinya lembaga ini adalah untuk menggalakkan dan mengkoordinir kegiatan pencarian dan penerjemahan karya-karya klasik Yunani, Persia, Mesir dan lain-lain ke dalam bahasa Arab, khususnya umat Islam, dengan disertai transfer ilmu-ilmu kuno. Dengan berdirinya lembaga ini kegiatan penstranferan ilmu pengetahuan lebih intensif. Yaitu dengan cara Khalifah mengirimkan sastrawan, sejarawan dan ilmuwan-ilmuwan terbaiknya untuk ekspedisi di kawasan-kawasan kuno.
Menurut Dr. Oumar Faroukh, faktor yang mendorong umat Islam melakukan kegiatan in adalah:
1. Suasana keinginan antara Arab dengan yang lainnya
2. Keinginan untuk menguasai ilmu yang belum dimiliki
3. Legititmasi dan dorongan ayat-ayat al-Qur'an untuk menguasai ilmu pengetahuan.
4. Bahwa kemajuan ilmu pengetahuan merupakan suatu konsekuensi dari peningkatan kemakmuran dan kemajuan ekonomi.
Pesatnya perkembangan lembaga Baitul Hikmah mendorong lembaga ini memperluas peranannya, bukan hanya sebagai lembaga penerjemahan saja, tetapi juga meliputi hal-ha sebagai berikut:
1. Sebagai pusat dokumentasi dan pelayanan informasi keilmuan bagi masyarakat, melalui banyaknya perpustakaan umum di kota.
2. Sebagai pusat dan forum pengembangan keilmuan
3. Sebagai pusat kegiatan perencanaan dan koordinasi pelaksanaan pendidikan
C. Pengaruh Baitul Hikmah dalam ilmu Pengetahuan
Setelah meluasnya peran lembaga tersebut, lembaga ini juga membawa dampak positif secara makro bagi masyarakat luas diantaranya:
1. Ditemukannya jakur “benang merah” yang menjelaskan rentangan sejarah perkembangan peradaban umat manusia sejak kurun waktu yang sangat tua, dan diperoleh kembali kekayaan warisan peradaban kuno yang bernilai tinggi dari Yunani, India, Persia dan lainnya.
2. Semakin tumbuh suburnya kondisi sosial yang favourable bagi perkembangan ilmu pengetahuan
3. Terjadinya integrasi sosial yang kian intensif dan berkurangnya sikap primordialisme.

III. KESIMPULAN
Khalifah Al-Ma’mun, pengganti Al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia mempersiapkan penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahlinya. Salah satu bukti zaman keemasan Bani Abbasiyah salah satunya adalah Bait Al-Hikmah.
Darul hikmah ini muncul pada waktu bercampurnya bermacam-macam bangsa dan peradaban pada masa kerajaan Abbasiyah dan pada masa bangkitnya gerakan intellect yang hebat yang telah mendorong orang-orang Islam pada waktu itu untuk memperoleh ilmu-ilmu pengetahuan zaman kuno. Menurut pendapat yang lebih kuat lahirnya lembaga-lembaga ini ada pada masa Al-Rasyid. Tujuan utama dari pada pendirian lembaga-lembaga itu ialah untuk mengumpulkan dan menyalin ilmu-ilmu pengetahuan asing, terutama ilmu pengetahuan orang Griek dan falsafah mereka ke dalam bahasa Arab untuk dipelajari.

IV. PENUTUP
Demikianlah uraian makalah dari saya, kurang lebihnya pemakalah mohon maaf yang sebesar-besarnya. Apabila ada kata-kata yang salah mohon dimaklumi. Kritik dan saran yang konstruktif, sangat pemakalah harapkan. Semoga makalah ini berguna bagi pemakalah yang lain. Amin.

















DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pres, 1997.
Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I.
Solikin, M., Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Rasail, 2005.

Tujuan Perkawinan Dalam Islam

1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi

Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur

Sasaran utama dari disyari'atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).



3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami

Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :

"Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim". (Al-Baqarah : 229).

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari'at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :

"Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui ". (Al-Baqarah : 230).

Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari'at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari'at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal :


a. Harus Kafa'ah
b. Shalihah



a. Kafa'ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.

Menurut Islam, Kafa'ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa'ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13).

"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Al-Hujuraat : 13).

Dan mereka tetap sekufu' dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka". (Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175).



b. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur'an wanita yang shalihah ialah :

"Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)". (An-Nisaa : 34).

Menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :

"Ta'at kepada Allah, Ta'at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta'at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta'at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya".

Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.

4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah

Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : "Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?" Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : "Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :"Ya, benar". Beliau bersabda lagi : "Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !". (Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa'i dengan sanad yang Shahih).



5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih

Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :

"Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?". (An-Nahl : 72).

Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.

Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak "Lembaga Pendidikan Islam", tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.

Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

Sejarah Islam Nusantara

Muslim Indonesia punya sejarah luar biasa. Sahabat Rasulullah, pernah pula langsung berdakwah di Nusantara.

Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan mudah. Tak banyak jejak yang bisa dilacak. Ada beberapa pertanyaan awal yang bisa diajukan untuk menelusuri kedatangan Islam di Indonesia. Beberapa pertanyaan itu adalah, darimana Islam datang? Siapa yang membawanya dan kapan kedatangannya?


Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara.

Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.

Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck Hurgronje yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.
Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya.

Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai.

Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin.

Bahkan sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.

Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-o-rang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.

Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.

Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh, termasuk Indonesia. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Ini adalah rute pelayaran paling panjang yang pernah ada sebelum abad 16.

Hal ini juga bisa dilacak dari catatan para peziarah Budha Cina yang kerap kali menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 untuk pergi ke India. Bahkan pada era yang lebih belakangan, pengembara Arab yang masyhur, Ibnu Bathutah mencatat perjalanannya ke beberapa wilayah Nusantara. Tapi sayangnya, tak dijelaskan dalam catatan Ibnu Bathutah daerah-daerah mana saja yang pernah ia kunjungi.

Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.

Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.

Sebuah literatur kuno Arab yang berjudul Aja’ib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang terkenal adil tersebut.

“Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,” demikian antara lain bunyi surat Raja Sriwijaya Sri Indravarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis. Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 hijriah atau 718 masehi.

Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya Dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Indonesia. Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara.

Pada awal abad ke-12, Sriwijaya mengalami masalah serius yang berakibat pada kemunduran kerajaan. Kemunduran Sriwijaya ini pula yang berpengaruh pada perkembangan Islam di Nusantara. Kemerosotan ekonomi ini pula yang membuat Sriwijaya menaikkan upeti kepada kapal-kapal asing yang memasuki wilayahnya. Dan hal ini mengubah arus perdagangan yang telah berperan dalam penyebaran Islam.

Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara.

Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah. Namun ada pendapat lain dari Prof. Ali Hasjmy dalam makalahnya pada Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh yang digelar pada tahun 1978. Menurut Ali Hasjmy, kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Perlak.

Masih banyak perdebatan memang, tentang hal ini. Tapi apapun, pada periode inilah Islam telah memegang peranan yang signifikan dalam sebuah kekuasaan. Pada periode ini pula hubungan antara Aceh dan kilafah Islam di Arab kian erat.

Selain pada pedagang, sebetulnya Islam juga didakwahkan oleh para ulama yang memang berniat datang dan mengajarkan ajaran tauhid. Tidak saja para ulama dan pedagang yang datang ke Indonesia, tapi orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam dan datang langsung ke sumbernya, di Makkah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi dari Aceh, terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke-16. Bahkan pada tahun 974 hijriah atau 1566 masehi dilaporkan, ada lima kapal dari Kerajaan Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah.

Ukhuwah yang erat antara Aceh dan kekhalifahan Islam itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah. Puncak hubungan baik antara Aceh dan pemerintahan Islam terjadi pada masa Khalifah Utsmaniyah. Tidak saja dalam hubungan dagang dan keagamaan, tapi juga hubungan politik dan militer telah dibangun pada masa ini. Hubungan ini pula yang membuat angkatan perang Utsmani membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang dikuasai sejak tahun 1521. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya Portugis juga sempat digemparkan dengan kabar pemerintahan Utsmani yang akan mengirim angkatan perangnya untuk membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari cengkeraman penjajah. Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Parangi (Portugis) dari perairan yang akan dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji di tanah suci.

Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri Muawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah tanah Jawa pada abad awal perhitungan hijriah.

Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak, Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon. Proses dakwah yang panjang, yang salah satunya dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian kerja sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat Muawiyah bin Abu Sofyan.

Peranan Wali Songo dalam perjalanan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa.

Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kerajaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini pula dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke Nusatenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya.

Giri berkembang dan menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Bahkan, Buya Hamka menyebutkan, saking besarnya pengaruh kekuatan agama yang dihasilkan Giri, Majapahit yang kala itu menguasai Jawa tak punya kuasa untuk menghapus kekuatan Giri. Dalam perjalanannya, setelah melemahnya Majapahit, berdirilah Kerajaan Demak. Lalu bersambung dengan Pajang, kemudian jatuh ke Mataram.

Meski kerajaan dan kekuatan baru Islam tumbuh, Giri tetap memainkan peranannya tersendiri. Sampai ketika Mataram dianggap sudah tak lagi menjalankan ajaran-ajaran Islam pada pemerintahan Sultan Agung, Giri pun mengambil sikap dan keputusan. Giri mendukung kekuatan Bupati Surabaya untuk melakukan pemberontakan pada Mataram.

Meski akhirnya kekuatan Islam melemah saat kedatangan dan mengguritanya kekuasaan penjajah Belanda, kerajaan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan. Ajaran Islam yang salah satunya mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah. Tak hanya di Jawa dan Sumatera, tapi di seluruh wilayah Nusantara.

Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang panjang dan besar. Sejarah itu pula yang mengantar kita saat ini menjadi sebuah negeri Muslim terbesar di dunia. Sebuah sejarah gemilang yang pernah diukir para pendahulu, tak selayaknya tenggelam begitu saja. Kembalikan izzah Muslim Indonesia sebagai Muslim pejuang. Tegakkan kembali kebanggaan Muslim Indonesia sebagai Muslim bijak, dalam dan sabar.

Kita adalah rangkaian mata rantai dari generasi-generasi tangguh dan tahan uji. Maka sekali lagi, tekanan dari luar, pengkhianatan dari dalam, dan kesepian dalam berjuang tak seharusnya membuat kita lemah. Karena kita adalah orang-orang dengan sejarah besar. Karena kita mempunyai tugas mengembalikan sejarah yang besar. Wallahu a’lam.n