ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANI

Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling
sempurna di dinia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan
Ibnu'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah
di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga
karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan)
asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.
Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.
Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah
meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas
atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan
dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam
dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan
para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung
(al-qalb).
RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.
Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan
jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli
sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah
ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di
dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan
terpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber
akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani
(binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang
organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa
hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan
melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang
kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau
al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,
yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan
hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang
khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat
yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia
mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan
memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu
sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang
menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang
demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat
tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela
manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai
berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku
bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat
yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi
diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang
telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan
ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan
terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah
sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.
AKAL
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau
intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir
yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa
(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di
kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di
dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber
pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf
mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan
pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan
tertinggi --akal perolehan (akal mustafad)-- ia dapat
mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang
demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan
(sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu
berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang
demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).
Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal
kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan
hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena
kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada
kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh
kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke
tingkat akal perolehan.
HATI SUKMA (QALB)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.
Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung,
bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah
segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di
dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek
kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran
yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,
bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang
ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang
disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,
bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu
jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para
filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama
merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah
atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal
yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih
dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral
dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela
dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah)
yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat
menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai
pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah
moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji
adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar
hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja,
sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya
kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari
penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya
berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani
--hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh
hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah
pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika
cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh.
Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani
bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.
Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada
dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,
ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap
dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan
dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya,
dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki
Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.
Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan
nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu
menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan
manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu al-Wafi aI-Taftazani, Maduhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy,
Kairo, 1983.
Ahmad Dandy, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nurudin
al-Raniry Jakarta, Rajawali, 1983.
Al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo, 1906.
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, 1334 H.
------, Ma'arij al-Quds fi Madarij Ma'rifah al-Nafs, Kairo,
1327 H.
------, Asnan al-Qur'an fi Ihya 'Ulum al-Din, Kairo.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1978.
Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, Kairo, 1949.

PANDANGAN KESUFIAN TENTANG DIRI MANUSIA

Elingana yen ana timbalan
Yen wis budal ora kena wakilan,
Ora kena wakilan
Timbalane kang Maha Kuasa
Gelem ora gelem bakale lunga
(Ingatlah jika telah datang panggilan
Kau harus pergi dan tak bisa kau wakilkan,
tak bisa kau wakilkan Panggilan dari Yang Maha Kuasa
Mau tak mau kau harus pergi jua)
Nyanyian puitis di atas adalah penggalan dari sebuah nyanyian
keagamaan yang cukup panjang. Di Jawa, nyanyian itu disebut
pujian atau erang-erangan. Pujian tersebut biasanya
didendangkan bersama-sama oleh para jemaah di langgar atau
mesjid menjelang shalat Subuh, Maghrib atau Isya, sembari
menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut
mendirikan salat berjamaah. Mungkin berkat susunannya yang
ritmis dan mudah dihapal maka pujian tersebut seringkali
menjadi "nyanyian" populer yang dilakukan bukan hanya di
mesjid dan langgar, tapi juga di sawah dan ladang ketika
seseorang menggembalakan ternaknya, atau di rumah-rumah ketika
ibu-ibu berusaha menidurkan anaknya.
Tidak jelas siapa pengarang pujian yang cukup populer
tersebut, terutama di desa-desa bagian Jawa Tengah Selatan.
Namun, orang mengenal bahwa pujian semacam itu disebarkan oleh
kalangan pesantren. Perlu dicatat, para kyai pemimpin
pesantren kebanyakan juga pemimpin tarekat, sehingga tidak
mengherankan kalau pujian yang diciptakan sarat dengan
pesan-pesan kesufian. Dan, dari pujian tersebut tercermin
sebuah permintaan agar manusia menyadari bahwa suka atau
tidak, ia harus memenuhi panggilan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk
kembali ke haribaannya. Panggilan Tuhan tersebut tidak dapat
didelegasikan kepada siapapun juga.
Memang, di antara pesan kesufian yang terpenting adalah ajakan
agar manusia menyadari sepenuhnya sifat kefanaan dari
kehidupan dunia ini. Oleh karena dunia bersifat fana dan yang
kekal hanyalah Tuhan, maka dunia ini dipandang benar-benar
bermakna hanya apabila ia senantiasa diorientasikan kepada
Tuhan. Lalai dari kesadaran berketuhanan berarti manusia telah
terjerat oleh perangkat serba kefanaan. Dalam "perangkap"
seperti itu manusia cenderung berorientasi hanya kepada usaha
mewujudkan kesenangan sementara yang segera dapat dinikmati
kini dan di sini, di dunia yang fana ini. Ia lupa bahwa
manusia disebut manusia tidak lain karena roh sukma yang
ditiupkan Tuhan masih melekat di jasad atau raganya. Begitu
sukma meninggalkan raga, ia dianggap sudah tiada.
TEORI CERMIN AL-GHAZALI
Bagaimanapun roh atau sukma akan kembali kepada Tuhan. Dalam
kenyataannya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepada
Tuhan dan detik-detik kehadirannya di dunia ini justru lebih
banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat jasadi atau
lahiriah belaka? Imam Ghazali menjawab masalah ini dengan
Teori Cermin (al-Mir'ah) dalam karyanya yang sangat terkenal
itu --Ihya' 'ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia
ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur atau
cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih
niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan
memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya (lihat Ghazali,
t.t., vol.I: h. 119-125).
Sedangkan jika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal
spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tiga
kemungkinan. Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya
Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin
rohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori ini
adalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor
dan aniaya. Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat
penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin
tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yang
menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi
hidupnya. Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber
cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh
cahaya petunjuk Ilahi. Contoh yang sangat tepat untuk kategori
ini orang-orang kafir yang dengan sadar mengingkari keberadaan
Tuhan.
Agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening, ia
harus senantiasa berusaha memurnikan diri dengan jalan
menguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan hidup
para nabi melalui berbagai latihan kerohanian (riyadlah).
Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren dan di
kalangan para penganut tarekat, riyadlah atau latihan
kerohanian dalam berbagai bentuk amalan sunnah --salat sunnah,
puasa Senin, Kamis, puasa Nabi Daud, dan lebih-lebih usaha
senantiasa mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikir
merupakan hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-hari
mereka.
Melaksanakan secara intensif berbagai amalan sunnah tersebut
tak lain merupakan usaha mengamalkan sebuah hadits Qudsi
sebagai berikut:
Kepada orang yang memusuhi Wali-Ku, akan Kunyatakan perang.
Ibadat yang paling mendekatkan Hamba-Ku, sehingga Aku sayang
kepadanya adalah menunaikan semua perintah yang telah Aku
berikan. Hamba-Ku adalah mereka yang mendekatkan dirinya
kepada-Ku dan melakukan pula hal-hal sunnah yang Aku cintai.
Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi
telinganya yang dipakai untuk mendengar. Aku-lah matanya untuk
melihat, Aku-lah tangannya untuk bekerja, dan Aku-lah kakinya
untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku akan Aku beri,
dan apabila ia meminta perlindungan akan Aku beri. (Riwayat
Bukhari dan Abi Hurairah)
Apabila seseorang telah melaksanakan berbagai ibadah secara
intensif, hal itu dalam pandangan kesufian tidak secara
otomatis merupakan jaminan bahwa orang tersebut akan sampai
pada tujuan hakiki dari ibadah yakni terjalinnya hubungan
konstan dengan Allah. Ibadah ritual akan jatuh nilainya
menjadi seremonial tanpa isi jika ibadah tersebut dilaksanakan
tanpa sikap batin yang dipimpin semata-mata oleh harapan
memperoleh ridha Allah.
Sebaliknya sikap batin yang tidak diaktualisasikan dalam
bentuk pelaksanann ibadah sebagaimana yang dituntunkan syariat
dan dicontohkan oleh Nabi, dipandang sebagai kesombongan
spiritual, yang menjurus kapada zindiq (penyelewengan). Dalam
kaitan ini Imam Malik, salah seorang pendiri mazhab fiqih yang
terkenal, mengatakan bahwa siapa yang bertasawuf tanpa
mengamalkan fiqh, ia zindiq dan siapa yang mengamalkan fiqh
tanpa bertasawuf, ia fasiq (tak bermoral).
Agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna dan tak jatuh ke
nilai seremonial yang tanpa isi, maka di kalangan kaum sufi
ibadah ritual selalu dibarengi bahkan didahului oleh
penggeledahan dan interogasi diri: apakah ibadah yang kita
lakukan sudah benar-benar karena Allah dan bukannya karena
yang lain?
Dalam kaitannya dengan upaya rohani seperti itulah kisah
sufistik yang dicatat dari pesantren --Tarekat
Qadariah-Naqshabandiyah di Jawa Timur-- merupakan ilustrasi
relatif menarik.
Di sebuah desa hidup seorang yang dikenal oleh kalangan luas
sebagai orang yang sangat alim. Segala pujian dilimpahkan
orang kepada si Alim atas kesalehan dan kealimannya. Mendengar
berbagai pujian tersebut si Alim jadi gelisah. Jangan-jangan
dirinya rajin beribadah itu bukan karena Allah melainkan
justru karena orang memujinya sebagai orang alim. Pada suatu
pagi ia pun pergi menuju pasar di seberang desa. Sesampainya
di pasar secara demonstratif ia sengaja mencuri ayam yang
sedang diperjualbelikan. Karena tertangkap basah maka iapun
dipukuli banyak orang. Ayam dikembalikannya dan ia pun pulang
dalam keadaan babak belur. Orang sepasar akhirnya bergumam:
"Oh, ternyata ia hanya pura-pura alim, padahal sebenarnya ia
tak lebih dari seorang maling!" Mendengar omongan seperti itu
ia bukannya sedih melainkan bersyukur kepada Allah. Setibanya
di rumah ia langsung sujud syukur "Alkhamdulillah, ya Allah,
kini aku beribadah bukan karena manusia, tetapi insya Allah
benar-benar karena Engkau semata."
Demikianlah, dari sudut pandang kesufian, hidup ini merupakan
pergulatan terus-menerus dengan diri sendiri. Dengan demikian,
keberanian untuk melakukan penggeledahan dan interogasi diri
merupakan inti keberagamaan dan sekaligus bagaikan tangga naik
yang akan mengantarkan diri seseorang kepada derajat yang
terus meningkat dari suatu tingkat (maqam) tertentu ke tingkat
rohani berikutnya yang lebih tinggi. Maqam-maqam tersebut dari
yang terendah hingga yang tertinggi dikenal di kalangan kaum
sufi dengan istilah-istilah sebagai berikut:
(1) Maqam Tawbat, yakni meninggalkan dan tidak mengulangi lagi
perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan dosa-dosa sepadannya
demi menjunjung tinggi ajaran Allah dan mengingkari murka-Nya.
(2) Maqam Wara', yaitu menahan diri untuk tidak melakukan
sesuatu dalam rangka menjunjung tinggi perintah-Nya.
(3) Maqam Zuhud, yakni lepasnya pandangan keduniaan dan usaha
memperolehnya dari diri orang yang sebetulnya mampu untuk
memperolehnya.
(4) Maqam Shabar, ialah ketabahan dalam menghadapi dan
mendorong hawa nafsu.
(5) Maqam Faqir, yaitu tenang serta tabah sewaktu melarat dan
mengutamakan orang lain di kala berada.
(6) Maqam Syukur, yaitu menyadari bahwa segala kenikmatan itu
datangnya dari Allah semata.
(7) Maqam Khauf, ialah rasa ngeri dalam menghadapi siksa Allah
atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah.
(8) Maqam Raja', yakni hati yang diliputi rasa gembira karena
mengetahui kemurahan dari Allah yang menjadi tumpuan
harapannya.
(9) Maqam Tawakkal, yaitu sikap hati yang bergantung hanya
kepada Allah dalam menghadapi segala sesuatu baik yang
disukai, dibenci, diharapkan, maupun ditakuti.
(10)Maqam Ridla, ialah rasa puas di hati sekalipun menerima
nasib pahit.
Mengenal selintas maqam-maqam tersebut seolah-olah mustahil
nilai-nilai kesufian tersebut dapat diwujudkan dalan kehidupan
yang sudah serba modern ini. Namun, jika maqam-maqam tersebut
dipandang sebagai tidak lain dari upaya pendakian rohani
menuju ridla Allah, maka maqam-maqam tersebut adalah acuan
yang memang harus dimiliki mereka yan benar-benar merindukan
leburnya diri kembali kepada Yan Maha Hakiki.
Menengok pada luka menganga yang menjangkiti dunia modern
seperti konsumerisme yang seolah tak mengenal kata puas,
hedonisme yang telah menyebabkan merajalelanya AIDS, serta
materialisme yang cenderung mencekal nilai-nilai spiritual;
semua itu mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pola
kehidupan yang semata-mata dipimpin oleh otak (head) dan
ketrampilan teknologis (hand) itu perlu diimbangi dan
dikendalikan dengan kebeningan hati (heart). Dan, melalui
sudut pandang kesufian kiranya kehidupan beragama akan marnpu
mewujudkan pribadi-pribadi yang seimbang seperti itu.
Akhirnya, semua itu terpulang kepada manusia sendri apakah ia
akan menundukkan sukmanya kepada kehidupan yang berorientasi
pada kebutuhan jasadi yang bersifat kini dan di sini (sukma
dhulmani, sukma yang berada dalam kegelapan), ataukah ia akan
mengarahkan sukmanya sehingga sang sukmalah yang memimpin
kebutuhan jasadi agar senantiasa berada dalam terpaan cahaya
Ilahi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Firdaus A.N., "Jalan ke Surga" (Kumpulan 772 Hadist Qudsi),
Yayasan Kesejahteraan Bersama, tanpa tahun.
Al-Ghazali, Imam, "Ihya' 'Ulum al-Din", vol.I, (dengan
terjemahan Jiwa oleh Misbah Zaini Mustofa), Raja Murah,
Pekalongan, 1981.
Johns, A.H., "Sufism As a Category in Indonesian Literature
And History," dalam Journal of Southeast Asian History, vol. 2
(1961), hal. 10-23.
Madjid, Nurcholish., "Tasauf dan Pesantren", dalam M. Dawam
Rahardjo (ed.) Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta,
1985.
Zarkasyi, Muhamad Nawawi Shidiq, "Soal-Jawab Thoriqiyah",
Pesantren Raudlatul Thulab, Berjan, Purwokerto, 1977.

MANUSIA DAN PROSES PENYEMPURNAAN DIRI

Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak
ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang
prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah
juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum
selesai atau setengah jadi, sehingga masih harus berjuang
untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91:7-10). Proses
penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya
manusia itu fithri, hanif dan berakal. Lebih dari itu bagi
seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagi
dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai
petunjuk hidupnya (QS. 4:174).
Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi:
Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbabu --Siapa yang telah
mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi,
pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang
untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka
mengenal Tuhan.
Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui
kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini
manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati
diri dan hakikat kemanusiaannya
Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu pengetahuan dan
berkembangnya differensiasi dalam profesi kehidupan maka
protret atau konsep tentang realitas manusia semakin terpecah
meniadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok
manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. Sederet disiplin
ilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran,
politik, ekonomi, antropologi, teologi dan lainnya semuanya
menjadikan manusia sebagai obyek kajian materialnya, tetapi
masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda.
Differensiasi metodologis setiap ilmu, meskipun obyek
materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang
berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu.
Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang
melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah
misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah
mengundang kegelisahan intelektual pare ahli pikir untuk
mencoba berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli pikir
mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula
ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti
semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.
Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisit
dikemukakan, misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya:
Nietzsche proclaims the will to power, Freud signalizes the
sexual instinct, Marx enthrones the economic instinct. Each
theory becomes a Procrustean bed in which the empirical facts
are stretched to fit a preconceived pattern. Owing to this
development our modern theory of man lost its intellectual
center. We acquired instead a complete anarchy of thought.
(Ernst Cassier, 1978, p.21)
Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan
kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan
Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama,
secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsi
yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan
Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung
ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha
Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung
membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan
Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada akhirnya
akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan
dekrit-Nya.
Demikianlah, bila ilmu fiqih cenderung mengenalkan Tuhan
sebagai Maha Hakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi
gambaran Tuhan sebagai Maha Akal, sementara ilmu tasawuf
memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.
Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada
dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu
lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya.
Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalah
mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka
langkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana
mengenal diri kita secara benar.
Meskipun Cassirer secara gamblang menunjukkan krisis
pengenalan diri, secara sederhana kita bisa membedakan dua
paradigma pemahaman terhadap manusia, yaitu paradigma
materialisme-atheistik dan spiritualisme-theistik. Yang
pertama berkeyakinan pada teori bahwa semua realitas materi
(downward causation), sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa
dunia materi ini hakikatnya berasal dari realitas yang
bersifat imateri (upward causation).
Bagi mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metode
berpikir empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk
menghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimana
yang lazim diyakini di kalangan pare sufi. Kritik terhadap
aliran materialisme akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan
mudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Barat
kontemporer dengan dalih, antara lain, faham ini telah
mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai
moral and religious being.
Ralph Ross, misalnya, memberikan contoh yang amat sederhana
tetapi gamblang betapa miskinnya penganut materialisme dalam
memahami kehidupan yang penuh nuansa ini.
Progressive reductionism works as follows. An art object is
only mass and light waves; an act of love only chemiphysical,
only electrical charges; therefore, the art object or act of
love is only a flow of electricity. (Ralph ross, 1962, hal.
8).
Pandangan yang begitu dangkal tentang manusia secara tegas
dikritik oleh al-Qur'an. Menurut doktrin al-Qur'an, manusia
adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan
'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS.
2:3). Lebih dari itu dalam tradisi sufi terdapat keyakinan
yang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan
karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat dan
menampakkan kebesaran diri-Nya.
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu
al-khalqa fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang
tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk
maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya
orang sufi menerima hadits tersebut, namun dengan beberapa
penafsiran yang berbeda. Meski demikian, mereka cenderung
sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki
sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial
mendekati Tuhan (Bandingkan QS. 41:53). Dalam QS. 15:29,
misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memang
terdapat unsur Ilahi yang dalam al-Qur'an beristilah "min
ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang
dan mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya
ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.
Dari jenjang pertama sampai ke tiga aktivitas dan daya jangkau
manusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan dunia
materi selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang
saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks inilah
yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia
materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makin
berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran
realitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu
mengenal dirinya secara utuh. Seperti dikemukakan Carel Alexis
bahwa man has gained the mistery of the material world before
knowing himself.
Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf belum mempunyai
definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti
tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran
nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya
melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia
bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci. Ajaran
spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam
melainkan pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiran
filsafat akan mudah pula dijumpai. Dari kenyataan ini maka
tidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwa
sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia
ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal.
Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci
yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena
dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah
muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. Kalangan
sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah
hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur
manusia yang paling dalam, yang pertumbuhannya sering
terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani
yang melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang
bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan
"jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan
otonominya sebagai master. Bila hal ini terjadi maka
terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi
difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi
dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan
memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan
sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai,
senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan
Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah,
yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.
Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf adalah membantu seseorang
bagaimana caranya seseorang bisa memelihara dan meningkatkan
kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia merasa damai dan
juga kembali ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS.
89:27).
Secara garis besar tahapan seorang mukmin untuk meningkatkan
kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau
ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan
kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Di manapun
seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan
berdzikir untuk Tuhannya (QS. 3:191). Dari dzikir ini
meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu, secara sadar
meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki
sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa juga
disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri
manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan
Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."
Maqam ketiga tahaqquq. Yaitu, suatu kemampuan untuk
mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai
seorang mukmin yang dirinya sudah "didominasi" sifat-sifat
Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan
mulia. Maqam tahaqquq ini sejalan dengan Hadits Qudsi yang
digemari kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi seorang
mukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan
intimnya dengan Tuhan maka Tuhan akan melihat kedekatan
hamba-Nya.
Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa
yang disebut gaib atau hati dalam pengertiannya yang
metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa
hati seseorang bagaikan raja, sementara badan dan anggotanya
bagai istana dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan
kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.
Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara
fisik hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia,
namun luasnya hati Insan Kamil (qalb al-'arif) melebihi
luasnya langit dan bumi karena ia sanggup menerima 'arsy
Tuhan, sementara bumi langit tidak sanggup. Menurut Ibn
'Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub
yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati
sang sufi, kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya
Tuhan. Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam
makhluk-Nya dalam pengertian metafisik. Dan dari sekian
makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang paling
mampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku
kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138).
Dalam konteks inilah, menurut Ibn 'Arabi, yang dimaksudkan
dengan ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia akan
mengetahui Tuhannya karena manusia adalah "microcosmos" atau
jagad cilik dimana 'arsy Tuhan berada di situ, tetapi Tuhan
bukan pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" yang Maha
Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang
Dhahir, bukannya Yang Bathin.
KHALIFAH ALLAH: MANUSIA SUCI NAN PERKASA
Bila upaya penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, dan itu
dilakukan dalam upaya mendekati dan menggapai kasih Tuhan,
maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagaman dan
karenanya setiap muslim semestinya berusaha untuk menjadi
sufi.
Pandangan semacam itu tentu saja kurang populer dan sulit
diterima oleh kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah cukup
tegas isyarat al-Qur'an maupun Hadits yang menyatakan bahwa
kewajiban setiap muslim adalah mensucikan jiwanya sehingga
kesuciannya termanifestasikan dalam perilaku insaniyahnya?
Melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan tahaqquq, maka
seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan
kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan
damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang saleh adalah
sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga
di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan proyek
untuk memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang
saleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya? Jadi, secara
karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak
asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di hotel
mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of Wisdom), New York,
1980.
Afifi, AE. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnul
'Arabi, Lahore, 1938
Cassirer, Ernst., An Essay on Man, London, 1978.
Izutsu, Toshihiko, The Concept of Perpetual Creation in
Islamic Mysticism and Zen Buddhism, Teheran, 1977.
Massiggnon, Louis., The Passion of al-Hallaj, Jilid II dan
III, Princeton, 1982.
Nasution, Prof. Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam
Islam, 1973
Ross, Raiph., Symbols and Civilization, New York, 1962.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta,
1976.
Valiuddin, Dr. Mir., The Qur'anic Sufism, Lahore, 1978.

SYARI'AH, THARIQAH, HAQIQAH DAN MA'RIFAH

Kata syari'ah telah beredar luas di kalangan umat muslim.
Bahkan, dalam al-Qur'an sendiri, kata tersebut telah dipakai
antara lain pada Surah al-Jatsiyah: 18. Pemakaian kata
tersebut mengacu kepada makna ajaran dan norma agama itu
sendiri. Dalam perkembangan Islam munculnya tiga kata
thariqah, haqiqah dan ma'rifah, telah mengakibatkan
terbatasnya pengertian syari'ah sehingga lebih banyak
mengacu pada norma hukum. Sedangkan tiga kata lainnya
menjadi terma yang terkenal dalam tasawuf. Karena itu ada
baiknya kita lebih dahulu berbicara tentang tasawuf itu
sendiri.
Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka
adalah kelompok spiritual dalam umat Islam yang berada di
tengah-tengah dua kelompok lainnya yang disebut kelompok
formal dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini
terdiri dari ulama-ulama mutakallim (ahli teologi),
sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhaddits
dan fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu
kecenderungan spiritual yang membentuk etika moral dan
lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita katakan
seorang muhaddttsin sekaligus juga ulama sufiyah, begitu
pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.
Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari
prinsip-prinsip Islam sejak awal. Ajaran ini tak ubahnya
merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk hidup
bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran
agama dalam kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun
mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah kedisiplinan
beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk
mendapatkan ridla-Nya), dan upaya membebaskan diri dari
keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak
diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi
lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada
kalangan kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatan
berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara
berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi
kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulah
angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup
sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.
Keadaan tersebut berkelanjutan hingga mencapai puncak
perkembangannya pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abad
itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehingga
di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah,
seperti kita dapat simak dalam karya sastra "cerita seribu
satu malam" dimasa kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Pada
masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang
tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi
mulai ditandai juga dengan berkembangnya suatu cara
penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu
yang disebut ilmu Tasawuf.
Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yang
dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya
penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam menjabarkan
prinsip-prinsip ajaran Islam mengenai penataan kehidupan
pribadi dan masyarakat yang sudah berkembang selama tiga
abad -dengan munculnya disiplin ilmu Tasawuf- terjadilah
pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk penalaran
ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk
penalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah. Selanjutnya
para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf
disebut ahli haqiqah.
Pada tahap perkembangannya, secara berangsur-angsur pola
pikir dan pola hubungan antara ahli syari'ah dan ahli
haqiqah makin berbeda. Dan ini menimbulkan banyak
pertentangan antara kedua kelompok tersebut. Perbedaan
tersebut ditandai dengan beberapa hal berikut:
1. Ahli syari'ah menonjolkan -kadang-kadang secara
berlebih-lebihan- soal pengalaman agama dalam bentuk yang
formalistik (syi'ar-syi'ar lahiriah). Sedang dilain pihak,
para ahli haqiqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran
Islam.
2. Adanya teori-teori ahli haqiqah yang menggusarkan para
ahli syari'ah, misalnya teori al-fana fi 'l-Lah (peleburan
diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan
teori Hub al-Lah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi'ah
al-'Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminal-terminal
dan situasi-situasi) ciptaan Dzunn-un al-Mishri. Semua itu
dianggap sebagai ajaran aneh oleh para ahli syari'ah.
3. Sebagian ahli haqigah tidak merasa terikat dengan
syi'ar-syi'ar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata,
kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas
dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka
sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah.
4. Ahli haqiqah mengklaim, siapa yang telah sampai
perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur
dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan
alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).
Jurang pemisah yang makin hari makin melebar antara ahli
syari'ah dan ahli haqiqah makin menjadi-jadi pada sekitar
akhir abad kelima Hijrah, dan Imam Ghazali berupaya
memulihkannya. Dalam kaitan inilah beliau tampil dengan
karya besarnya Ihya 'Ulum al-Din. Dalam buku ini beliau
mempertemukan teori-teori syari'ah dengan teori-teori
haqiqah Ternyata upaya al-Ghazali ini sangat membantu dalam
merukunkan kembali antara para ahli syari'ah dengan ahli
haqiqah.
Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat
lembaga keagamaan non-formal yang namanya "tarekat" asal
kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Tarekat
Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat
Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam
satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah
lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut
dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu
lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam'iyah Ahl
al-Thariqah al-Mu'tabarah. Pada tahun lima puluhan,
pemerintah Mesir menempatkan pembinaan dan koordinasi
tarekat-terekat tersebut di bawah Departemen Bimbingan
Nasional (Wizarah al-Irsyad al-Qaumi). Pertimbangannya
ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu
merupakan bagian dari potensi bangsa/umat, yang berhak
mendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan
suatu negara.
Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita
mempertanyakan kapankah munculnya tarekat (al-thuruq
al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan gerakan tasawuf
Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan
tasawuf dan gerakan syi'ah mengungkapkan, tokoh pertama yang
memperkenalkan sistem thariqah (tarekat) itu Syekh Abdul
Qadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran
tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang
mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia dan Jawa.
Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat
Rifa'iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa'i. Dan tempat
ketiga diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal
al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisi
baru dengan menggunakan alat-alat musik sebagai sarana
dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.
Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang
mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan
dunia Islam bagian Timur pada umumnya.
Yang juga perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat
Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin
militer. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad
al-Syarif al-Sanusi berhasil menggalang satu kekuatan
perlawanan rakyat yang mampu memerangi kolonialis Italia,
Perancis dan Inggris secara berturut-turut, dan akhirnya
membebaskan wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklim
yang dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai
Mu'ammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan berkuasa
sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.
Nicholson mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa sistem
hidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekat
yang berbeda-beda itu. Semua pengikutnya dididik dalam
disiplin itu, dan pada umumnya tarekat-tarekat tersebut
walaupun beragam namanya dan metodenya, tapi ada beberapa
ciri yang menyamakan:
1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi
penganut (murid). Adakalanya sebelum yang bersangkutan
diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu
menjalani masa persiapan yang berat.
2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal)
3. Menjalani riyadlah (latihan dasar) berkhalwat. Menyepi
dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa
hari (kadang-kadang sampai 40 hari).
4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam
waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan
alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat
membina konsentrasi ingatan.
5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka
yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang
berlaku di luar kebiasaan.
6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau
pembantunya yang tidak bisa dibantah
Dari sistem dan metode tersebut Nicholson menyimpulkan,
bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang
terorganisasi untuk membina suatu pendidikan moral dan
solidaritas sosial. Sasaran akhir dari pembinaan pribadi
dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih, bersahaja,
tekun beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah
yang diridlai Allah, dengan jalan pengamalan syari'ah dan
penghayatan haqiqah dalam sistem/metode thariqah untuk
mencapai ma'rifah.
Apa yang dimaksud dengan kata ma'rifah dalam terma mereka
ialah penghayatan puncak pengenalan keesaan Allah dalam
wujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titik
pengenalan ini akan terpadu makna tawakkal dalam tawhid,
yang melahirkan sikap pasrah total kepada Allah, dan
melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu
selain Allah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu 'l-Hasan al-Nadawi, Rijal al-fikri wa
'l-Da'wah fi 'l-lslam.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam dan Zhuhur al-Islam
Imam al Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din
Irnam Ibn Khaldun, al-Muqaddimah.
Kamil Mushthafa al-Syibli,
al-Shilah bain al-Tashawwuf wa 'l-Tasyayyu'.

Tasawuf

Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin
dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati
bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang
menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan
bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri
dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah
Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya
adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas
masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui
penyucian rohnya.
ASAL KATA SUFI
Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan
dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.
Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang
disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan
diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama
salat dan puasa.
2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris
pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh
orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca
ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat
datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha
membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama
Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di
Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin,
tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan
memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah,
sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia
dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum
sufi.
4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam)
yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat.
Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos
telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan
ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang
terdapat dalam kata tasawuf.
5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang
ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah
yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang
ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini
melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan
dari dunia.
Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang
banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah
orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari
dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani.
Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim
al-Kufi di Irak (w.150 H).
ASAL-USUL TASAWUF
Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam
mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan
agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran
tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari
rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat
dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia.
Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di
padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi
tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari
lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir.
Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong.
Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk
sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran
mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah
suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia
materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh
yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu
tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu
ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada
fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa
pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke
dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang
suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang
terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu
dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu
dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan
filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan
akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia
berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga
kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor,
ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri
melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat
mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu
dengan Dia di bumi ini.
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam
ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran
al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali
ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh
pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan.
Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di
dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep
Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia,
memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran
menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat
dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan
datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui
kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf
terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia
dengan roh Tuhan.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani
dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang
kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu
adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini
memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul
pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak
ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam
sendiri?
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan
manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan
Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika
hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan
mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi
berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat
Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia
berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya
kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan
oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka
kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS.
al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja
Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi
jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya
Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami
tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih
dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di
lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada
bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia
sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui
dirinya mengetahui Tuhannya."
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia
masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia
jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat
berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh
mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau
yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi
Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan.
Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat
bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain
sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku
adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal.
Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun
dikenal."
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan
bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau
ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia
dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat
al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi
menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga
kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak
memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat
merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak
beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat
Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan
rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN
Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat
melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan
Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang
harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya
sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf.
Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah
berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia.
Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum
sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut
maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha
keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan
perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut
diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama
puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang
calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat
dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian
diri calon sufi secara berangsur.
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama
yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari
dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf
adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat
dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah
berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil,
kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari
perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha,
yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya
yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau
sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu
panjang.
III.14. TASAWUF (hal. 42)
oleh Harun Nasution (2/4)
Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu
zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi
dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil
untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan
dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah,
dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum
hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit
tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia
menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi
digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang
dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya
dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan
berdzikir.
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa
menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk
kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa,
melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga
akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di
stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan
syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi
menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr
al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang
berisi syubhat.
Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion
ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya
sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak
meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi
tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion
sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan
perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi
larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar
dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan
Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan
dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya
pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan
diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak
memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari
ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa
tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena
ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia
bersikap seperti telah mati.
Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari
stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan
ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga
dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada
perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika
malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya
bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat
sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat
Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan
Tuhan.
Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan
tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan
tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru
menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah
sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh
pengalaman-pengalaman tasawuf.
PENGALAMAN SUFI
Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya
dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang
dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa
waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat
meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia
rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat
yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang
dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada
stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam
hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cinta
Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut,
pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap
melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada
Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari
segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.
Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam
al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan
kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari
surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang
dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat
30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu
cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan
mencintai kamu."
Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut,
"Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui
ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai,
Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."
Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman
cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiah
(713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan
memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam
doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pula
tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah
dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada
Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena
ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku
kepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja Engkau
karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau,
janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari
pandanganku."
Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di
langit telah gemerlapan, mata-mata telah bertiduran,
pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah
berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di
hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas
mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera
akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku
sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku
merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan
kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku. Sekiranya
Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak,
karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."
Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang
kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke
hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh
hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika
orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia
menjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang
kosong di dalam hatiku untuk benci setan."
Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya
dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:
Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku
Membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,
Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.
Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah
mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati
nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman
kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah
benar-benar menjadi sufi.
Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860
M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan
ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta
ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari
pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun
dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun
melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya,
bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat
dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena
Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."
Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah
karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak
membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat
melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf,
sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan
menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa
ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan
dari atas.
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal
yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang
berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya
untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua,
daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya
untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar
setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya.
Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya
tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia
disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin
besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap
daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun
bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat
rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan
ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka,
ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh
langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut
ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini
diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali,
pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah,
lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal,
yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali
diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah
mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran
ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf
dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat
di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan
tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua,
ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu
yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat
orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun
hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk
materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang
memandangnya akan mati karena tak tahan melihat
kecemerlangan dan keindahannya.
Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata
hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang
mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa
tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada
lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan
dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.
III.14. TASAWUF (hal. 42)
oleh Harun Nasution (3/4)
Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid al
Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya
menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha
yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya
kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai
ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu
telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan
bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke
stasion ittihad.
Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih
dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana'
adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu
didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang
lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf
disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa
(tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat
akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian,
yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu
hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul
sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang
sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan
timbul takwa.
Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu
mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran
jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada,
tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap
diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs
wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri
sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini
terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan
melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku
mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan
mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat
aku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuat
aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun
berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada
diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."
Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis,
"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain
terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan
makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula
makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan
pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk
lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah
ittihad."
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar
ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut
syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu
Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari
dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada
Tuhan selain Allah."
Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena
lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan
berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat
Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan
kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.
Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku
pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku
heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja
Maha Kuasa."
Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid
telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak
meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."
Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan
dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang
dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan
Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai
kepadaMu?"
Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya
Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa'
dan ittihad.
Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata
berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat
Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat
engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat
mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya
menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami
lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah
Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa
ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan
perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia
tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari
kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." Permintaan
Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan,
sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu
Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun
berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah
Engkau."
Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang
satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku).
Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam
ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi
satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata
kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai
Aku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Aku
menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkau
adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."
Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah
kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu
bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan
bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur
dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah
Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu
Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang
diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu
kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi
seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang
subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci
Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain
Aku, maka sembahlah Aku."
Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan
lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui
dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar,
dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar
dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari
dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar
tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan
tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi,
kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan
kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui
lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah,
tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di
dalam jubah ini tidak ada selain Allah."
Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid,
tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia
adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan
melalui lidah Abu Yazid.
Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah
Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan
nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi
hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke
sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq"
(Akulah Yang Maha Benar).
Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad,
tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk
bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya
dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul
diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya,
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dihancurkan.
Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid
dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj,
manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan
lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat
dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan
bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil
dari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam
sesuai dengan bentuk-Nya.
Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada
bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia.
Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan
itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada
syair al-Hallaj sebagai berikut:
Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum
Dengan membersihkan diri malalui ibadat yang banyak
dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan
ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi
dan terjadilah hulul.
Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku

Ciri Pemikiran Filsafat Abad Pertengahan

Ciri Pemikiran Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat yunani telah mencapai kejayaannya sehingga melahirkan peradaban yunani
dan menjadikan titik tolak peradaban manusia di dunia. Filsafat yunani telah
menyebar dan mempengaruhi di berbagai bangsa dianataranya adalah bangsa Romawi,
karena Romawi merupakan kerajaan terbesar di daratan Eropa pada waktu itu. Bangsa
Romawi yang semula beragama kristen dan kemudian kemasukan filsafat merupakan
suatu formulasi baru yaitu agama berintegrasi dengan filsafat, sehingga munculah
filsafat Eropa yang tak lain penjelmaan dari filsafat Yunani.
Filsafat barat abad pertengahan (476-1492 M) bisa dikatakan abad kegelapan, karena
pihak gereja membatasi para filosof dalam berfikir, sehingga ilmu pengetahuan
terhambat dan tidak bisa berkembang, karena semuanya diatur oleh doktirn-doktrin
gereja yang berdasarkan kenyakinan. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang
bertentangan dari keyakinan para gerejawan, maka filosof tersebut dianggap murtad
dan akan dihukum berat samapai pada hukuman mati.
Secara garis besar filsafat abad pertengahan dapat dibagi menjadi dua periode
yaitu: periode Scholastic Islam dan periode Scholastik Kristen. Para Scholastic
Islamlah yang pertama mengenalkan filsafatnya Aristoteles diantaranya adalah Ibnu
Rusyd, ia mengenalkan kepada orang-orang barat yang belum mengenal filsafat
Aristoteles.
Para ahli fikir Islam (Scholastik Islam) yaitu Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-
Gazali, Ibnu Rusyd dll. Mereka itulah yang memberi sumbagan sangat besar bagi para
filosof eropa yang menganggap bahwa filsafat Aristoteles, Plato, dan Al-Quran
adalah benar. Namun dalam kenyataannya bangsa eropa tidak mengakui atas peranan
ahli fikir Islam yang mengantarkam kemoderenan bangsa barat.
Kemudian yang kedua periode Scholastic Kristen dalam sejarah perkembangannya dapat
dibagi menjadi tiga, Yaitu: Masa Scholastik Awal, Masa Scholastik Keemasan, Masa
Scholastik Terakhir.
Masa Scholastik Awal (Abad 9 - 12 M)
Masa ini merupakan kembagkitan pemikiran dari kungkungan gerejawan yang telah
membatasi berfilsafat, karena berfilsafat sangat membahayakan bagi agama Kristen
khususnya pihak gerejawan. Dan yang ditonjolkan dalam masa ini adalah hubungan
antara agama dengan filsafat karena keduanya tidak dapat dipisahkan, dan dengan
keduanya manusia akan memporoleh pengetahuan yang lebih jelas. Tetapi masa ini
filsafat masih bertumpu pada alam pikiran dan karya-karya kristiani.
Masa ini juga berdiri sekolah-sekolah yang menerapkan study duniawi meliputi: tata
bahasa, retorikaa, dialektika, ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu perbintangan dan
musik. Sekolah yang mula-mula ada di biara Italia selatan ini akhirnya berpengaruh
ke daerah-daerah yang lain.
Masa Scholatik Keemasan (1200 – 1300 M)
Pada masa ini Scholastik mengalami kejayaan yang berlangsung dari tahun 1200-1300
M, disebut juga dengan masa yang berbunga dan bertumbuh kembang, karena muncul
banyak Universitas dan ordo-ordo yang menyelenggarkan pendidikan ilmu pengetahuan.
Ada beberapa faktor kenapa pada masa ini Scholastic mencapai keemasan. Pertama,
pengaruh dari Aristoteles dan ahli fikir Islam sejak abad ke 12 sehingga pada abad
ke 13 telah tumbuh ilmu pengetahuan yang luas. Kedua, berdirinya beberapa
Universitas. Dan yang ketiga munculnya ordo-ordo yang membawa dorongan kuat untuk
memberikan suasana yang semarak pada abad ke 13.
Pada masa ini juga ada sorang filofos Agustinus yang menolak ajaran Aristoteles
karena sudah dicemari oleh ahli fikir Islam, dan hal ini sangat membahayakan
ajaran Kristen, maka Abertus Magnus dan Thomas, sengaja menghilangkan unsure-unsur
atau selipan-selipan dari Ibnu Rusyd. Upaya Thomas Aquinas yang berhasil ini
sehingga menerbitkan buku yang berjudul Summa Theologie, yang merupakan bukti
kemenangan ajaran Aris Toteles deselaraskan dengan ajaran Kristen.
Masa Scholastik Akhir (1300 – 1450 M)
Masa ini ditandai denga kemalasan berfikir filsafat, sehingga menjadi stagnasi
pemikiran filsafat Scholasti Kristen, Nicolous Cusanus (1401-1404 M) adalah tokoh
yang terkenal pada masa ini, dan sebagai tokoh pemikir yang terakhir pada masa
Scholastik. Menurut pendaptnya terdapat tiga cara untuk mengenal, yaitu lewat
indera, dan kedua lewat akal, dan ketiga lewat intuisi. Dengan indera manusia
mendapatkan pengetahuan tentang benda-benda yang berjasad (sifatnya tidak
sempurna). Dengan akal manusia bisa mendapatkan bentuk yang abstrak yang telah
ditangkap oleh indera. Dan yang ketiga intuisi, dalam intuisi manusia akan
mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi, karena dengan intuisi manusia dapat
mempersatukan apa yang oleh akal tidak dapat dipersatukan. Karena keterbatasan
akal itu sendiri maka dengan intuisiah diharapkan sampai pada kenyataan, yaitu
Tuhan.

Filsafat Islam

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Ruang Lingkup Filsafat Islam
Dari segi bahasa, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari kata Philo yang artinya Cinta, dan Sofia yang artinya kebijaksanaan, atau pengetahuan yang mendalam. Jadi dilihat dari akar katanya, Filsafat mengandung arti ingin tahu dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan.
Adapun pengertian filsafat dari segi istilah para ahli, adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal, untuk mengetahui tentang hakikat segala sesuatu yang ada, seperti hakikat alam, hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat ilmu, hakikat pendidikan dan seterusnya. Dengan demikian muncullah apa yang disebut dengan filsafat alam, filsafat manusia, filsafat ilmu dan lain sebagainya…
Dalam hal ini perlu juga dijelaskan tentang ciri-ciri berpikir yang philosophis. Yaitu :
Pertama harus bersifat sistematis. Maksudnya bahwa pemikiran tersebut harus lurus, tidak melompat-lompat sehingga kesimpulan yang dihasilkan oleh pemikiran tersebut benar-benar dapat dimengerti.
Kedua harus bersifat radikal , maksudnya harus sampai ke akar-akarnya, sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk dipikirkan.
Ketiga harus bersifat universal, yaitu menyeluruh, melihat hakikat sesuatu dari hubungannya dengan yang lain, dan tidak dibatasi untuk kurun waktu tertentu.
Adapun pengertian Islam, dari segi bahasa dapat diartikan selamat sentosa, berserah diri, patuh, tunduk dan taat. Seseorang yang bersikap demikian disebut muslim, yaitu orang yang telah menyatakan dirinya ta’at, menyerahkan diri, patuh, dan tunduk kepada Allah SWT.
Selanjutnya pengertian Islam dari segi istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Ajaran-ajaran Islam tersebut selanjutnya terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Dari pengertian filsafat dan Islam sebagaimana diuraikan diatas, kita dapat berkata bahwa filsafat Islam, adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hakikat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya Filsafat Islam itu dalah Filsafat yang berorientasi pada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah.
Jadi ciri utama kegiatan Filsafat Islam adalah berpikir tentang segala sesuatu sejalan dengan semangat Islam. Dengan berfilsafat, seseorang akan memiliki wawasan yang luas tentang segala sesuatu, dapat berpikir teratur, tidak cepat puas dalam penemuan sesuatu, selalu bertanya dan bertanya, saling menghargai pendapat orang lain.
Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Sedangkan menurut Ahmad Fu¡¦ad al-Ahwani filsafat Islam ialah pembahasan tentang alam dan manusia yang disanari ajaran Islam.
Sejarah singkat timbulnya Filsafat Islam. Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al ¡Vrasyid, dimulailah penterjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat.
Penterjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca alim ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filofof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalam umat Islam.
Tujuan dan manfaat mempelajarinya. Tujuan mempelajari filsafat Islam ialah mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Sedangkan manfaat mempelajarinya ialah :
1. Dapat menolong dan menididk, menbangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia mahluk Tuhan
2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan
3. Pengaruh Filsafat Islam terhadap berbagai studi keislaman, khususnya dalam bidang tasawuf, teologi, dan fiqih
Tasawuf sebagai suatu ilmu yang mempelajari cara dan bagaimana seorang muslim berada dekat, sedekat mungkin dengan Allah. Tasawuf terbagi dua, yaitu Tasawuf Amali dan Tasawuf Falsafi. Dari pengelompokan tersebut tergambar adanya unsur-unsur kefilsafatan dalam ajaran tasawuf, seperti penggunaan logika dalam menjelaskan maqamat (al-fana, al-baqa, ittihad, hulul, wahdat al- wujud).
Setelah abad ke-6 Hijriah terjadi percampuran anatara filsafat dengan ilmu kalam, sehingga ilmu kalam menelan filsafat secara mentah-mentah dan dituangkan dalam berbagai bukti dengan mana Ilmu Tauhid. Yaitu pembmahasan problema ilmu kalam dengan menekankan penggunanaan semantic (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh para filosof. Kendatipun Ilmu Kalam tetap menjadikan nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil naqli yang tampak pada perbincangan mutakalimin. Atas dasar itulah sejumlah pakar memasukkan Ilmu Kalam dalam lingkup Filsafat Islam.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur¡¦an yang berkenaan dengan hokum diperlukan ijtihad, yaitu suatu usaha dengan mempergunakan akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumbernya. Syaikh Mustafa ¡¥Abdurrazaq dalam bukunya yang berjudul Tauhid Li Tarikhul Falsafatil Islamiyah (pengantar sejarah Islam) menyatakan, bahwa Ilmu Ushul Fiqh sepenuhnya diciptakan dan diletakkan dasar-dasar oleh Asy-Syafi¡¦ie, tentu akan melihat dengan jelas adanya berbagai gejala pemikiran filsafat.
B. Pasang Surut Perkembangan Filsafat Islam
1. Perkembangan Awal Filsafat Islam pada Abad Kesembilan
Theologi skolastik Kristen awal yang banyak menyerap doktrin-doktrin filsafat dan sains Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada abad ke-2 H/8 M, bercabang dan berkembang menjadi suatu gerakan pemikiran filosofis, ilmiah, cemerlang serta kuat, yang menghasilkan karya-karya orisinal dan bernilai tinggi pada abad ke-3 H/9 M sampai ke-6 H/12 M . Secara intelektual, gerakan falsafah merupakan hasil gerakan penerjemahan yang dilakukan secara massif pada masa Khalifah al-Makmun dengan Baitul Hikmahnya. Ketika itu al-Makmun mempercayakan orang-orang Kristen Nestorian untuk menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Dalam hal ini jasa Hunain binIshak dan putranya tidak dapat dilupakan.
Fazlur Rahman, mengatakan bahwa bahan-bahan yang dipakai untuk menyusun sistem filsafat Islam berasal dari Yunani atau yang disimpulkan dari ide-ide Yunani. Karena itu dalam materi ataupun isinya, sifatnya adalah sama sekali Hellenistik. Tetapi konstruksi aktualnya, yakni sistemnya itu sendiri, jelas mengapresiasi doktrin teologis agama Islam .
Upaya para filsuf Muslim untuk menciptakan jalinan yang harmonis antara metafisika religius Islam dan metafisika Yunani dengan pendekatan watak Yunani yang rasional menimbulkan respon keras para ulama dan fukaha. Karena dianggap gagal memenuhi tuntutan ortodoksi, filsafat Islam diberangus secara tragis dan tidak diizinkan untuk berkembang.
Secara umum diterima dengan suara bulat bahwa Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi sebagai penggagas pertama penulisan kreatif dalam filsafat Islam, dan dianggap sebagai filsuf Arab pertama, baik dalam arti etnik maupun kultural . Ketika Al-Kindi dilahirkan, kota Basrah dan Kufah merupakan pusat kegiatan pendidikan Islam. Ketika itu diskursus filsafat sudah mulai dikaji oleh kaum rasionalis Muslim (Muktazilah). Al-Kindi berperan aktif dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan filosofis Yunani, baik sebagai pelindung penerjemahan yang dilakukan sarjana-sarjana lain, maupun sebagai ahli merevisi dan juru penerang naskah-naskah filsafat. Akan tetapi semua upaya Al-Kindi ini dapat berjalan mulus berkat dukungan langsung dari tiga orang khalifah Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842) dan al-Watsiq (842-847) .
Mengikuti Aristoteles, Al-Kindi menganggap bahwa tujuan filsafat ialah menemukan hakekat sejati benda-benda melalui penjelasan-penjelasan kausal. Penjelasan-penjelasan alamiah bertujuan untuk mencari kebenaran tentang alam, sementara “filsafat pertama” atau metafisika, berkenaan dengan bidang yang lebih tinggi dan ilahi.
Menurut Al-Kindi Allah adalah satu-satunya pelaku yang sejati (the only true agent), dan kepelakuan (agency) tindakan manusia bersifat sekunder dan metaforis. Seperti beberapa teolog dalam tradisi Kristen, Al-Kindi percaya bahwa hakekat ilahi Allah memustahilkan manusia untuk memahamiNya sepenuhnya. Karena itu pelukisan Al-Kindi tentang Allah pertama-tama dirumuskan dalam istilah-istilah negatif, seperti via negatifa-nya Philo. Akan tetapi dalam banyak hal, kepercayaan religius Al-Kindi disesuaikan dengan ortodoksi, dan ia bersedia mengakui akal budi mempunyai batas-batasnya. Seperti para Stois, ia mempunyai respek yang mendalam terhadap takdir .
Pasca Al-Kindi, berkembang paham naturalisme dan tantangan terhadap dogma Islam melalui Ibnu Al-Rawandi dan Al-Razi. Pandangan-pandangan filosofis Al-Rawandi seperti keabadian dunia, keunggulan dualisme (manichaenisme) daripada monotheisme dan kebijaksanaan ilahi yang tidak berguna, menguatkan kesan bahwa pemikir ini pada mulanya adalah teolog Mu’tazilah yang sangat ahli dan dihormati, akan tetapi mengalami problem skeptisisme yang akut .
Adapun Abu Bakr Muhammad bin Zakariya al-Razi, menganggap filsafat sebagai keseluruhan jalan hidup, yang mencakup baik pengetahuan dan perilaku. Mengikuti Plato, ia meyakini bahwa akal budi adalah piranti-piranti untuk menentukan kebenaran, dan jika akal budi bertentangan dengan wahyu, wahyu harus ditinggalkan. Dalam pandangannya dunia diciptakan Allah tidak dari ketiadaan, karena materi yang bersifat abadi sudah eksis sebelum adanya penciptaan .
2. Perkembangan Neo-Platonisme dalam Filsafat Islam
Kecenderungan-kecenderungan Neo-Platonik yang (telah ada secara) implisit dalam sistem filsafat Al-Kindi dan Al-Razi, menjadi sangat dominan da lam tulisan Al-Farabi dan Ibnu Sina, dua orang filsuf Muslim pertama yang membangun sebuah sistem metafisika besar dan sangat kompleks . Abu Nashr Al-Farabi (870-950) dikenal sebagai guru kedua dan otoritas terbesar sesudah Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin “harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”, dan dia memulai wacananya dengan gagasan Plato tentang perlunya menempatkan harmonisasi seperti itu pada landasan filsafat yang paling dasar . Sumbangan filosofisnya yang asli, misalnya berkenaan dengan pendapat-pendapat Aristoteles tentang “esensi” dan “eksistensi”, dimana Al-Farabi membedakan antara esensi (struktur fundamental) pengada yang niscaya (yang wajib ada) dengan pengada yang kontingen (yang bergantung pada sebab-sebab dan dapat menjadi hal lain). Al-Farabi mengadopsi pandangan Neo-Platonisme tentang penciptaan. Ia percaya bahwa semua penciptaan ber-emanasi dari Allah, Sang penyebab pertama, dan bahwa pikiran manusia dapat mengetahui penciptaan ini melalui penerangan yang diberikan oleh intelegensi yang lebih tinggi dan eksternal .
Sedangkan Ibnu Sina (980-1037) adalah filsuf Muslim ternama yang menjadi tokoh sentral filsafat paripatetik. Ia merupakan ilmuan-filsuf yang amat produktif menerbitkan karya karya-karya ilmiahnya yang hingga kini masih terus dipelajari oleh para sarjana Barat maupun Muslim. William Chittick menyebutnya sebagai kutub intelektual dunia Islam .
Mengikuti konsep Neo-Platonisme, Ibnu Sina berargumen bahwa Allah menciptakan dunia melalui emanasi. Dia percaya bahwa Allah adalah pikiran murni dan ciptaan dihasilkan dari pemikiran Tuhan (sebagai aktifitas fundamentalNya).
Walaupun demikian, Ibnu Sina meninggalkan ciri-ciri tertentu pandangan Neo-Platonisme, misalnya ia tidak menganggap materi sebagai fondasi abadi benda-benda, sejalan dengan pemahaman Aristoteles . Dalam perkembangan filsafat Islam; Ibnu Sina juga adalah perintis pemikiran iluminasi melalui karya terakhirnya seperti Isyarat Wa Tanbihat dan Mantiq Al-Masyriqiyyin (logika Timur) yang satu abad kemudian dirumuskan oleh Suhrawardi (w. 1191) dalam sistem filsafat iluminasi (Isyraqiyyah).
3. Filsafat Islam Versus Ortodoksi Sunni dan Fenomena Al-Ghazali.
Sebelum memasuki periode benturan dengan ortodoksi, filsafat Islam juga memasuki kecenderungan Neo-Pythagoreanisme yang tegas, gerakan ini dipelopori oleh Ikhwan al-Shafa. Tiga rangkaian plotinian tentang Tuhan, jiwa dan materi tempat mereka membangun dunia sesuai dengan rangkaian numerikal yang menjadi sumber bilangan.
Meskipun mereka menghargai Pythagoras, “sang bijaksawanan” yang tiada henti-hentinya mereka puji dan kaji, tetapi Ikhwan mengumpulkan sedikit demi sedikit dari setiap sudut yang mungkin. Karena motto mereka untuk tidak meninggalkan sumber pengetahuan manapun, dan untuk meliput aspek positif semua kepercayaan dalam ajaran mereka.
Selain itu, sebelum terjadi benturan ada beberapa tokoh yang menyebarluaskan budaya filosofis pada medio abad kesepuluh, seperti Abu Hayyan al-Tauhidi, Miskawayh dan Yahya bin Adi .
Persentuhan antara tradisi Hellenistik dengan dogma mulai terjadi sejak abad kedelapan, dimana teologi skolastik (kalam) mulai menemukan bentuknya, namun interaksi filsafat dengan dogma menghasilkan perpecahan bertahap antara keduanya. Perbenturan awal terjadi pada peristiwa “mihnah” (inquisition) pada periode Al-Ma’mun yang berupaya mempropagandakan doktrin Mu’tazilah, dan kemenangan partai Hambali dan tradisionalis (ahl al-Sunnah) pada era Mutawakkil. Munculnya pembaharuan teologi skolastik yang dipelopori Al-Asy’ari, Al-Baqillani dan Al-Juwayni membawa angin segar baru dalam pemikiran Kalam, yang kemudian konsepsi teologis Asy’ariah menjadi sangat dominan, sehingga terbentuklah ortodoksi Sunni. Perbenturan filsafat Islam yang Neo-Platonik dengan ortodoksi Sunni terjadi secara sistematik pada buku Tahafut al-Falasifah karya Al-Ghazali. Buku tersebut mengelaborasi dua puluh proposisi, dimana enambelas proposisi (pernyataan) metafisik dan empat proposisi fisika yang mempunyai kaitan erat dengan agama dan terhadap mana Mukmin yang lengah harus diperingatkan. Dari proposisi-proposisi ini, ada tiga yang terutama sekali menjijikkan dilihat dari sudut pandang agama, dan karena itu orang-orang yang membenarkannya harus dinyatakan murtad. Ketiga proposisi tersebut adalah, keabadian dunia melalui doktrin emanasi, pengetahuan Tuhan yang terbatas pada hal-hal yang universal dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani di akherat . Tujuhbelas proposisi lainnya menurut hemat Al-Ghazali tidak dikategorikan sebagai kufur (kufr) melainkan bid’ah.
Menurut Amin Abdullah, perselisihan Al-Ghazali dengan falasifah disebabkan argumen-argumen partikular filsuf Muslim Neo-Platonik secara logis salah dan aneka posisi yang mereka pegang dalam sistem keseluruhan tidak konsisten satu sama lain. Akan tetapi yang terpenting, karena sejumlah asumsi dasar mereka tidak ditemukan. Asumsi-asumsi tersebut, yang dibuktikan Al-Ghazali dengan sangat kuat, tidak dapat di demonstrasikan secara logis dan tidak terbukti sendiri (self evident) melalui “intuisi” . Sedangkan menurut Mehdi Hairi Yazdi, prestasi Al-Ghazali dalam Tahafut sebagian besar bersifat semantik karena dia tergolong filsuf pertama, setidaknya dalam sejarah pemikiran spekulatif Islam, yang membedakan masalah penggunaan sebuah kata dalam makna yang mengacu pada penerapannya dengan penggunaan kata dalam makna yang tidak mengacu pada penerapannya .
Walaupun demikian, penulisan kitab Tahafut ini adalah upaya memperkuat upaya penguasa ketika itu, yaitu Nizamul Mulk untuk mempropagandakan ortodoksi Sunni dalam rangka melawan doktrin Syiah Ismailiyah (bathini) dan falasifah yang sudah dicemari paham Neo-Platonisme dan teologi Aristotelian. Oleh karena itu ada kesan oppurtunistik dari kitab Tahafut, karena secara tidak langsung, melalui karya ini prestise Al-Ghazali semakin meningkat di mata penguasa, dan semakin meneguhkan posisi dia saat itu yang kebetulan telah menggantikan posisi Al-Juwayni (gurunya) sebagai guru besar Universitas Nizamiyah. Hal ini dapat terlihat dari pengakuan Al-Ghazali pada kitab Al-Munqidh min Dhalal:
“Saya tahu bahwa sekalipun saya kembali ke gelanggang penyebaran ilmu, namun saya tidak kembali (dalam pengertian yang sebenarnya). Karena “kembali” berarti mengulangi apa yang sebelumnya. Dulu, pada saat itu-- menunjuk pada saat berada di Baghdad ketika menulis Tahafut— saya menyebar ilmu pengetahuan yang dapat mendatangkan kedudukan terhormat. Dengan kata dan perbuatan, saya mengharapkan kedudukan terhormat itu. Itulah tujuan dan niat saya” .
Sementara itu telah diketahui bahwa Al-Ghazali ketika menulis Tahafut, sesungguhnya sedang dalam fase skeptic ringan (Asy-Syakk al-Khafi), yaitu ketika ia belum mendapat petunjuk akan hakekat kebenaran . Karenanya, kitab Tahafut tidak dapat dijadikan representasi pemikiran Al-Ghazali secara keseluruhan. Selain itu Al-Ghazali sendiri menegaskan dalam buku al-Arbain fi Usul ad-Din, bahwa buku Tahafut diketegorikan sebagai buku yang “terlarang bagi selain yang berkompeten” (al-Madhnun biha ala gayr ahliha) . Celakanya, buku Tahafut ini dijadikan oleh para penganjur ortodoksi Sunni untuk menyerang filsafat dan memproteksi doktrin agama dari pengaruh filsafat. Akibatnya –tanpa pernah disadari Al-Ghazali—buku Tahafut ini telah menidurkan ummat Islam dalam mimpi dogmatik selama berabad-abad. Maka wajar kemudian Al-Ghazali dituduh sebagai biang keladi dari kemunduran ummat Islam, walaupun tuduhan itu tidak sepenuhnya benar.
Penerimaan buku Tahafut secara luas di masyarakat merupakan kemenangan telak teologi skolastik Asy’arian terhadap filsafat, dan membuat “falasifa” menjadi tidak populer. Kenyataan ini diikuti dekadensi peradaban Islam, dimana kaum Muslim tenggelam dalam kecenderungan mistik (tasawuf) yang berimplikasi pada berkembangnya paham fatalisme yang berlebihan, sehingga semakin menambah panjang “tidur dogmatik” kaum Muslim.
Meskipun demikian, filsafat Islam tidak pernah benar-benar habis dari wajah sisa-sisa peradaban Islam. Spekulasi filosofis kembali disemaikan di Spanyol Muslim oleh Ibnu Massarah, Al-Majrithi, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufayl dan Ibnu Rusyd . Bahkan Ibnu Rusyd berupaya menyanggah buku Tahafut Al-Ghazali dengan menulis buku Tahafut at-Tahafut.
Akan tetapi sudah sangat terlambat, karena ummat Islam terlanjur hanyut dalam mimpi dogmatiknya. Upaya Ibnu Rusyd untuk menghidupkan kembali tradisi Aristotelianisme justru dapat membangunkan Barat dari tidur panjangnya selama berabad-abad (dark ages). Sebagaimana diketahui bahwa gerakan Averroisme telah menjadi cikal bakal kebangkitan intelektual di Barat. Sementara itu dalam lingkungan Syiah, filsafat Islam telah mengkristal menjadi paham iluminasi (isyraqiyyah) yang kompleks, dimana doktrin filsafat Suhrawardian dikawinkan dengan doktrin mistik Ibnu Arabi, dan melahirkan sistem filosofis yang sangat pelik. Sistem filsafat ini kemudian populer dengan istilah irfan (gnosis) atau ilmu hudhuri (knowledge by presence), dan utamanya bermuara pada pemikiran filsafat Shadr Al-Din al-Syirazi (Mulla Shadra).
C. Definisi Kebudayaan Islam
Kebudayaan merupakan hasil karya cipta, rasa dan karsa seseorang, yang dalam bentuk ungkapan tentang semangat mendalam yang direfleksikan dalam bentuk seni, sastra, religi dan moral.
Sedangkan kebudayaan Islam adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia (segala tindakan dan sikap seseorang) untuk merealisasikan pokok ajaran Islam dalam kehidupan, yang diperoleh dan dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi pekerti yang didasari oleh Alquran dan hadits dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan. Kebudayaan islam juga dapat didefinisikan sebagai ungkapan suatu masyarakat terhadap seni, sastra, religi dan moral untuk merealisasikan dan mengkaji lebih dalam tentang pokok-pokok ajaran Islam dalam kehidupan, yang didasari oleh qur’an dan hadits, dengan tujuan untuk mencapai tujuan bersama.
Ajaran Islam yang bersumber pada Al Qur’an adalah wahyu Allah yang diperuntukkan bagi umat manusia, sebagai pedoman hidupnya di dunia, agar selamat kehidupan di dunia dan akhiratnya (Al Qur’an: S. Al Baqoroh 2 dan 185). Adapun kebudayaan adalah hasil karya cipta, rasa dan karsa manusia dalam berinteraksi hidup di dunia, yang dalam bentuk ungkapan tentang semangat mendalam yang direfleksikan dalam bentuk seni, sastra, religi dan moral. Oleh sebab itu, kebudayaan merupakan ro’yun yang sangat membutuhkan tuntunan dari Allah SWT yang menciptakan manusia, agar kehidupan manusia itu selaras dan selamat.
Adapun yang dimaksud dengan kebudayaan Islam adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia (segala tindakan dan sikap seseorang) untuk merealisasikan pokok ajaran Islam dalam kehidupan, yang diperoleh dan dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi pekerti yang didasari oleh Al Quran dan hadits dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan. Baik secara langsung atau tidak langsung, pada masyarakat Islam yang menjalankan ajaran Islam dengan baik dan benar, akan muncul Kebudayaan Islam. Sebagai contoh misalnya dalam bidang seni seperti munculnya bentuk Kaligrafi dan Qiro’atul Qur’an ( Ayat Qur’annya Wahyu Allah, sedang Kaligrafi dan Qiro’ahnya merupakan seni budaya, kreasi dari manusia ). Selain itu sebagai contoh pula antara lain dalam kehidupan, misalnya membudayaan pengucapan “Assalamu’alaikum” dalam masyarakat, membudayakan Ijab-Qobul atau Pernikahan bagi yang akan hidup berumahtangga, membudayakan etika Islami seperti penghormatan pada kedua orang tua, guru, orang yang lebih tua, adab bermusyawarah, cara makan dan minum, cara berpakaian, hubungan suami-isteri, etika jual-beli, dan masih banyak lagi. Dalam hal Kebudayaan, ajaran Islam dapat beradaptasi secara lentur dan ulet, artinya lentur dapat menyesuaikan dengan budaya lokal yang diperkaya dengan ajaran Islam, sedangkan ulet artinya selektif terhadap budaya lokal yang mengandung larangan dalam Islam (seperti: budaya yang ada kandungannya maksiat, syirik, dan dzolim yang diharamkan dalam Islam) semua itu akan dihindari bila akan bersentuhan dengan budaya Islam.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Kebudayaan Islam adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang didalamnya mengandung ajaran Islam, dan juga di dalamnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Munculnya budaya Islam merupakan pengejawantahan dari sifat Rahmat lil alamin dari ajaran Islam, yang akan menyejahterakan lahir-batin kehidupan umat manusia.
D. Filsuf-Filsuf Islam dan Pemikirannya
1. Al Kindi
Al Kindi berusaha memadukan anatara filsafat dan agama. Filsafat berdasarkan akal pikiran adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth), al Qur¡¦an yang membawa argument-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan berteologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan Islam mewajibkan mempelajari Teologi. Meskipun pada beberapa hal Al-Kindi sependapat dengan Aristoteles dan Plato, namun dalam hal-hal tertentu Al-Kindi memiliki pandangan tersendiri. Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa waktu dan benda adalah kekal. Dan untuk membuktikan hal tersebut Al-Kindi telah menggunakan pendekatan matematika.
Al-Kindi tidak sepaham pula dengan Plato dan Aristoteles yang menyatakan bahwa bentuk merupakan sebab dari wujud, serta pendapat Plato yang menyatakan bahwa cita bersifat membiakkan. Menurut Al-Kindi alam semesta ini merupakan sari dari sesuatu yang wujud (ada). Semesta alam ini merupakan kesatuan dari sesuatu yang berbilang, ia juga bukan merupakan sebab wujud.
Bertemunya filsafat dan agama dalam kebenaran deamn kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama (the first Truth) bagi Al kindi ialah Tuhan.
Keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga hal yaitu :
1. Ilmu agama merupakan bagaian dari filsafat
2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan filsafat, saling berkesuaian
3. Menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama

• Filsafat Metafisika
Tuhan dalam filsafat al kindi tidak mempunyai hakiakat dalam arti aniah atau mahaniah. Tidak aniah karena kerena Tuhan tidak termasuk dealam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah pencipta alam. Ia tidak tersususn dari materi dan bentuk, juga tidak mempunya hakiakat dalam bentuk mahaniah, karena Tuhan bukan merupakan gensus dan species. Tuhan hanya satu, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Tuhan adalah unik, Ia semata-mata satu. Hanya Ia lah yang satu dari pada-Nya mengandung arti banyak
• Filsafat Jiwa
Menurut Al Kindi, roh itu tidak tersususn, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, Ilahiah, terpisah sdan berbeda dari tubuh. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Keadaan badan (jasmanni) mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah (passion). Roh menentang keinginan hawa nafsu dan passion.
2. Al Faraby
Al Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat fal safah al taufiqhiyah atau wahdah ala falsafah yang bebrkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat.
• Talfiq
Dalam ilmu logika dan fisika Ia dipengaruhi oleh Aristoteles, dalam masal;ah akhlak dan politik ia dipengaruhi oleh Plato, sedangkan dalam persoalan metafisika ia di pengaruhi oleh Plotinus. Al farabi berpandapat bahwa pada hakikatnya filsafat itu adalah satu kesatuan, oleh karena itu para filosof besar harus menyatujui bahwa satu-satunya tujuan adalah mencari kebenaran.
• Metafisika
Wajib al wujud a dalah tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada.jika wujud ini tidak ada, maka timbul kemustahilan, karena wujud lain untuk adanya tergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Sedangkan mumkin al wujud adalah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Mumkin al wujud tidak akan berubah menjadi actual tanpa adanya wuijud yang menguatkan, dan dan yang menguatkan itu bukan dirinya tetapi wajib al wujud.
• Jiwa
Pendapat al Farabi tentang jiwa dip[engaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa, tidak berpindah-pindah dari sutau badan ke badan yang lainnya. Jiwa manusia disebut al nafs al nathiqoh, yang bersal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalaq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa dicuiptakan tatkala jasad siap menerimanya.
• Politik
Pemikiran al Farabi tentang politik yang amat penting ialah tentang politik yang dia tuangkan kedalam dua karyanya, al siyasah al madaniyyah (pemerintahan politik) dan ara¡¦ ala madinah al fadhilah (pendapaf-pendapat tentang Negara utama). Menurut al Farabi yang terpenting dalam Negara adalah pimpanan atau penguasanya, bersama sama bawahannya sebagaimana halnya jantung dan organ tubuh yahng lebih rendah secara berturut-turut.
• Moral
Al Farabi menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga Negara. Yakni :
1. keutamaan teoritis yaitu prinsip-prinsip pengetahuna yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan cara kontemplasi, penelitian,dan melalui belajar dan mengajar.
2. keutamaan pemikiran yaitu yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan.
3. keutamaan akhlak , bertujuan mencari kebaikan
4. kautamaan amaliyah, diperoleh dengan dua cara, yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang.
• Teori Kenabian
Teori kenabian yang di ajukan al Farabidi motifisir pemikiran filosof pada masanya yang mengingkari kesistensi kenabian oleh Ahmad ibn Ishaq al Ruwandi yang berkebangsaan yahudidab Abu baker Muhammad ibn Zakariya al Razi. Menurut mereka para sufi berkemampuan untruk mengadakan komunikasi dengan aql Fa¡¦al.
Al-Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second Analysis telah diterjemahkan Al-Farabi kedalam Bahasa Arab. Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun induktif. Disamping itu beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al-Farabi diberi gelar Guru Kedua, sedang gelar guru pertama diberikan kepada Aristoteles.
Kontribusi lain dari Al-Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usahanya mengklassifikasi ilmu pengetahuan. Al-Farabi telah memberikan definisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al-Farabi mengklassifikasi ilmu kedalam tujuh cabang yaitu : logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik dan ilmu fiqhi (hukum).
Ilmu percakapan dibagi lagi kedalam tujuh bagian yaitu : bahasa, gramatika, sintaksis, syair, menulis dan membaca. Bahasa dalam ilmu percakapan dibagi dalam : ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan yang benar, aturan membaca dengan benar dan aturan mengenai syair yang baik. Ilmu logika dibagi dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori dan diakhiri dengan syair (puisi).
Matematika dibagi dalam tujuh bagian yaitu : aritmetika, geometri, astronomi, musik, hizab baqi (arte ponderum) dan mekanika.
Metafisika dibagi dalam dua bahasan, bahasan pertama mengenai pengetahuan tentang makhluk dan bahasan kedua mengenai filsafat ilmu.
Politik dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika dan politika. Perkataan politieia yang berasal dari bahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi madani, yang berarti sipil dan berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota. Kata ini kemudian sangat populer digunakan untuk menyepadankan istilah masyarakat sipil menjadi masyarakat madani.
Ilmu agama dibagi dalam ilmu fiqh dan imu ketuhanan/kalam (teologi).
Buku Al-Farabi mengenai pembagian ilmu ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin untuk konsumsi Bangsa Eropah dengan judul ada Divisione Philosophae. Karya lainnya yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin berjudul ada Scientiis atau ada Ortu Scientearum. Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia, optik dan geologi.
3. Ibnu Sina
• Tentang Wujud
Dari Tuhanlah kemajuan yang mesti, mengalir intelegensi pertama sendirian karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu yang dapat mewujud. Tetapi sifat ontelegensi pertama tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan kemungkinannnya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, intelgensi pertama memunculkan dua kewujudan yaitu :
a. Intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas.
b. Lingkungan pertama dan tertingi berdasarkan segi terendah adanya, kemungkinan alamiyah. Dua proses pamancaran inii berjalan terus sampai kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosuf muslim disebut sebagai malaikat Jibril.
• Al Tawfiq (rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat
Sebagaimana Al Farabi, Ibn Sina juga mengusahakan pemanduan antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filsof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni malaikat Jibril yang disebut juga sebagai akal kesepuluh atau akal aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya. Bagi nabi, tejadinya hubungan dengan malaikat Jibril melalui akal materiil, yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyyat), sedangkan filosof melalui akal mustafad.
• Emanasi
Emanasi Ibn Sina menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet, sembilan akal mengurusi sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Berbeda dengan pendahulunya Al Farabi, masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak bisa langsung menggerakan planet yang bersifat materi. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal ke sepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi beserta isinya.
• Jiwa
Secara garis besar pembahasan Ibn Sina tentang jiwa terbagi sebagai berikut :
a. Jiwa tumbuh-tumbuhan, mempunya tiga daya : makan, tumbuh , dan berkembang biak.
b. Jiwa binatang, mempunyai dua daya : gerak (al-mutaharrikat) dan menangkap (al-mudriakt).
c. Jiwa manusia, mempunyai dua daya : praktis (yang berhubungan dengan badan), teoritis (yang hubungannya dengan hal-hal abstrak)
• Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina membagi manusia dalam empat kelompok : mereka yang kecakapan teoritisnya sudah mencapai tingkatan penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkan lagi guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang sedemikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam, mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang dan kemampun menimbulkan gejala-gejala aneh di dunia. Kemudian ia mempunyai daya kekuatan intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang mengungguli sesamanya hanya dengan ketajaman daya praktis mereka.
• Tasawuf
Ibnu Sina memulai tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma¡¦rifat dari akal af¡¦al. Dalam pemahaman Ibn Sina jiwa-jiwa manusia tidak beda dengan lapangan ma¡¦rifahnya dan ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal af¡¦al.
Mengenai Tuhan dengan manusia, bertempatnya Tuhan dihati manusia tidak diterima oleh Ibn Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian perhubungan antara manusia dengan Tuhan saja. Karena manusia mendapat sebagian pencaran dari hubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak langsung kaluar dari Allah, tetapi melalui akal af¡¦al.
4. AlGhazali
• Epistimologi
Pada mulanya ia berangggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indra. Tetapi kemudian ternyata bahwa baginya panca indra juga berdusta. Karena tidak percaya pada panca indra, al Ghazali kemudian meletakan kepercayaannya kepada akal. Alasan lain yang membuat al Ghazali terhadap akal goncang, karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang mengunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal.
Lalu al Ghazali mancari ilm al yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Tiga bulan kemudian Allah memberikan nur yang disebut juga oleh Al Ghazali sebagai kunci ma¡¦rifat ke dalam hatinya. Dengan demikian bagi Al Ghazali intuisi lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini.
• Metafisika
Lain halnya dengan lapangan metafisika (ketuhanan) al Ghazali memberikan reaksi keras terhadap neo platonisme Islam, menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filsuf, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Menurut al Ghazali, para pemikir bebas tersebut ingin menanggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemuajan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka.
Menurut Al Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat, kalau terjadi tambahan atau pertalian dengan zat, zat Tuhan tetap dalam keadaannya.
Al Ghazali membagi manusia kepada tiga golongan, yaitu :
a. kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali.
b. kaum pilihan, yang akalnya tajam dan berfikirnya secara mendalam.
c. kaum penengkar.
• Moral
Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari ahklak, yaitu
a. Mempelajari akhlak sebagai studi murni teoritis.
b. Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan prilaku sehari-hari.
c. Karena akhlak merupakan subjek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral.
Kebahagiaan di surga ada dua tingkat, yang rendah dan yang tinggi. Yang rendah terdiri dari kesengan indrawi seperti makan dan minum, sedangkan yang tertingi ialah berada dekat dengan Allah dan menatap wajah-Nya yang Agung senantiasa.
• Jiwa
Jiwa berada di alam spiritual, sedangkan jasad di alam materi. Setelah kematian jasad musnah tapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya. Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adala setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bentuannya jiwa bisa mendapatkan bekal hidup kekalnya. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat baginya untuk utnuk mencari bekal dan kesempurnaan, karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia haus dirawat baik-baik. Menurut al Ghazali setiap perbuatan akal menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualiatas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan dengan sadar.
5. Ibnu Thufail
• Filsafat dan Agama
Menurutnya filsafat dan agama adalah selaras, bukan merupakan gambaran dari hakikat yang satu. Yang dimaksud agama disini adalah batin dan syari¡¦at. Ia juga menyadari adanya perbedaan tingkat pemahaman pada manusia. Ia menganggap tidak semua orang dapat mencapai kepada wajib al wujud dengan jalan berfilsafat seperti yang ditempuh oleh hayy. ¡¥Asal¡¦ ¡¥salaman¡¦ dan masyarakat awam tidak mungkin mengetahui al haqq, karena keterbatasan akalnya.
• Metafisika
Bagi Ibn Thufail, dalil adanya Allah adalah gerak alam. Sesuatu yang bergerak tidak mungkin terjadi sendiri tanpa ada yang penggerak di luar alam, dan berbeda dengan yang digerakkan. Penggerak itu adalah Allah.
Ibn Thufail membagi sifat Allah kepada dua macam :
a. sifat yang menetapkam wujud zat Allah, seperti ilmu, qudrat dan sifat-sifat ini adalah zat-Nya sendiri.
b. Sifat yang menfikan hal kebendaan dari zat Allah, sehingga Allah maha suci dari ikatan hal kebendaan.
• Epistimologi
Ibn Thufail menunjukkan jalan untuk sampai kepada objek pengetahuan yang maha tingi atau Tuhan. Jalan pertama melalui wahyu, dan jalan kedua adalah melalui filsafat. Ma¡¦rifat melalui akal ditempuh dengan jalam keterbukaan, mengamati, meneliti, mancari, mencoba, membandingkan, klasifikasi, generalisasi dan menyimpulkan. Jadi ma¡¦rifah adalah sesuatu yang dilatih mulai dari yang kongkrit berlanjut kepada yang abstrak. Dan khusus menuju global. Seterusnya dilanjutkan dengan perenungan yang terus menerus. Ma¡¦rifah melalui agama terjadi lewat pemahaman wahyu dan memahami segi batinnya dzauq. Hasilnya hanya bisa dirasakan, sulit untuk dikatakan. Tidak heran kalau muncul syatahat dari mulut seorang sufi. Jadi proses yang dilalui ma¡¦rifat semacam ini tidak mengikuti deduksi atau induksi, tetapi bersifat intuitif lewat cahaya suci.
• Jiwa
Ada tiga kategori jiwa, yaitu :
a. jiwa fadhilah, yakni kekal dalam kebahagiaan karena menganal Tuhan dan terus mengerahkan perhatian dan renungan kepadanya. kelak jiwa ini akan di tempakan di sorga.
b. Jiwa fasiqah, yakni jiwa yang kekal dalam kesengsaraan dan tempatnya dineraka. Karena pada mulanya jiwa ini telah menganal Allah, tetapi kemudian melupakannya dengan melakukan berbagai maksiat.
c. Jiwa jahiliyyah, yakkni jiwa yang musnah karena tidak pernah menganal Allah sama sekali, jiwa ini sama halnya dengan hewan melata.
Ibn Thufail menawarkan tiga jenis amaliyah yang harus diterapkan dalam hidup :
„« amaliyah yang menyerupai hewan (amaliyah yang dibutuhkan dan juga dapat menjadi penghalang untuk meningkatkan amaliyah berikutnya yang lebih tinggi).
„« Amaliyah yang menyerupai benda angkasa, yakni melakukan hubungan baik dengan dibawahnya, dengan dirinya, dengan Tuhannya.
„« Amaliyah yang menyerupai al wajib al wujud, amaliyah ini akan mampu mengantar kepada kebahagiaan abadi sebagai sarana akhir dari prinsip moral.
6. Ibn Rusyd
Aliran filsafat Ibn Rusyd adalah rasional. Ia menjunjung tinggi akal fikiran dan menghargai peranan akal, karena dengan akal fikiran itulah manusia dapat menafsirkan alam maujud. Akal fikiran bekerja atas dasar pengertian umum (ma¡¦ani kulliyah) yang didalamnya tercakup semua hal ihwal yang bersifat partial (juz¡¦iyah). Ia menjelaskan bahwa kuliyyat adalah gambaran akal, tidak berwujud kenyataan diluar akal.
• Metode-metode pembuktian kebenaran
Metode-metode yang dapat dilakukan manusia untuk membuktikan kebenaran ada tiga macam :
a. Metode Demonstrasi (al burhaniah)
b. Metode Dialektik (al Jadaliyyah)
c. Metode Retorika (al khatabiyyah)
• Metafisika
Dalam masalah ketuhanan ia berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama (muharik al awal). Sifat positif kepada Allah adalad akal dan ma¡¦qul. Wujud Allah aialah esa-Nya. Wujud dan keesaannya tidak berbeda dari zat-Nya. Sebagai orang berfikir rasional, ibn Rusyd menafsirkan agama pun dengan penafsiran rasional. Namun ia tetap berpegang kepada sumber agama, yakni al Qur¡¦an. Dalam mengenal sang pencipta tidak mungkin berhasil kecuali dengan melakukan pengamatan terhadap wujud yang diciptakan Allah.
• Kenabian
Ibn Rusyd tdak mengatakan bahwa nabi Muhammad saw tidak mengaku dirinya adalah nabi dengan mengemukakan hal-hal yang menyimpang dari hukum alam (mukjizt) sebagai tantang terhadap lawan-lawannya. Maka Al Qur¡¦an merupakan mukjizat terbesar, karena syari¡¦at yang dimuatnya berupa kepercayaan dan amalan yang tidak mungkin bisa dicari dan pelajari kecuali dengan wahyu.
Ibn Rusyd mengadakan pemisahan anatara dua macam mukjizat. Pertama, mukjizat Iuaran (al barrani), yaitu yang tidak sesuai dengan sifat yang karenannya seorang nabi . kedua, mukjizat yang sesuai dengan (al-munasib) sifat kenabian tersebut, yaitu syari¡¦at yang yang dibawanya untuk kebahagiaan umat.
• Tingkat Kemampuan Manusia
Pembenaran atau pembuktian sesuatu memang dipengaruhi oleh kapasitas individual. Diantaranya ada yang melakukan pembuktian (kebenaran) dengan cara burhan (demontrasi), ada juga lewat dialektik (jadali) seteguh ahli burhan melakukan demontrasi karena memang kemampuannya memang hanya sampai disitu, dam ada lagi melalui dalil retorik (khatabi) seteguh ahli burhan melakukan pembuktian dengan dalil-dalil demonstratif.
• Alam semesta antara qadim dan hadits
Kondisi benda-benda wujud yang tertangkap indra, seperti air, udara, hewan, bumi, dan tumbuh-tumbuhan terbagi beberapa kondisi yaitu : wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya sendiri, tetapi berasal dari sesuatu yang berbeda, yaitu penyebab gerak (sebab fa¡¦il, Officent cause), tercipta dari bahan (materi) tertentu, dan bahwa wujud ini keberadaannya didahului oleh zaman. Tingkat wujud semacam ini telah disepakati oleh semua pihak, baik pengikut Asy¡¦ari maupun para filsuf klasik, untuk menyebutnya sebagai (muhdatsah) tercipta setelah tidak ada.











DAFTAR PUSTAKA

Hoesin, Oemar Amin. Filsafat Islam
M.A., Prof. Dr. H. Sirajudin Zan. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Wiyastini, Dra. 1984. Unsur-unsur Filsafat Islam. UGM
Rahardjo, M. Dawam. Krisis Pradaban Islam
Abdurrohim. Pasang Surut Filsafat Islam Dan Benturannya Dengan Ortodoksi